Kita hadir di dunia ini setelah begitu banyak hal terjadi selama lebih dari ratus ribuan tahun. Karena itu, untuk memahami hal-hal baru yang ada di hadapan kita, penting kiranya mempelajari peristiwa dari masa sebelum kita lahir. Itulah nasihat Umberto Eco kepada cucunya dalam sebuah surat di Hari Natal. Saya ‘menculiknya’ utuh satu paragraf dari esai Dea Anugrah.
Warga Dago Elos tidak mengenal Umberto Eco. Namun, mereka tengah mengamalkan petuah itu. Bersama kuasa hukum dan solidaritas berbagai kolektif, warga dengan seksama membuka lembar-lembar dokumen yang berasal dari masa lampau; masa sebelum mereka lahir.
Satu hal yang membuat warga begitu setia menekuni laku berharga itu: ialah ancaman penggusuran paksa yang mendera sejak sebuah dokumen mendarat di rumah mereka. Dokumen itu adalah Putusan Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg. Pada halaman pertama dokumen tersebut tertulis:
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama, telah menjatuhkan Putusan Sela sebagai berikut dalam gugatan perkara antara: Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, Pipin Sandepi Muller dan PT Dago Inti Graha.”
Masing-masing nama itu kemudian disebut sebagai Penggugat 1, 2, 3, dan 4 untuk menggugat 331 nama warga dan lahan seluas 6,9 hektar di Dago Elos.
Ada satu istilah dari dokumen tersebut yang menempel di dalam benak warga, yaitu eigendom verponding, suatu surat tentang bukti kepemilikan tanah di era kolonial Belanda. Istilah itu dapat ditemukan di pelbagai pemberitaan yang mengulas tentang ancaman penggusuran di Dago Elos.
Semua penduduk di negara ini–yang setidaknya pernah mengecap bangku sekolah–tentu tahu kompeni telah lama pergi belaka. Namun, setelah puluhan tahun merdeka, warga Dago Elos kembali berhadapan dengan produk hukum dari penjajah yang telah lama diusir oleh leluhur mereka.
Musababnya adalah ulah tiga bersaudara yang berasal dari sebuah Desa di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Mereka adalah tiga nama yang saya singgung di awal tulisan: Heri, Dodi dan Pipin. Ketiganya menyandang nama Muller, yang diklaim memiliki bukti alas hak kepemilikan tanah sejak era kolonial Belanda.
Ibarat lalat-lalat yang mengerubungi sisa makanan atau kotoran yang telah membusuk, Trio Muller untuk menyebut ketiganya, adalah gambaran dari itu; sampah. Mereka menggunakan alas hak kepemilikan tanah, yang tentu saja keabsahannya sudah kadaluarsa seiring berdirinya kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Sebagai informasi, sejak periode nasionalisasi aset Hindia Belanda pada 1950-an dan munculnya UU No.1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir, hak eigendom ataupun eigendom verponding tidak berlaku lagi. Namun, Trio Muller boleh saja bebal dan menganggap alas hak kepemilikannya masih berlaku, lantaran mempercayai hukum warisan kolonial Belanda masih dipertahankan.
Usai Indonesia merdeka dan menjadi negara berdaulat, sistem hukum agraria warisan Belanda masih dipertahankan sebagai pengakuan kepemilikan. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 tahun 1960. Namun, hak kepemilikan tersebut hanya berlaku ketika dikonversi atau didaftarkan kembali menjadi hak milik sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Sementara, merujuk Siaran Pers LBH Bandung yang merespon Putusan PK Dago Elos, diketahui bahwa Muller tidak melakukan konversi hak tersebut selama lebih dari 50 tahun.
Sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat yang menyatakan “Tanah Hak Guna, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak barat, jangka waktu akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara”
Sialnya dengan bermodalkan akta kepemilikan tanah kadaluarsa dan tentu saja juga diragukan keabsahannya hukumnya, Trio Muller memenangkan pertarungan dengan warga di berbagai tingkat pengadilan sejak 2016 hingga 2022. Sepanjang tahun tersebut, warga Dago Elos tak pernah lagi merasakan nikmatnya tidur pulas, karena khawatir suatu saat rumah mereka akan rata dengan tanah.
