“Model akomodasi politik yang saat ini berjalan tidak dilakukan dengan melibatkan operasi aparat kekerasan seperti saat rezim Orde Baru berkuasa. Sebaliknya, justru model yang beroperasi saat ini, mengutip dalam beberapa literatur, disebut sebagai model akomodasi secara legal atau legal-otoritarianisme.”
Irwansyah
Sekitar pukul 15:30 WIB, satu per satu peserta diskusi mulai memadai pelataran halaman rumah di jalan Mampang Prapatan XIV Nomor 112, Jakarta Selatan. Rumah itu merupakan kantor Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia atau KPRI.
Lebih dari tiga puluhan orang hadir mengikuti acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Asia Research Centre Universitas Indonesia (ARC-UI) dan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS). Dua buku yang berjudul “Buruh dan Negara di Indonesia” karya Vedi R. Hadiz dan “Buruh Menuliskan Perlawanannya III: Berpencar, Bergerak!” yang diterbitkan oleh LIPS, didiskusikan dengan melibatkan empat orang pemantik. Acara tersebut berlangsung pada 25 April 2024.
Empat orang narasumber memantik proses berjalannya diskusi bedah buku. Dua di antaranya adalah dosen dari Universitas Indonesia, yakni Irwansyah dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Diatyka Widya Permata Yasih dosen sosiologi sekaligus peneliti ARC-U). Sedangkan, tiga orang lainnya berasal dari aktivis serikat buruh: Sastro dari KPRI, Triono dari Serikat Pengemudi Angkutan Roda Dua atau Serdadu, dan Zaenal Rusli dari Federasi Serikat Buruh Karya Utama atau FSBKU. Lebih dari dua jam acara tersebut berlangsung. Sekitar jam lima sore, sesi tanya jawab antara peserta dengan narasumber berakhir.
Buku berjudul “Buruh dan Negara di Indonesia” karya Vedi R. Hadiz baru saja rampung diterbitkan dalam bahasa indonesia oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Semula buku tersebut berjudul “Workers and the state in new order Indonesia” yang terbit pada tahun 1997.
Meskipun merupakan karya yang terbit pada tahun 1997, karya Vedi R. Hadiz masih tetap relevan untuk didiskusikan. Lantaran, sistem kerja yang berlangsung hari ini telah mengalami perkembangan digitalisasi, sehingga berdampak terhadap gerakan buruh. Konteks rezim perburuhan yang berbeda ini menjadi alasan kami untuk mencari relevansi kerangka teoritik Vedi Hadiz dalam industri Ekonomi Gig, khususnya industri Ojek Online (Ojol). Karena itu, kami mewawancarai salah seorang narasumber acara bedah buku tersebut. Irwansyah namanya atau kadang orang menyebutnya dengan Jemi. Ia merupakan tenaga pengajar di Fakultas Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Diakronik: Menurut lu, apa relevansi buku “Buruh dan Negara di Indonesia” karya Vedi Hadiz yang telah didiskusikan dengan konteks gerakan buruh hari ini?
Jemi: Ada beberapa relevansi, tapi yang paling utama, bahwa buku ini adalah karya ilmiah yang sangat penting untuk mengenali sejarah kelas buruh di Indonesia, terutama pasca tahun 1965. Sementara, sampai saat ini Indonesia masih seperti Orde Baru, dalam konteks strategi ekonomi dan karakter kapitalismenya berkelanjutan dari 1965 itu. Sehingga, relevansinya bagi kita kelas buruh dan pengkaji studi perburuhan, untuk mengetahui secara kokoh proses sejarah dan dinamika relasi negara dan kelas buruh yang telah dituliskan oleh Vedi R. Hadiz dari akhir tahun 90-an.
Relevansi yang mungkin diharapkan banyak orang yaitu bisa digunakan untuk menjelaskan situasi relasi negara dan buruh sekarang. Tentu hal Itu menjadi tugas generasi sekarang untuk mengkajinya.
Berbagai argumen utama di dalam buku itu tentang akomodasi negara, buruh, dan modal yang dituliskan masih relevan, walaupun institusi-institusi politik yang ada saat itu telah berkembang. Misalnya dulu itu pemerintahan negara otoriter, sekarang demokrasi multi-partai, tapi tetap tidak demokratis juga. Sementara, penyingkiran buruh dari politik masih tetap berlangsung.
Pemilu tahun 2024 ini menjadi pembeda dengan sistem Pemilu pada tahun sebelumnya. Salah satu partai baru hadir bernama Partai Buruh, tapi keberadaannya masih dalam posisi yang sangat marjinal. Sehingga, bisa dikatakan kondisi hari ini beda-beda tipis dari marginalisasi sebelum Orde Baru aja.
Relevansi selanjutnya, kita lihat bahwa buruh adalah agen aktif dalam bereaksi terhadap struktur kapitalisme yang menindas mereka. Tapi, bukan berarti mereka semata-mata harus dilihat karena dia buruh kemudian disebut sebagai agen aktif. Mereka atau buruh itu bagian dari relasi kapitalisme itu sendiri.
Sistem kapitalisme di Indonesia pasca 1998 menjadi semakin kompleks. Misalnya saat ini kita dengar dari diskusi, ada fenomena Ojek Online (Ojol) dan jenis-jenis kapitalisme digital lainnya. Fenomena itu semua belum pernah ada di tahun 1990-an. Tapi yang menjadi catatan penting adalah moda akomodasi yang ada di rezim Orde Baru itu berkembang atau dilanjutkan. Misalnya, hegemoni untuk menghindari kesadaran kelas buruh, kalau di era Orde Baru, adalah dengan mempopulerkan istilah karyawan dan membuat kata buruh menjadi stigma untuk mengaitkan dengan ajaran komunis.
