DIAKRONIK.COM – Pada peringatan Hari Nelayan Nasional ke-55 ini, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyoroti berbagai masalah yang masih menyelimuti nelayan, khususnya soal minimnya perlindungan terhadap kedaulatan ruang perairan nelayan kecil atau tradisional di berbagai wilayah. Menurut Kiara, hal ini berdampak pada meningkatnya biaya produksi, menurunnya hasil tangkapan, hingga meningkatnya kasus-kasus perampasan ruang bahkan penggusuran nelayan.
Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati menyebut pemerintah belum sepenuhnya menjalankan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. Sehingga, lanjut Susan, kondisi nelayan semakin rentan akibat perampasan ruang hidup yang tidak menjadi perhatian serius bagi pemerintah.
Susan mencontohkan, kasus perampasan ruang hidup nelayan salah satunya menimpa nelayan yang terdampak proyek Tanggul Laut Raksasa atau Giant Sea Wall di Teluk Jakarta dan Pantai Utara Jawa Tengah.
“Hal itu dilegitimasi oleh berbagai kebijakan dan peraturan yang disusun oleh pemerintah itu sendiri, salah satu contohnya adalah rencana pembangunan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta dan juga di Jawa Tengah,” kata Susan dalam siaran pers tertulis, Sabtu (6/4/2024).
Menurutnya, proyek Giant Sea Wall yang digadang-gadang oleh capres Prabowo Subianto ini akan merampas ruang tangkap nelayan kecil. Pasalnya, kata Susan, material pasir untuk menimbun laut di lokasi proyek ini diambil dengan cara menambang pasir laut di tempat lain.
“Sehingga juga akan menyebabkan perampasan ruang tangkap nelayan dan merusak ekosistem perairan laut di tempat penambangan pasir tersebut,” jelas Susan.
Ia menuturkan, kebijakan lain yang saat ini berpotensi merampas dan merusak ruang hidup nelayan dan ekosistem laut diakomodir dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Susan menyebut peraturan ini justru melegalisasi praktik penambangan pasir laut di perairan Indonesia.
Adapun dalam Pasal 9 Ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa pasir laut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan pembangunan, seperti reklamasi, infrastruktur pemerintah, prasarana oleh pelaku usaha, dan kepentingan ekspor.
“Selain pertambangan pasir laut, ada juga pertambangan nikel yang saat ini dimasifkan untuk hilirisasi nikel nasional,” tuturnya.
Kemudian, lanjut Susan, ada pula proyek pariwisata dengan label eco-wisata, premium, hingga eksklusif yang menyebabkan privatisasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil hingga membatasi bahkan memutus akses nelayan atas ruang kelolanya.
Salah satu contoh kasusnya terjadi pada masyarakat dan nelayan Desa Adat Serangan, Denpasar Selatan, Bali. Mereka secara tegas menolak rencana penguasaan ruang darat dan laut Desa Adat Serangan oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID) karena wilayah tersebut menjadi eksklusif dan tidak bisa dimanfaatkan nelayan setempat untuk mencari hasil laut.
Saat ini, PT BTID yang menguasai 491 hektare luas Pulau Serangan, tengah mengajukan izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) ke Pemerintah Provinsi Bali untuk melakukan berbagai pembangunan, salah satunya Pelabuhan Marina.
Selain itu, Susan juga menyoroti soal tidak adanya jaminan pengakuan dari pemerintah terhadap perempuan yang berprofesi sebagai nelayan dalam UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. Menurutnya, pemerintah harus merevisi beleid tersebut dan memasukkan aturan soal pengakuan terhadap perempuan nelayan yang saat ini berjumlah 3,9 juta jiwa.
“Ini seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk segera merevisi UU 7/2016 atau memasukkan 2 konteks tersebut dalam peraturan teknis atau pelaksaannya, sehingga UU 7/2016 menjadi UU yang implementatif, bukan seperti kondisi aktual saat ini,” tegas Susan.
Susan menilai nelayan juga tengah dihadapi oleh kebijakan internasional yang akan meliberalisasi sumber daya perikanan dan kelautan Indonesia melalui investasi dan perdagangan. Dalam konteks global, Konferensi Tingkat Menteri di World Trade Organization (WTO) saat ini tengah membahas tentang penghapusan berbagai subsidi perikanan. Menurut Susan, penghapusan subsidi perikanan ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi nelayan kecil.
“Subsidi untuk nelayan kecil di Indonesia merupakan mandat yang jelas dan tegas dari UU 7/2016 sebagai bentuk perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan menjaga sistem pangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” terangnya.
Atas berbagai permasalahan tersebut, Susan menyebut momentum Hari Nelayan Nasional 2024 seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh, mencabut regulasi yang tidak berpihak kepada profesi nelayan kecil, menyusun perlindungan ruang tangkap tradisional, serta memberi pengakuan kepada perempuan nelayan.
“Hal itu karena 90 persen profesi nelayan di Indonesia merupakan nelayan kecil. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain berpihak dan melindungi nelayan kecil di Indonesia. Selamat Hari Nelayan 2024!” pungkas Susan.