Memperingati May Day atau Hari Buruh Sedunia tahun 2024, Aliansi Suara Rakdjat (Asuro) dan Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI), mendesak pemerintah untuk segera mencabut segala bentuk produk hukum yang tidak berpihak pada buruh. Sebanyak tujuh poin tuntutan dilayangkan kepada pemerintah Indonesia, Rabu 1 Mei 2024, Kota Malang.
“Poin tuntutannya jelas, mencabut undang–undang maupun produk hukum yang bermasalah dan bersinggungan langsung dengan kesejahteraan para buruh,” tegas Rebo, Koordinator Aksi Lapangan (Korlap) Asuro.
Panasnya Kota Malang tidak menurunkan semangat massa untuk menjalankan aksi. Nyanyian “Buruh Tani” terus bergema. Seruan para orator berkumandang. Penampilan kesenian “bantengan” turut mewarnai aksi demonstrasi ini.
Dalam peringatan May Day yang berlangsung kali ini, aliansi Asuro dan SPBI mengusung tema “Mahkamah Kerakyatan: Mengadili Warisan Sampah di Akhir Rezim Jokowi”.
Sejak pukul 10.00 WIB, satu per satu massa aksi mulai berdatangan ke lokasi aksi titik kumpul. Setengah jam kemudian, Korlap menginstruksikan massa aksi untuk bergerak menuju Stadion Gajayana.
Perjalanan dari Stadion Gajayana itu dipimpin oleh mobil komando (Mokom) dan empat buah “bantengan” yang merupakan kesenian khas Malang. Sementara, massa aksi berarak-arakan mengikuti dari arah belakangnya.
“Bantengan ini menunjukkan bahwa kita disini bukan untuk melakukan pengrusakan tapi lebih ke menyuarakan apa yang perlu disuarakan”, ujar Rebo, Korlap.
Tepat pukul 11.00 WIB massa aksi telah memadati gedung Balai Kota Malang dan mulai berorasi. Seorang massa aksi, dari barisan depan, bergegas pergi menaiki Mokom. Tangan kanannya menggenggam mikrofon. Suaranya lantang memprotes Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap sebagai produk hukum terburuk.
“UU Cipta Kerja kan sudah dinyatakan inkonstitusional, namun dinyatakan bersyarat, padahal kalau di negara lain ini tidak mungkin disahkan,” tegas Cak Misdi, Koordinator Divisi Advokasi dan Komite Pusat SPBI Malang Raya.
Hari itu Cak Misdi begitu percaya diri. Ia mengenakan kemeja berwarna biru gelap dengan lambang bendera merah putih di lengan kanannya, dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka sehingga memperlihatkan kaos merah SPBI-nya. Penampilannya kian lengkap dengan topi basin yang senada dengan kemejanya.
Dalam orasinya, Cak Misdi juga menilai bahwa Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan, justru hanya melegalkan praktik kontrak pendek dan berulang, serta sistem alih daya. Hal ini semakin berdampak buruk terhadap kehidupan kaum buruh.
Merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sistem kerja alih daya atau outsourcing merupakan pengalihan dari sebagian atau seluruh kegiatan operasional suatu perusahaan kepada pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud yaitu perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja.
Bermula dari Kasus Pembunuhan Marsinah Hingga May Day 2024
Mendekati pukul 13.00 WIB, orasi dihentikan agar massa beristirahat. Kesenian “bantengan” ditampilkan kembali sebagai jeda waktu istirahat. Sembari beristirahat, Cak Misdi menceritakan pengalamannya selama mengikuti aksi demonstrasi kepada saya.
Menurutnya, aksi May Day 2024 ini tidak seramai aksi-aksi demonstrasi yang pernah ia ikuti sebelumnya. Cak Misdi menduga, lantaran aksi May Day di Kota Malang sempat absen selama tiga tahun sejak covid-19 mewabah. Namun, jumlah massa aksi diperkirakan lebih dari 300 orang.
“Kalau semua turun dan solid, ini bisa tiga kali lipat [massanya].” ujarnya.
Dugaan Cak Misdi bukan tanpa sebab, pasalnya sejak tahun 2001 ia telah aktif dalam gerakan buruh di Kota Malang dengan ikut serta mendirikan organisasi serikat buruh bernama Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI).
