Koalisi Buruh Sawit: Penggunaan Agrokimia di Perkebunan Sawit Racuni Buruh Perempuan

Koalisi Buruh Sawit: Penggunaan Agrokimia di Perkebunan Sawit Racuni Buruh Perempuan

Koalisi Buruh Sawit
Konferensi pers yang digelar Koalisi Buruh Sawit saat memaparkan hasil riset soal dampak penggunaan bahan agrokimia di perkebunan sawit di Royal Kuningan Hotel, Jakarta, Rabu (19/2/2025)/Diakronik

Koalisi Buruh Sawit (KBS) memaparkan hasil risetnya tentang dampak penggunaan bahan agrokimia di perkebunan sawit dalam konferensi persnya yang digelar di Royal Kuningan Hotel, Jakarta Selatan, Rabu (19/2/2025). Konferensi pers itu digawangi oleh Ismet Inoni, Dianto Arifin, dan Loren Aritonang dari KBS.

Riset berjudul Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Perkebunan Kelapa Sawit: Risiko Keterpaparan Pekerja Terhadap Bahan Kimia Pertanian di Kolombia, Ghana, dan Indonesia itu mengungkap buruh perempuan yang bekerja di perkebunan sawit rentan terpapar bahan kimia berbahaya sehingga menyebabkan masalah serius bagi kesehatan.

Riset ini dilakukan oleh KBS dan beberapa aliansi serikat buruh di 3 negara, yaitu Ghana, Kolombia, dan Indonesia pada 2024. Di Indonesia riset tersebut dilakukan di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, dengan melibatkan 549 responden yang tersebar dari 13 kebun.

Koordinator KBS, Ismet Inoni, menjelaskan riset ini didorong oleh pengamatan atas kondisi kerja buruh di perkebunan sawit yang jauh dari kata layak. Selain itu, lanjutnya, para buruh di perkebunan sawit juga rentan mengalami dampak buruk untuk kesehatan karena paparan bahan kimia yang sering digunakan dalam proses perawatan di perkebunan sawit.

“Kenapa melakukan riset dampak agrokimia ini, karena di perkebunan sawit ternyata buruh atau kehidupannya masih jauh dari situasi yang layak, salah satunya karena ancaman bahan kimia.” ujarnya.

Ismet juga mengidentifikasikan tahapan-tahapan dalam pengolahan sawit yang paling berisiko dilakukan oleh para buruh. Berbagai tahapan tersebut, menurutnya, terjadi pada proses perawatan yang dimulai dari penyemaian, pemupukan, penyemprotan hingga proses replating.

Ia juga menjelaskan mayoritas buruh yang bekerja pada posisi tersebut adalah buruh perempuan. “Bisa dikatakan itu 95% buruh yang bekerja di bagian-bagian itu adalah buruh perempuan,” terang Ismet, “sehingga buruh perempuan lebih rentan terpapar oleh bahan kimia,” lanjutnya.

Senada dengan Ismet, dalam forum diskusi yang digelar usai konferensi pers berlangsung, Yoeblina Oematan, mengungkapkan alasan buruh perempuan ditempatkan pada posisi perawatan yang rentan terpapar bahan kimia secara langsung.

Menurutnya, hal itu disebabkan oleh banyaknya perusahaan sawit yang menstigma buruh perempuan sebagai buruh yang fisiknya lemah. Karena itu, lanjutnya, banyak buruh perempuan yang ditempatkan di posisi perawatan.

“Perusahaan mengatakan bahwa buruh perempuan fisiknya sangat lemah, sehingga kapasitasnya tidak memungkinkan untuk bekerja di bagian berat,” ujar anggota KBS yang juga terlibat dalam riset tersebut.


Dampaknya bagi Buruh

Penggunaan bahan agrokimia di perkebunan sawit disebutkan sebagai cara yang digunakan perusahaan untuk meningkatkan kualitas produksi. Namun, berbagai bahan kimia itu turut membahayakan kesehatan buruh, terutama buruh perempuan yang terpapar langsung.

Pasalnya, berbagai bahan agrokimia tersebut mengandung racun yang dapat berbahaya bagi tubuh manusia apabila terpapar secara langsung dan terus menerus.

Berbagai bahan kimia yang sering digunakan di perkebunan sawit, menurut Yoeblina, adalah pestisida, herbisida, fungisida, dan insektisida. Dalam riset ini dijelaskan paparan herbisida bisa dikaitkan dengan kanker leukemia, multiple myeloma, hingga kanker paru-paru.

Sedangkan paparan pestisida bisa menimbulkan gangguan endokrin. Gangguan itu, jelasnya, dapat mengganggu hormon dan berpotensi memengaruhi perkembangan organ pada tahap-tahap kritis.

Yoeblina menyebut banyak buruh perempuan yang merasakan dampak, seperti sakit kepala, pusing, gatal pada kulit, hingga gangguan pernapasan. Kondisi itu semakin diperparah dengan masih banyak perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Barat yang menggunakan paraquat–herbisida yang digunakan untuk membunuh gulma dan rumput.

