Hatinya dongkol mengetahui hanya mengantongi upah pokok Rp1,6 juta sebagai tukang cukur rambut pada Maret 2022. Namun, ekonomi yang morat-marit, ditambah pagebluk Covid-19 yang kian sulit untuk cari kerja, membuatnya menelan mentah-mentah kenyataan getir tersebut.
Adalah Vladimir Bagas Prakasa yang mendedah pengalamannya. Jauh sebelum menelan pil pahit itu, Vlad—biasa ia disapa—sudah malang melintang sebagai buruh informal.
Semasa kuliah di Universitas Diponegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah, pemuda yang jalan 27 tahun hidup ini, lebih dulu bekerja sebagai mitra sopir daring di salah satu perusahaan penyedia jasa tersebut. Pendapatannya cukup buat hidup sehari-hari, juga kongko bersama kawan-kawan.
Akan tetapi, perjalanan hidupnya berubah drastis. Kekalutan mesti ia hadapi, sesuatu yang sangat pribadi dan tak bisa diceritakan. Hal ini, membuat Vlad mesti hengkang dari kampus tanpa membawa ijazah ke rumah.
Vlad kelimpungan. Duit tidak punya, pendapatan tetap apalagi. Hidupnya luntang-lantung. Namun, kenyataan yang mesti berlanjut membikinnya babat alas sekadar buat menyambung hidup. Alhasil, dari berdagang minuman beralkohol di medio 2018, dia bertahan.
Dalam masa-masa tersebut Vlad bertemu Yosephine Anindya Novianti—akrab disapa Jeje. Pertemuan yang berlangsung sekira akhir 2018 berbuah benih cinta. Akan tetapi, belakangan konsekuensi harus dihadapi, sebab Jeje hamil.
Vlad belingsatan. Takut. Saat itu, dia merasa tak sanggup menjadi orang tua muda. Akhirnya, ia pun kabur ke Bali, bertemu teman-temannya. Namun, dalam pelariannya ke Pulau Dewata itu, ia justru menyadari satu hal sebagaimana pesan yang diberikan kawannya.
“Kita ‘kan merasa memperjuangkan orang, mengkritik pemerintah, tapi masa kamu tidak mau memperjuangkan orang yang bakal jadi anakmu?” ucap Vlad di ujung telepon kepada Diakronik.com, menirukan pesan temannya, Minggu, (10/3/2024).
Nasihat tersebut membuat Vlad tersengat. Dia kembali ke Kota Semarang dan menghadapi konsekuensi atas perbuatannya. Menelan mentah-mentah ketakutan akan murka orang tua, sampai tiba Vlad dan Jeje memberitahu kabar kehamilan kepada famili masing-masing saat kandungan sudah memasuki usia lima bulan.
Dua bulan setelah pengakuan, memasuki triwulan terakhir 2019, keduanya menikah. Menjelang penutupan tahun, sang buah hati lahir. Akan tetapi, kebahagiaan hanya numpang lewat dan lekas berganti kepeningan, sebab pandemi Covid-19 turut menggebuk Indonesia awal 2020.
Dalam masa-masa tersebut Vlad hampir menyerah. Kebutuhan anak dan dapur adalah sumbernya. Belum lagi soal perkara lain, semisal utang. Kerja serabutan sudah dilakoni. Namun, saat itu dia kalah juga dalam pertarungan, hingga akhirnya memutuskan kabur untuk kali kedua ke Pulau Seribu Pura.
Berbeda dari sebelumnya, pelarian keduanya berakhir bukan karena pesan handai tolan. Melainkan karena istri dan anak. “Alasan pulang karena keluarga. Selesai sudah,” ujar Vlad. “Istriku itu perempuan yang sangat luar biasa. Kalau enggak ada dia, mungkin aku sudah mati.”
Menjadi Tukang Cukur
Di dalam bangunan berkelir putih, Vlad tengah istirahat. Tubuhnya bersandar pada sofa hitam panjang. Tangan dan matanya sesekali menengok ke gawai. Dalam satu kesempatan, ia keluar ruangan ber-AC itu, guna memantik api di ujung sigaretnya.
Tangan Vlad agak letih setelah memangkas rambut, tapi selalu ada tenaga untuk mengangkat secangkir kopi, lalu menyeruputnya alon-alon. Lagi pula, baginya, lelah bukan soal dan tetap bikin ia semringah, sebab hari ini, Minggu (10/3/2024), rezeki datang lebih cepat.