Model operasi yang sama kemudian juga terjadi di industri Ojol. Buruh didorong oleh operasi aplikator dan negara untuk menggunakan istilah mitra. Lalu di sektor pendidikan atau buruh kreatif, mereka yang bekerja dilihatnya bukan sebagai buruh, tapi sebagai dosen atau pekerja intelektual.
Politik bahasa ini jelas memiliki implikasi yang serius. Terlebih, ketika berfungsi sebagai akomodasi politik. Dalam model analisisnya Vedi Hadiz, ia menyebutnya sebagai penyingkiran atau eksklusi buruh terhadap kekuatan sosial-politik yang punya ruang dan kesempatan, untuk berkembang sebagai kekuatan politik.
Diakronik: Berarti pengeksklusian lewat istilah yang dipraktikkan oleh Orde Baru, sekarang ada bentuk yang mirip dalam fenomena gig economy, khususnya buruh Ojol, dengan menyamarkan relasi kerja mereka menjadi mitra?
Jemi: Hegemoni dalam politik bahasa itu fungsinya adalah untuk melemahkan daya lawan atau daya tawar si kelas buruh. Sementara hukumnya, secara legal seolah-olah memenuhi standar internasional. Setelah 1998, Indonesia adalah salah satu negara yang banyak meratifikasi standar-standar perburuhan internasional.
Kemudian, salah seorang peserta diskusi bertanya, “Lalu undang-undang yang baik kenapa tidak bisa dilaksanakan?” Jawabannya, karena tidak ada kekuatan politik dari kelas buruh untuk menekannya. Sementara, bersamaan dengan itu kesadaran sebagai buruh di tingkat kolektif terus-menerus dilakukan untuk menghancurkan kekuatan serikat buruh.
Mayoritas buruh digiring untuk berpikir, bahwa mereka tidak perlu berserikat. Situasi ini tidak bisa dipisahkan dari sistem kontrak yang semakin menjamur sejak disahkannya UU Cipta Kerja. Buruh akan terus-menerus bekerja. Maka, secara rasional choice atau secara pilihan individual, orang akan tergiring untuk berpikir untuk tidak berserikat. Lebih baik berkompetisi satu sama lain dan kalau ada masalah di tempat kerja, pilihannya menempuh jalur Pengadilan Hubungan Industrial atau hukum. Itulah salah satu bentuk akomodasi yang melemahkan buruh. Sedangkan, kekuatan buruh bersifat kolektif. Dengan demikian kekuatan kolektif tidak terbangun.
Diakronik: Ketika banyak bentuk pelemahan yang dilakukan oleh negara maupun pihak aplikator terhadap para buruh Ojol, mulai dari doktrin kemitraan, sistem algoritma order, dan lain sebagainya, menurut lu, apa masalah yang semestinya diselesaikan oleh komunitas Ojol di tengah bentuk pelemahan itu?
Jemi: Kalo kita mengacu ke model analisis Vedi Hadiz, pertama-tama adalah mengenali pola akomodasi politik yang merugikan itu. Karena kalau tidak, kita akan terjebak pada perjuangan yang legalistik. Misalnya, penolakan terhadap UU Cipta Kerja, akhirnya tenaga habis di wilayah litigasi untuk melakukan gugatan judicial review. Memang kemudian gerakan tersebut berhasil menang dengan dikeluarkannya putusan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Tapi, tidak butuh lama kemudian, Jokowi kemudian mengeluarkan PERPU No. 2 Tahun 2022. Lalu dengan sepihak Perpu tersebut disahkan menjadi Undang-Undang.
Model akomodasi politik yang saat ini berjalan tidak dilakukan dengan melibatkan operasi aparat kekerasan seperti saat rezim Orde Baru berkuasa. Sebaliknya, justru model yang beroperasi saat ini, mengutip dalam beberapa literatur, disebut sebagai model akomodasi secara legal atau legal-otoritarianisme.
Begitu banyak siasat dan strategi hukum yang seolah-olah ada hukumnya, sesuai prosedur, tapi justru menjadi jebakan ketika diikuti. Karena justru tujuannya membuat respon masyarakat tidak bisa bersifat kolektif, jadi tergiring menjadi individualis. Tentu sudah ketebak pasti kalah. Karena itu, penting untuk mengorganisir kawan-kawan yang berkecimpung di ranah hukum atau pengacara progresif, sekaligus juga untuk mengatakan kepada mereka, bahwa tidak semata-mata bergantung di wilayah legal.
Kembali lagi, penting kemudian untuk menyadari dulu model akomodasi yang merugikan itu seperti apa. Pengorganisasian harus dikaitkan kepada situasi akomodasi politik apa yang sedang kita hadapi hari ini. Sehingga, pengorganisasian kolektif bukan hanya karena kita merasa, bahwa jumlah kita banyak sehingga kita harus menggunakan kekuatan. Tapi, karena kita menyadari penggunaan kekuatan secara individu itu adalah jebakan untuk semakin melemahkan gerakan.
Kesadaran kolektif itu adalah kunci untuk melawan jebakan pola-pola pelemahan dalam pengorganisasian. Sebetulnya antidot dari UU Cipta Kerja itu bukan hanya perjuangan legal, tapi juga peningkatan jumlah serikat buruh di berbagai tempat kerja. Mumpung UU No 21 Tahun 200 tentang Kebebasan Berserikat masih ada. Tapi, kita tidak tahu sampai berapa lama lagi strategi seperti Omnibus Law atau Cipta Kerja itu juga akan digunakan untuk UU Kebebasan Berserikat. Dan, ketika hal itu terjadi, semakin sempit ruang kita untuk melawan secara kolektif.