Dea Anugrah pernah menulis–dalam esai yang paragraf awalnya saya cuplik di tulisan ini–bahwa kebaruan, masa depan, serbaneka yang belum terjadi terasa menakutkan karena diselubungi misteri. Sebagian orang, kata Dea, mungkin karena kepalanya penuh wawasan–atau malah tak berisi apa-apa–menerobos selubung misteri tersebut dengan gagah berani.
Dengan bayang-bayang ancaman kehilangan ruang hidupnya, warga Dago Elos menyergap selubung ketakutan. Mereka membaca ulang seluruh dokumen putusan pengadilan. Mereka juga menelusuri kembali berbagai dokumen yang menyangkut tentang sejarah tanah, dan tentu saja mencari tahu siapa gerangan Muller dan PT Dago Inti Graha.
Dalam penelusuran arsip sejarah tersebut, sebagiannya pernah didokumentasikan oleh Trimurti.id, dalam dua tulisan artikel yang terbit dengan judul: “Dago Elos dan Teka-Teki tentang Muller Keluarga Muller” dan “Dago Elos Dalam Pusaran Keluarga Hartanto”. Kedua artikel tersebut menerangkan, bahwa Trio Muller telah menempuh cara-cara licik untuk dapat memenangkan gugatan kepemilikan tanah di Dago Elos.
Trio Muller mengelabui hakim dengan berbagai cara. Mulai dari mendaku sebagai keturunan dari kerabat Ratu Wilhelmina utusan kerajaan hingga memalsukan silsilah keluarga. Semua dilakukan oleh Trio Muller demi melahirkan eigendom verponding bernomor 3740, 3741 dan 3742. Ketiganya diklaim terletak di atas lahan yang sekarang dihuni oleh ratusan warga Dago Elos.
Klaim serampangan atas penguasaan lahan ala keluarga Muller itu jelas membuat warga mengamuk. Setelah puluhan tahun menggarap lahan dan membangun kehidupannya di lokasi yang terletak di belakang terminal Dago ini, Trio Muller sekonyong-konyong merampas tanah warga dengan mengaku diserahi sertifikat zaman kolonial.
Pada sidang aanmaning (teguran) yang berlangsung pada 20 Februari 2024 di Pengadilan Negeri Bandung–saat itu saya berkesempatan hadir untuk bersolidaritas–kekesalan warga tampak meluap.
“Pak beberapa orang yang Bapak sebutkan itu sudah meninggal. Ada juga dari nama-nama yang disebutkan bukan beralamat di Dago Elos,” ucap warga berteriak saat hakim mengabsen 331 nama yang tercantum dalam gugatan.
Interupsi tersebut berlangsung selama persidangan, karenanya membuat hakim berkali-kali menghentikan pemanggilan daftar nama. Sepanjang protes yang dilontarkan oleh warga, terdengar juga rangkaian pertanyaan, yang bagi nalar saya, sangatlah masuk akal.
“Kok menggugat orang mati bisa menang?”
“Apa hakim tidak mengecek data gugatannya valid atau tidak?”
“Kenapa sidang masih dilanjutkan? Kan datanya ngawur.”
Namun, atas nama prosedur persidangan, hakim tetap menganggap daftar nama warga yang tak bisa hadir–sekalipun nama tersebut telah dikubur dalam tanah–mangkir dalam persidangan. Pembacaan daftar nama tergugat warga selesai. Hakim kemudian melanjutkannya dengan agenda persidangan aanmaning kedua, yang direncanakan pada pertengahan bulan Maret 2024. Penetapan jadwal persidangan sekaligus menjadi akhir dari prosesi persidangan hari itu.
Keluar dari ruang sidang, warga menggelar mimbar bebas di depan gedung Pengadilan Negeri Bandung. Di bawah rintik gerimis yang membasahi jalanan LLRE Martadinata, seorang perempuan, sekitar 40 tahunan usianya, meluapkan amarahnya.
