Lakunya berubah. Aku menduga semuanya karena buku tipis yang ditentengnya ke sana-ke mari tiga hari belakangan ini. Aku yakin betul, buku itu adalah buku yang sama yang aku lihat tengah dibacanya di amben satu hari, sebelum kami nyaris kena pentung anak bapak kost sendiri pada sebuah situasi huru-hara.
“Awas, kepalamu meledak,” kataku mengejek, kala itu. Namun, dia hanya memicingkan mata ke arahku dan mengumpat seperti biasanya, “Monyet!”
Beruntunglah aku tak kehilangan dia sepenuhnya. Setidaknya masih ada yang aku kenali dari kawanku itu. Aku masih menemukan dirinya dari umpatannya barusan.
Sepagi ini dia sudah belingsatan mengetuk semua kamar tetangganya. Masalahnya, hampir tak ada satu pun jawaban dari dalam. Situasi tersebut membuat suasana jadi gaduh. Aku yang berada di kamar terakhir—berjarak empat kamar dari kamarnya—terbangun dan membuka pintu sebelum dia tiba.
“Pinjam laptop, penting! Ada yang harus kutulis segera,” katanya sebelum aku sempat menguasai diri. “Lama banget!” burunya cepat.
Hari baru pukul setengah enam, hujan belum selesai sejak semalam. Kau tahu? kucing-kucing bahkan masih asyik meromok di rak sepatu, tumpukan baju, atau di kolong kendaraan. Namun, sepagi itu dia bertingkah layaknya cacing kepanasan, “Sungguh aneh dan di luar kebiasaan,” batinku.
Siangnya, ketika hampir seluruh tetangga kami pergi meninggalkan kamar, aku melongokkan kepala melalui celah pintu kamarnya yang terbuka setengah.
“Hei! Aku minta kopi, gula, dan nyawamu. Sekarang!” kataku bercanda, tapi dengan nada yang diserius-seriuskan. Kami berdua terlampau akrab untuk perbincangan-perbincangan ajaib macam itu. Namun, untuk urusan kopi dan gula, aku betul-betul tak bercanda!
“Kawan bantu kawan, teman beri teman. Kopi dan gula di tempat biasa. Ambil saja, buatkan aku sekalian,” jawabnya datar. Matanya tak teralihkan dari laptop. Jidatnya mengernyit. Tatapannya tajam. Melihat rautnya melempar ingatanku ke kandang beruk di kebun binatang yang tempo hari kudatangi bersama pacar.
“Bedebah! Sejak kapan kau ngomong pakai rima?”
“Goblok! Aku tidak sedang membacakan puisi.”
“Terserahlah. Maksudku, kalau mau minta dibuatkan kenapa harus berlagak macam orator aksi mahasiswa di depan sarang parlemen?” tanyaku yang semakin mencium gelagat tidak beres dari kawan berbadan tambun itu. “Omong-omong kantor parlemen, pagarnya sudah dicat ulang belum, ya?”
Aku dan dia tahu persis pagar kantor parlemen hitam jengat lantaran aksi kemarin. Kami, peserta aksi, harus bubar lantaran pagar kantor parlemen seluruhnya terbakar. Padahal, kalau kemarin harus menginap sekalipun, kami tak keberatan.
Sayangnya, aksi bodoh dari petugas yang berjaga sore itu membuat semuanya berantakan. Maksud hati memadamkan ban yang dibakar massa, entah bagaimana caranya, mereka justru membuat api menjilat spanduk, poster, dan umbul-umbul yang mejeng di pagar.
Jumlahnya yang terlampau banyak membuat kobaran api tak terkendali. Separuh dari petugas gelagapan memadamkan api, sebagian lainnya memanfaatkan situasi untuk menggebuk mundur massa aksi.
Aku dan kawanku tengah kencing saat sekitar kami mulai tak terkendali. Sial, kawanku lebih dulu lari lantaran berhasil lebih cepat menyadari, bahwa dari arah belakang, seorang petugas tengah menyasar kami.
Aku yang melihatnya berlari, spontan memutar badan untuk memperoleh pandangan yang terang akan situasi saat itu. Melihat pancuran air seniku masih cukup deras, pemuda berseragam yang mengekor berhenti, tepat sekira dua langkah dari tempatku bergidik karena geli dan ngeri sekaligus.
Jarak yang tercipta membuatku bisa melihatnya dengan jelas dan lekat. Dari balik helm dan tamengnya aku mengenali petugas itu: Mul. Dia Muladi anak bapak kost kami.
“Mana aku tau, tanyalah kecoak alat negara itu,” yang kawanku maksud tentu saja Mul. “Sudah enggak usah berisik. Bikin kopi mah bikin kopi saja.”
Kalimatnya membungkamku. Aku menyelesaikan dua cangkir kopi tanpa sepatah kata lagi. Satu kutaruh di mejanya, sedang punyaku di dekat asbak yang tergeletak di lantai.
Sambil meloloskan sebatang rokoknya, aku tahu dia tengah menyelesaikan sebuah tulisan yang salah satu sub-pembahasannya dia beri tajuk, “Waspada Jerat Syirik Kontemporer: Percaya pada Negara”.
Melihat itu, aku sungguh ingin tertawa alih-alih semakin kebingungan. Aku coba menguasai diri, memastikan tidak terbahak. Ini kulakukan semata demi menjaga perasaannya. Saking dekatnya, aku tahu persis pendalamannya tak sekuat yang orang kira. Lagi pula, dia semakin asyik dengan tuts di hadapannya.
Bunyi tik… tik… tik… yang dihasilkan tekanan kasar jemarinya ajek, tanda si penulis tahu betul tiap-tiap huruf yang harus dirangkai untuk menjadi kata, kalimat, hingga nanti diakhiri oleh sebuah titik. Tangannya terangkat hanya ketika ingin menyeruput kopi dan membakar rokok.