Ia tak nyana, belum lama barbershop buka pukul 11.30 WIB, ternyata empat orang pelanggan lama datang silih berganti ke tempat potong rambutnya yang diberi nama BARBERBUNG.
Bercokol di Jalan Nangka Timur No. 25A, Lamper Kidul, Kota Semarang, Jawa Tengah, barbershop tersebut ukurannya tak besar. Luasnya sekira 3×4 meter. Di dalamnya, selain sofa, ada dua kaca vertikal panjang dengan masing-masing kursi di depannya untuk mencukur rambut pelanggan.
Perkakas-perkakas potong rambut, seperti mesin cukur, ragam gunting, juga sisir, tertata rapi pada rak berkelir hitam. Di sudut ruangan, bersandar gitar yang sesekali dimainkan untuk memecah kejenuhan kala tak ada rambut yang mesti pangkas.
Pada kaca depan ruko, tercetak tulisan “BARBERBUNG Buka Pukul 12.00 – Merdeka”, dengan warna merah pada bagian bung dan merdeka, sedang sisanya hitam. Pemilihan nama dan warna pada kata tertentu tidak lepas dari subjektivitas Vlad.
Semasa kuliah, Vlad merupakan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan mendaku sebagai marhainis—ajaran seorang insinyur dan jurnalis yang kelak menjadi presiden pertama Indonesia: Sukarno.
Saat menjadi mahasiswa, ia memang turut mengawal beberapa kasus yang dianggapnya merugikan rakyat. Satu di antaranya adalah pembangunan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, yang ditentang kaum tani di sana.
Namun, situasi yang kini dialami Vlad, diraih tak semudah membalikkan telapak tangan. Setiba di kota tempat tinggalnya, Semarang, setelah pelarian kedua ke Bali, Vlad sempat limbung.
Kala itu, dia cemas karena tidak ada harapan mencari pekerjaan layak bermodal ijazah sekolah menengah atas. Akan tetapi, dia memiliki pengetahuan yang tak dipunyai orang banyak: potong rambut.
Kendati begitu, kemampuan tersebut sebetulnya sudah terkubur dalam-dalam, sebab pelatihan pangkas rambut yang pernah diikutinya terjadi pada 2016. Andai kata ada yang diingat, kata dia, hanya sekelebat-sekelebat saja.
Namun, Vlad tak patah arah, sampai kemudian mendapati informasi lowongan kerja di tempat pangkas rambut yang mau menerima buruh tanpa pengalaman kerja. Kesempatan tersebut tak ia sia-siakan.
“Akhirnya, aku kerja di situ Maret 2022. Sempat pelatihan lagi dua minggu sebelum betul-betul kerja,” katanya.
Namun, pada momen itulah hati Vlad mendidih tatkala mengetahui hanya diupah Rp1,6 juta. Jika ditambah uang makan dan lain-lain, paling banter dia mengantongi Rp2,2 juta. Setinggi-tingginya Rp2,5 juta yang bisa dibawa ke rumah untuk istri dan anak.
Hanya itulah yang Vlad dapat. Soal jaminan sosial dan kesehatan? Bagai bintang yang tak mungkin digapai. Kalaupun menanyakan hak-hak itu, dia mengatakan, biasanya bos beralasan tempat cukur rambutnya masuk skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sehingga tak mampu memberikannya.
Dalih tersebut terang bikin Vlad geram. Akan tetapi, meski dirinya mangkel, ia tiada bisa berbuat banyak. Hidupnya terhimpit dengan berbagai kebutuhan, utamanya susu dan keperluan lain sang anak.
Di samping itu, ia punya kewajiban guna memastikan agar dapur tetap mengepulkan asap, juga membantu Jeje mencari nafkah. Vlad berkata, istrinya yang memang lebih dulu dapat kerja. Saat itu, Jeje sudah menjadi buruh di salah satu restoran di kawasan Kota Lumpia.
Vlad bukan tidak pernah mencoba melayangkan protes atas upah yang ia terima. Dalam satu kesempatan, dia sempat mengomunikasikan kenaikan gaji kepada bos. Permintaan tersebut tak lepas dari pengetahuannya akan pendapatan barbershop tempat ia bekerja—yang enggan ia sebut namanya.