“Baca dong! Kalian jangan tolol! Kami warga yang lulusan SMP aja baca gugatan itu,” seru perempuan tersebut sambil mengarahkan megaphone ke arah kantor pengadilan yang segera diikuti teriakan dari warga lainnya.
“Tolol!”
“Bego!”
Sahut-menyahut antara warga memantik kemarahan warga lainnya. Seorang pria, kurang lebih 40 tahun, menegaskan sikapnya atas kejanggalan hakim pengadilan yang mengabaikan fakta-fakta dalam persidangan.
“Jangan cuma memutuskan tapi dilihat dulu. Dilihat bukti-bukti yang mereka ajukan. Semua penuh kebohongan! Semua penuh kebohongan! Mereka adalah mafia tanah!” tegasnya lantang hingga urat-urat tampak menyembul di sekujur leher pria itu.
Ia geram. Pasalnya, berbagai fakta tentang siasat Muller dan PT Dago Inti Graha dalam memalsukan sejumlah dokumen dan pemberian keterangan palsu di persidangan, sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan hakim ketika persidangan.
“Kami tidak takut mati! Kami pernah merasakan gas air mata dan pentungan! Sekalipun kalian kirim peluru, saya tidak akan mundur! Saya tidak akan menyerahkan tanah saya kepada PT. Dago Inti Graha!” imbuh pria tersebut seraya menudingkan telunjuknya pada pengadilan.
Jika menilik apa yang telah dilalui warga selama ini, sejak mereka mulai bertarung di pengadilan, menggalang dukungan dengan menghelat festival kampung kota, hingga bentrok dengan aparat pada tahun 2023, rasanya keadilan seolah telah berpaling dari warga. Namun, penilaian tersebut seketika hilang dalam benak saya, kala menyaksikan seorang warga bersuara lantang membacakan baris kalimat akhir dari siaran pers “Forum Dago Melawan”.
“Bahwa, upaya warga untuk mempertahankan tanah tidak akan pernah berhenti!” tegasnya di atas mobil pick up yang disulap menjadi mobil komando untuk pengeras suara. Kalimat seruan itu sekaligus menjadi penanda akhir dari aksi warga Dago Elos di depan gedung Pengadilan Negeri Bandung pada sore hari.
Selasa tanggal 5 dan 7 Maret 2024, warga kembali menggeruduk pengadilan. Menuntut institusi tersebut untuk mengeluarkan surat pemberhentian eksekusi (non-executable) atas lahan yang dihuni oleh warga. Alasannya sudah lebih dari cukup: subjek dan objek gugatan tidak jelas dan dipaksakan. Hingga tulisan ini dipublikasi, pihak pengadilan tetap emoh mengeluarkan surat pemberhentian eksekusi atas lahan seluas 6,9 hektar di Dago Elos.
Kemarahan warga Dago Elos semakin menjadi, ketika di hari itu pula Ketua Pengadilan Negeri Bandung tak menampakan batang hidungnya di hadapan warga. Setelah warga Dago Elos berjam-jam berorasi dan menunggu, alih-alih warga bertemu dengan Ketua PN Bandung, justru mereka hanya dihadapkan dengan seorang Humas Pengadilan. Tentu dapat dipastikan karena Humas bukan pengambil keputusan, protes warga hanya dianggap angin lalu alias tak akan didengarkan.
Rentetan peristiwa yang saya sebutkan cukup untuk mengantarkan pada kesimpulan, bahwa keadilan memang telah lama hilang dari institusi pengadilan. Kata adil di dalam nama institusi tersebut hanya sekedar pajangan, kiasan, atau bahkan barang antik untuk dimuseumkan. Ia tak ubahnya artefak dari sebuah zaman batu. Hanyalah sebuah replika yang tanpa betul-betul ‘orang-orang biasa’ tahu bagaimana rupa dan bentuk kemurnian dari keadilan.
Hari itu, dengan penuh peristiwa kejengkelan, warga Dago Elos meninggalkan gedung pengadilan. Mereka melempari kantor para hakim dengan sampah dan telur busuk. Barangkali memang sudah sepatutnya begitu: segala hal yang telah membusuk memang berakhir di gedung pengadilan.