Padahal, menurutnya, paraquat sendiri telah dilarang digunakan di banyak negara, seperti Uni Eropa, Brazil, Korea Selatan, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Taiwan.

Hasil riset Koalisi Buruh Sawit dan beberapa aliansi serikat buruh di tiga negara, yaitu Ghana, Kolombia, dan Indonesia pada 2024/Diakronik

“Akhirnya, danpaknya itu bisa menimbulkan risiko keracunan, lalu kulit yang terasa perih dan panas, serta kerongkongan perih,” ucap Yoeblina.

Ahli kesehatan, Wendri Wildiartoni P. Pelupessy yang juga hadir dalam forum, menjelaskan tubuh manusia memang memiliki kemampuan untuk menetralisir racun yang dihasilkan dari bahan kimia. Proses itu, menurutnya, dilakukan oleh organ hati yang nantinya dibuang melalui ginjal.

“Namun, kalau kondisi dua organ itu tidak dijaga, maka akan menimbulkan penyakit,” tambahnya

Ia juga mengatakan paparan bahan kimia kepada tubuh manusia tidak hanya menimbulkan dampak jangka pendek, seperti kepala pusing dan gatal-gatal. Tapi, menurutnya, dampak tersebut juga bisa terjadi berkepanjangan, setidaknya dalam waktu 5-10 tahun ke depan.

“Tapi ketika bicara 5 tahun kemudian, 10 tahun kemudian, yang akan muncul adalah penyakit jantung, ginjal, saraf, karena bahan kimia,” jelasnya.


Penerapan K3 yang Buruk

Temuan riset ini juga mengungkap kondisi kerja buruh perempuan di perkebunan sawit yang tidak dilindungi oleh penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang baik. Keadaan itu turut memperparah kondisi kerja buruh di tengah ancaman bahaya kesehatan yang menimpanya.

Menurut Loren Aritonang, banyak buruh perempuan yang tidak diberikan alat pelindung diri (APD) oleh perusahaan ketika bekerja. Ia juga menyebut banyak perusahaan yang tidak memberikan pelatihan tentang K3 serta akses ke fasilitas kesehatan yang memadai.

“Dari hasil investigasi kami, fasilitas yang disediakan oleh perusahaan itu banyak tidak sesuai standar,” ungkapnya.

Di sisi lain, tak jarang terdapat buruh yang berusaha untuk melindungi dirinya dari paparan bahan kimia di perkebunan sawit dengan membeli secara mandiri APD yang dibutuhkan. Namun, menurutnya, APD yang digunakan tak mampu memberikan perlindungan yang memadai.

”Karena biayanya cukup mahal, sementara upahnya rendah, para buruh jadi tidak menggunakan APD dengan baik,” ujarnya.

Senada dengan itu, ketiadaan alat pelindung diri yang memadai juga disampaikan oleh Yoeblina. Menurutnya, ada beberapa perusahaan yang memberikan APD kepada buruh, tapi alat-alat yang diberikan tidak lengkap atau seadanya.

“Misalnya, dalam proses pemupukan yang diberikan hanya sarung tangan,” ujar Yoeblina. “Hal itu biasanya hanya untuk menutupi kelengkapan sertifikasi ISPO,” tambahnya.

Kondisi kerja yang buruk, menurutnya, tidak berhenti di situ. Yoeblina juga menceritakan para buruh tidak diberikan fasilitas air bersih untuk membersihkan tubuhnya setelah terpapar langsung dengan bahan kimia di perkebunan sawit. Ketiadaan air bersih itu membuat para buruh harus mengambil air dari genangan yang tercemar bahan kimia dari proses pemupukan di bagian awal.

Ia juga menyoroti masalah sulitnya para buruh mendapatkan akses terhadap fasilitas kesehatan yang memadai. Menurutnya, banyak buruh perempuan yang tidak diberikan fasilitas pengecekan kesehatan secara berkala oleh perusahaan. Sekalipun perusahaan memberikan itu hasilnya tidak dikasih kepada buruh. “Akhirnya buruh menjadi tidak tahu bagaimana kesehatannya, juga risiko apa yang akan menimpanya jika terus-terusan bekerja dengan kontraksi langsung dengan bahan kimia.” ujarnya.

Editor: Akbar Ridwan

ARTIKEL LAINNYA

Tolak Penggusuran Lahan, Warga Padang Halaban Desak PT SMART Hormati HAM
PBHI Kecam Dugaan Represi Polri terhadap Sukatani: Ciri Khas Orba
Silau Gemerlap Bandara: Kisah Andri, Buruh Porter yang Dipecat Sepihak PT Dahlia Tama Cargo
PT Duta Palma PHK Massal Buruhnya, Mangkir Saat Diajak Perundingan 

Temukan Artikel Anda!