Hal itu memungkinkan karena dia merupakan buruh yang ada di garis depan, sehingga pendapatan tempat ia bekerja mudah diketahui dari berapa orang yang rambutnya dicukur saban hari, terlebih si bos punya banyak cabang. Akan tetapi, respons yang diterima dari bosnya bikin dia makin geleng-geleng kepala.
“Katanya, kalau enggak mau gaji segitu, ya, silakan cari tempat lain,” ucap Vlad mengulangi perkataan bosnya kala itu.
Tak sampai setahun kerja, Vlad mengamini perkataan majikannya. Dia hengkang dari tempat kerja pertama akhir November 2022, lantas pindah ke barbershop lain.
Tempat kerja kedua Vlad masih berlokasi di Kota Semarang—ia tak berkenan menyebut namanya. Sebetulnya, upah yang diterima sedikit lebih besar. Kalaupun lebih banyak, semisal mencapai Rp4-Rp5 juta per bulan, maka mayoritas bersumber dari tip yang diberikan pelanggan. Sesungguhnya, dari tip ke tip itulah ia dan keluarga menyambung hidup.
Persenan yang ia terima bukan tanpa alasan. Vlad berusaha sebaik mungkin ketika memangkas rambut pelanggannya. Setiap orang yang dicukur rambutnya, pastilah ia ajak ngobrol. Diakui Vlad, dirinya memang lihai bersilat lidah. Lantaran itulah keakraban terjalin, sampai akhirnya pelanggan tak segan memberikan upah sampingan kepada Vlad.
Sementara gaji yang ia terima dari tempat kerja, sejatinya memakai sistem bagi hasil 40:60 berdasarkan jumlah orang yang dicukur rambutnya. Jatah untuk buruh tentu yang persentasenya lebih kecil daripada majikan.
“Pas lagi musim hujan, terus mati lampu, ya, gigit jari. Kalau kondisi kayak gitu, pernah enggak nyukur, terus cuma dapat uang makan. Berapa coba? Cuma Rp10 ribu,” terang Vlad.
Meminjam istilah politikus senior PDI-Perjuangan, Bambang Wuryanto atau lebih tenar dengan nama panggung Bambang Pacul, Vlad mengatakan, dirinya harus “melenting” agar berhasil. Ia tidak mau hidup yang begitu-begitu saja, sebab meyakini keahlian yang dimiliki bisa membawa kesejahteraan.
Keinginan tersebut lantas makin terbuka tatkala ia menerima kabar pangkas rambut pertamanya kerja sudah pindah lokasi. Seketika itu, dia berpikir harus buka tempat cukur di ruko yang sama, bekas tempatnya dulu kerja.
Namun, Vlad kepentok dana. Pasalnya, hitung-hitungan modal yang dibutuhkan untuk buka barbershop berkisar Rp40-Rp50 juta. Dia berkata, “Logika tanpa logistik jadinya lo-gila.”
Vlad limbung untuk kesekian kalinya. Namun, kali ini dia tidak kabur ke Pulau Seribu Pura seperti yang sudah-sudah. Melainkan, memilih merenung guna cari solusi.
Jalan keluar yang ditapaki adalah menghubungi teman-teman semasa kuliahnya yang ia tahu sebagai orang berpunya. Dalam momen itu, Vlad membeberkan panjang lebar gagasan buka usaha potong rambutnya.
“Pas telepon, aku di awal sudah bilang bawa kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya mau buka usaha, kabar buruknya mau pinjam uang untuk modal,” demikian Vlad mengenang masa-masa itu.
Dilalah handai tolan tak memperumit Vlad. Dalam waktu yang tak lama, akhirnya dia mendapatkan modal dari beberapa kawan, dan tanpa menekannya untuk melunasi pinjaman uang dalam jangka waktu tertentu.
“Pada bilang, gantinya nanti saja pas usaha sudah jalan. Bisa dicicil,” ujarnya. Terang respons tersebut bikin Vlad semringah, hingga tujuannya buka BARBERBUNG kesampaian dan mulai beroperasi pada 5 Juni 2023.
Tumpul Serikat Tukang Cukur
Vlad masih di ujung telepon. Dia sempat menghela napas tatkala ditanya ihwal ada tidaknya serikat tukang cukur di Kota Semarang, lalu dengan lemas ia menjawab ada. Namun, keterangan tersebut langsung diikuti dengan rangkaian kritik kepada asosiasi yang dimaksud.