Beberapa bulan setelah pertemuan pertama, kami langsung akrab. Aku menyangka karena terdapat banyak sekali kesamaan di antara kami. Namun, menurut versinya, aku adalah potensi bagi kemudahan-kemudahan di hidupnya kelak, setidaknya selama di perantauan. Itu kutahu belakangan.
Dia orang yang cermat dan begitu mendetail. Seluruh langkahnya hari ini merupakan susunan dari rencana-rencana yang ditulis jauh sebelumnya.
Di kamarnya banyak terpampang mind mapping, hampir di seluruh sudut dinding yang tersedia. Dari mind mapping itu pula, aku ketahui target terdekatnya saat ini adalah lulus tiga setengah tahun dan lolos tes CPNS pada tahun pertama.
Sudahkah dapat dibayangkan mengapa aku sekuat tenaga menahan bahak dan memastikannya tidak tersinggung ketika mengetahui apa yang tengah digelutinya sedari pagi tadi?
Himpunan kata yang membuatku geli itu sudah hilang dari layar. Digantikan dengan baris-baris lain yang tak dapat terbaca. Jumlah halaman yang terpakai sudah semakin bertambah.
Dan ketika kawanku baru saja mengakhiri kalimatnya, masih banyak ruang kosong di halaman terakhir. Syahdan, hal tersebut membuat tampilan layar di laptop didominasi warna putih.
“Sudah bisa diajak ngobrol belum, Bung?” aku mencoba merebut fokusnya dari layar komputer jinjing. “Ayolah, kau, bisa memulai dengan sebuah ucapan terima kasih yang paling manis atas semua kebaikanku hari ini.”
“Pertama, kopimu pahit. Kedua, laptopmu bikin mataku sakit. Dari semua kesialan yang kau berikan itu, masih berani menagih terima kasih?” tanggapan kecutnya sempat juga membuatku dongkol, meski aku tahu dia cuma bercanda.
Dia lantas membalikkan badan, menghadapku untuk memunggungi perkakas canggih itu. Aku langsung berterus terang, mencari tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya. Aku memulai menyelisik berdasarkan pradugaku.
“Jadi, buku yang mana?” pertanyaanku seperti langsung menuding muka bulatnya.
Dia tak langsung menjawab. Kawanku meloloskan sebatang rokok, memantik api, dan menyulut ujung rokok. Gemeretak batang cengkeh dan tembakau kering hasil pembakaran sekaligus isapannya terdengar seperti detik jam, saat itu, seirama dengan detak jantungku yang perlahan mengalun tinggi. Aku menunggu jawabannya.
Sialan, dia menyembulkan asap rokok ke mukaku sebagai jawaban. Kawanku menunjuk ke arah kasur dengan dagunya. Aku melihat sebuah buku tergeletak. Dari sampul kuketahui judulnya, Al-Asbun: Manfaatulngawur. Aku terperanjat.
“Buku itu ditulis oleh seseorang yang mengaku dirinya sebagai seorang imam besar,” ucapnya, seakan membaca raut wajahku yang penuh kebingungan.
“Apa yang spesial?” aku kembali melempar pertanyaan. Suasana mulai cair, sementara aku semakin penasaran.
Dia menjelaskan panjang lebar, bahwa buku tersebut bisa menghancurkan segala macam tatanan yang sudah mapan di kehidupan saat ini. Katanya, selama tiga hari belakangan, tiga kali pula dia melahap habis buku itu.
Awalnya aku menganggap jika dia hanya tengah terkagum dengan penulisnya, atau mungkin isinya, entahlah. Aku menyimpulkan apa yang tengah dialaminya saat ini, tidak lebih seperti seorang remaja yang baru saja mendapatkan kencan pertamanya—cinta monyet. Nan berbeda, objeknya adalah buku.
Sebenarnya, aku percaya-percaya saja, sambil manggut-manggut mendengar ocehan-ocehan panjangnya. Namun, aku tak yakin betul. Walau sudah kenal dekat dengan dia, aku tetap belum mendapat satu gambaran utuh dan pasti mengenai apa yang tengah melanda kawanku saat ini.
“Kok bisa?” tanyaku lagi.
Dia menjawab dengan sengak, “Dasar bego. Sudahlah, dijelaskan kayak apa juga kau enggak akan paham,” dia tertawa mengejek—satu hal lain yang belum ikut berubah darinya, renyah dan singkat—sebelum menyebut sebuah nomor halaman. “Baca keras-keras!” sergahnya.
Dengan malas aku bangkit dan membuka buku itu di halaman yang dia perintahkan. Dari tempatku berdiri aku pandang wajahnya, dia masih cengar-cengir. Aku mengernyit sebelum merapal dengan lantang sebuah kalimat yang berbunyi: “Jangan tanya apa yang sudah negara berikan padamu, tapi tanya apa yang sudah negara ambil darimu.”
Secepat kilat aku langsung memandangnya. Kami berdua saling bertatapan untuk kemudian terbahak-bahak bersama.
Selanjutnya: Run
Catatan: Cerita bersambung ini diawali Irfa Ulwan. Dalam proses kreatif, dua penulis tidak saling berdiskusi harus bagaimana alur ceritanya, sehingga harus sama-sama siap. Ringkasnya, Irfa menulis dan Akbar Ridwan melanjutkannya. Begitu seterusnya sampai Akbar menutup cerita bersambung ini. Karangan ini pernah terbit di laman Sintas.co. Akan tetapi, laman tersebut sudah tutup. Diakronik.com mendapatkan izin dari Irfa dan Akbar untuk memuat ulang karya keduanya dengan sedikit penyuntingan tanpa mengubah maksud atau makna.