Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyampaikan tujuh masalah krusial pendidikan nasional. Hal ini disampaikan Ketua YLBHI Muhamad Isnur dalam momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei 2024.
Pertama, YLBHI menyoroti biaya pendidikan yang mahal. Padahal, Pasal 13 ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mewajibkan indonesia untuk mengupayakan pendidikan gratis pada semua jenjang.
“Dalam praktiknya masih banyak sekolah negeri membebankan biaya pendidikan atas nama sumbangan pendidikan. Pada level pendidikan tinggi, kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan gratis masih jauh dari panggang api,” kata Isnur dalam siaran pers, Kamis (2/5/2024).
Khusus perguruan tinggi, saban tahun uang kuliah tunggal (UKT) kian mahal. Isnur mengatakan, permasalahan menahun itu banyak terjadi di universitas-universitas negeri yang berstatus badan hukum. Ironinya, kampus justru “menjebak” peserta didik dalam jerat pinjaman online.
“Bahkan saat ini terdapat 83 institusi pendidikan tinggi secara resmi bekerja sama dengan perusahaan pinjaman online yang akan diakses oleh mahasiswa apabila tidak mampu membayar SPP [semester—red],” ungkapnya.
Kedua, YLBHI menyoroti kesejahteraan guru dan dosen yang belum terpenuhi. Pengamatan YLBHI, menunjukkan upah guru honorer berkisar Rp1,5-Rp2 juta di kota-kota besar, sementara di daerah Rp300 ribu-Rp1 juta.
Menurut Isnur, hal tersebut juga terjadi pada dosen. Riset Kesejahteraan Dosen yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Kampus menunjukkan 42,9% dosen menerima upah dibawah Rp3 juta perbulan dan 58% tenaga kependidikan merasa penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidup.
“Permasalahan ini tidak terjawab oleh anggaran pendidikan yang setiap tahunnya meningkat sebanyak 6%,” ucapnya.
Catatan ketiga adalah korupsi pendidikan. Isnur mengatakan, pendidikan masih menjadi sektor yang berpotensi besar sebagai ladang korupsi bagi penyelenggara pendidikan yang disebabkan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum.
YLBHI mencatat, perilaku koruptif, seperti kasus pungutan liar, gratifikasi, kolusi saat melakukan pengadaan barang, dan nepotisme ketika penerimaan peserta didik baru masih menjadi tren.
“Pola ini terlihat pada kasus yang didampingi oleh LBH Medan terhadap 107 Guru Honorer di Sumatera Utara yang menjadi korban gratifikasi di saat proses penerimaan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK),” jelasnya.
Catatan keempat terkait minimnya partisipasi bermakna dama perumusan kebijakan pendidikan. Isnur menyampaikan, salah satu amar Putusan Mahkamah Agung No. 2596 K/PDT/2008 terkait masyarakat sipil yang menolak ujian nasional memerintahkan pemerintah meninjau kembali sistem pendidikan nasional.
Namun, alih-alih melakukan itu, pada 2022 pemerintah justu melakukan upaya revisi UU Sisdiknas tanpa proses perencanaan dan penyusunan yang transparan, serta mengedepankan prinsip partisipasi bermakna dari masyarakat dan para stakeholder pendidikan lainnya.
Lima, YLBHI menyoroti politisasi pendidikan dan ancaman kebebasan akademik. Catatan ini berangkat dari pengalaman kritik para guru besar, dosen, dan sivitas akademika yang gelisah terhadap problematika kenegaraan berujung pada ancaman dan teror, baik fisik maupun digital.
Enam, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan banyak terjadi. Isnur mengatakan, selama 2015-2021, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima 67 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Dari seluruh laporan tersebut mayoritas atau 35% berasal dari kampus. Selain itu, lingkungan pendidikan lain yang banyak melaporkan kasus kekerasan seksual adalah pesantren (16%) dan SMA/SMK (15%).
“Angka ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan baik pendidikan tinggi, sekolah maupun pesantren belum optimal menjaga keselamatan peserta didik dari ancaman kekerasan seksual,” ujarnya.
Terakhir, YLBHI menilai kualitas pendidikan Indonesia masih buruk. Hal itu merujuk peringkat dari word population review 2021 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-54 dari 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan pendidikan dunia.
“Indonesia masih tertinggal dari negara serumpun di Asia Tenggara, yaitu Singapura di posisi 21, Malaysia 38, dan Thailand 46,” ungkapnya.
Atas tujuh catatan tersebut, YLBHI mendesak pemerintah dan DPR untuk menjalankan pemerintahan demokratis dengan mengedepankan prinsip partisipasi bermakna kepada publik. Dua lembaga itu didesak pula untuk membuat skema penyelesaian serius dan komprehensif atas masalah-masalah pendidikan.
“Mendesak pemerintah dan DPR sebagai penyelenggara pendidikan menyusun skema dan menerapkan pendidikan gratis, baik pada level pendidikan dasar, pendidikan lanjutan, dan pendidikan tinggi. Secara khusus menghentikan praktik pendanaan pendidikan dengan menggunakan pinjaman online yang tidak sesuai dengan prinsip pendanaan pendidikan,” terang Isnur.
YLBHI turut meminta pemerintah dan DPR untuk meningkatkan perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan kepada tenaga pendidik, terutama guru honorer. Lebih lanjut, pemerintah diminta pula untuk menghormati dan melindungi kebebasan akademik.
“Mendesak pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara holistik,” tutup Isnur.