Bapak satu anak ini, lebih dulu menjelaskan keberadaan perkumpulan tukang cukur di Kota Semarang. Ia tak berkenan nama komunitasnnya ditulis, sebab khawatir ada kesalahpahaman. Oleh sebab itu, asosiasi yang dimaksud Vlad dalam artikel ini disebut S.
Vlad mengetahui komunitas S ketika ia masih belum menjadi tukang cukur yang berdikari—berdiri di atas kaki sendiri—di bawah naungan BARBERBUNG. Mula-mula, ia senang bukan main mengenal perkumpulan tersebut layaknya melihat ada harapan.
Namun, belakangan ia kecele karena komunitas tersebut tidak sesuai ekspektasinya. “Berserikat, tapi kayak event organizer (EO), cuma bikin workshop atau lomba,” ujarnya.
Bagi Vlad, seharusnya perkumpulan S bisa berbuat lebih. Dia berkata demikian karena banyak tukang cukur di kawasan Kota Semarang yang perlu diadvokasi. Perkara upah tidak layak, ketiadaan jaminan kesehatan, dan absennya jaminan sosial untuk buruh tukang cukur merupakan persoalan yang lazim dijumpai di Venesia dari Jawa.
Lebih dari itu, terang Vlad, semestinya komunitas S juga dapat memberikan tekanan kepada negara, yang tujuannya adalah pengakuan profesi. Menurut Vlad, hal semacam itu penting.
Pertimbangannya adalah tidak terakomodirnya tukang cukur sebagai pekerja formal, bikin buruh yang bekerja di dalam ekosistemnya terancam tidak mendapatkan hak-haknya. Bila begini, lagi-lagi buruh yang mesti meringis gigit jari.
“Pangkas rambut itu masuknya extraordinary skill. Kenapa? Karena hanya orang-orang tertentu saja yang bisa. Kalau diakui, kayak ada sertifikat, ke mana-mana jadi lebih enak. Misal, jadi tukang cukur di luar negeri, kalau diakui kan lebih mudah urus administrasinya,” jelas dia.
Selain kepada negara, lanjut Vlad, perkumpulan S semestinya memberikan pendidikan politik perburuhan kepada tukang cukur di Kota Semarang. Sebab, tidak semua buruh cukur rambut menyadari keahlian yang dimiliki sebetulnya bisa membuat hidup lebih sejahtera.
Pentingnya pendidikan politik perburuhan semakin mendesak karena kekinian, bekerja di barbershop malah dipandang sebagai gaya hidup, suatu penyakit yang lebih dulu mengakar di industri kopi. Dengan kata lain, jadi tukang cukur biar terkesan gaya semata.
“Cara pikir kayak gitu enggak sehat banget dan justru sama pemodal dimanfaatkan. Misal, enggak apa-apa diupah rendah, asal keren karena jadi tukang cukur. Miriplah sama barista di kafe-kafe. Yang dikejar kerennya saja, gaji rendah tidak dipersoalkan. Kalau gini yang untung siapa? Pemodal,” terang Vlad.
Perkara-perkara semacam itu, Vlad masih simpan di dalam dirinya. Dia berencana melakukan infiltrasi ke perkumpulan S, guna menjadikan komunitas tersebut bertindak layaknya serikat yang mengadvokasi buruh nan bernaung di dalamnya.
Namun, Vlad menyadari, butuh waktu untuk mengimplementasikan gagasan tersebut. Belum lagi menghadapi tantangan menyoal perspektif kebanyakan tukang cukur rambut di Kota Pelabuhan.
Sebagai orang Jawa, Vlad meyakini, absennya perlawanan tukang cukur atas perlakuan yang tidak manusiawi sedikit banyak dipengaruhi budaya orang Jawa yang nrimo-an. “Sebetulnya itu enggak apa-apa, tapi sesuai dengan konteksnya. Jangan sampai tahu dibodohi malah nrimo juga, bukan melawan,” ucapnya.
Kini, Vlad menata dan menatap masa depan diri beserta keluarganya di BARBERBUNG. Pada ruko 3×4 meter itu pula, ia menyimpan gagasan besar yang sedikit-sedikit diupayakannya. Ide-ide yang ingin diwujudkan tidak muluk-muluk layaknya meruntuhkan negara.
“Aku mau jadi orang yang bermanfaat. Suatu saat, ketika BARBERBUNG sudah berkembang, aku mau menerapkan sistem kolektif kolegial agar orang yang kerja sama aku sejahtera juga,” tutup Vlad.