“Saya sudah turun aksi sejak adanya kasus Marsinah. Bergabung bersama organisasi buruh sejak 1994, kemudian ikut dalam SPBI hingga resmi didirikan.”
Cak Misdi juga pernah tertangkap oleh aparat saat melakukan aksi di Malang pada tahun 2000. Sedangkan pada aksi di Surabaya pernah dikejar aparat, namun tidak sampai tertangkap. Cak Misdi bersama teman-temannya berhasil lolos saat itu.
“Saya sendiri bukan anak kuliahan, tergerak karena dinamika bangsa,” jelasnya.
Pada tahun 1994, Cak Misdi yang turut menyuarakan kasus Marsinah ini mendapatkan represi dari pemerintah.
“Kami mendapatkan pressing [tekanan] dari negara [polisi dan tentara] saat itu, kemudian istirahat dan duduk [tidak turun aksi demonstrasi]. Sampai tahun 1998 ada ramai-ramai itu, saya turun lagi hingga saat ini, tidak pernah absen,” kenang Cak Misdi.
Rezim jagal Orde Baru menciptakan ketakutan massal bagi gerakan rakyat saat itu. Intimidasi dan cara-cara kekerasan menjadi alat kendali Orde Baru dalam memukul gerakan rakyat. Kini, ingatan itu masih membekas dalam benak Cak Misdi.
Ancaman dan intimidasi berupa pengejaran, penangkapan, hingga penganiayaan kerap dilakukan aparat kekerasan negara pada massa aksi. Karena itu, menurutnya, Orde Baru merupakan perwujudan rezim tangan besi.
“Indonesia telah mengalami banyak dinamika di dunia politiknya, kalau dahulu dinamika yang terjadi itu ada pada tangan besinya,” ujarnya.
Membandingkan dengan keadaan saat ini, Cak Misdi menyatakan, kekerasan yang dilakukan oleh negara justru berjalan melalui sistem supremasi hukum. Hukum dijadikan alat untuk memukul gerakan rakyat yang menuntut perbaikan kondisi hidup. Salah satunya melalui UU No 6/2023 tentang Cipta Kerja.
“Dulu keburukan bukan dalam sistem, namun ada pada tangan besi. Hari ini kita ditekan oleh sistem yang bersifat menyeluruh, seperti kapitalisasi pendidikan,” terangnya.
Pada akhir pernyataannya, Cak Misdi mengungkapkan alasan ia tetap terlibat dalam aksi demonstrasi buruh, bahkan setelah semua kejadian buruk yang pernah ia alami.
“Para sesepuh ini berjuang untuk generasi selanjutnya. Karena sudah seperti yang saya katakan tadi yang kita lawan saat ini adalah sistem. Kalian harus bersiap untuk hal yang lebih buruk lagi,” pungkasnya.
Berdasarkan siaran pers, yang diterima oleh Diakronik.com pada 30 April 2024, aliansi Asuro mendesak pemerintah melalui tujuh tuntutan. Pertama, mencabut Undang–Undang No. 6/2023 tentang Cipta Kerja dan segala peraturan turunannya.
Kedua, menghentikan kriminalisasi terhadap buruh dan menjamin kebebasan berserikat bagi buruh. Ketiga, menjalankan reforma agraria sejati. Keempat, optimalisasi Undang–Undang Jaminan Sosial dalam Praktik Pelaksanaanya bagi buruh.
Kelima, sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Keenam, usut secara tuntas kasus kekerasan serta pelanggaran HAM bagi buruh di masa lalu dan yang sedang berlangsung. Ketujuh, mengutuk keras segala bentuk intervensi Pemilu yang dilakukan oleh para pihak dan jajarannya yang berakibat pada munculnya kemunduran demokrasi.
Selain ketujuh tuntutan tersebut, aliansi juga mengingatkan kembali tragedi pembantaian Kanjuruhan, 1 Oktober 2022. Mereka meminta keadilan terhadap para korban untuk terus disuarakan dan diperjuangkan.
“Kanjuruhan belum selesai, janji manis dari dalam Gedung DPRD untuk mengusut tuntas Kanjuruhan nyatanya tidak ada, tidak ada yang memihak rakyat,” ucap orator dengan suara lantang.