Miftahuddin Ramli alias Midun kembali menempuh perjalanan panjang dari Malang, Jawa Timur, ke Jakarta dengan mengayuh sepedanya. Pria berusia 53 tahun itu datang ke Jakarta untuk mencari keadilan bagi korban Tragedi Kanjuruhan yang tak kunjung didapatkan.
Tragedi pembunuhan massal yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022 silam masih menyisakan duka mendalam bagi rakyat Indonesia. Saat itu, sebanyak 135 orang tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka yang disebabkan tembakan gas air mata dari aparat kepolisian.
Dua tahun telah berlalu sejak laga antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya itu diwarnai dengan kematian ratusan nyawa suporter. Namun, keadilan bagi para korban masih menjadi tanda tanya besar.
Atas dasar itu, Midun kembali menuntut keadilan untuk korban Tragedi Kanjuruhan dengan cara bersepeda dari Malang menuju Jakarta. Pria paruh baya asal Kota Batu, Malang, Jawa Timur, itu tak gentar meski harus menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 800 kilometer.
Midun pernah melakukan aksi serupa pada Agustus 2023 dengan tujuan akhir Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta Pusat. Saat itu, Midun memulai perjalanan panjang dari Kota Batu pada 3 Agustus 2023 dan tiba di SUGBK 14 Agustus 2023.
Tahun ini, Midun menargetkan tujuan akhir perjalanannya di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur pada 1 Oktober 2024, tepat saat peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Lokasi tersebut dipilih Midun karena perjalanannya kali ini mengangkat tema ‘Ladub Berkeranda Mencari Kesaktian Pancasila’. Menurut Midun, Tragedi Kanjuruhan yang bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila merupakan sebuah penodaan terhadap Pancasila.
“Karena bertepatan di hari itu (1 Oktober) jugalah Tragedi Kanjuruhan. Di Hari Kesaktian Pancasila Tragedi Kanjuruhan terjadi dan itu menurut saya sebuah penodaan yang sangat fatal terhadap kesaktian Pancasila,” kata Midun saat ditemui di Taman Buku Bebasari, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (30/9/2024).
Midun memulai perjalanan dari rumahnya di Jalan Darsono Barat, Ngaglik, Kota Batu, pada Jumat (20/9/2024). Sepeda yang dikayuhnya sudah ia modifikasi dengan tambahan keranda di bagian belakang.
Terdapat sejumlah tulisan di keranda berwarna hitam itu, di antaranya ‘Justice for Kanjuruhan’ dan ‘Ladub Berkeranda Mencari Kesaktian Pancasila’. Di bagian belakang keranda, terdapat tulisan besar ‘135’ yang menandakan jumlah korban tewas dalam Tragedi Kanjuruhan.
Dalam perjalanannya itu, Midun sempat singgah di berbagai daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta, seperti, Nganjuk, Madiun, Ngawi, Sragen, Solo, dan Klaten.
Di Yogyakarta, Midun mengunjungi Sekretariat Brigata Curva Sud (BCS) atau suporter PSS Sleman di Stadion Maguwoharjo, Sleman, dan Wisma PSIM Jogja pada Senin (23/9/2024). Kehadiran Midun disambut hangat Brajamusti atau suporter PSIM.
Setelah menyusuri Jawa Tengah, kayuh sepeda Midun akhirnya berlabuh di Bumi Pasundan. Midun tiba di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (28/9/2024).
Masih pada hari yang sama, Midun membagikan cerita perjalanannya dari Malang untuk menyuarakan penuntasan kasus Tragedi Kanjuruhan di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Kota Bandung.
Selama 10 hari mengayuh sepeda di bawah terik matahari dan hujan, Midun akhirnya tiba di Jakarta, Senin (30/9/2024). Di Jakarta, Midun menghadiri acara diskusi publik di Taman Buku Bebasari, Pancoran, Jakarta Selatan, mengenai Tragedi Kanjuruhan dan pelbagai masalah yang saat ini menyelimuti sepak bola Indonesia.
Midun mengakui, semangatnya untuk tetap menyuarakan keadilan bagi korban Tragedi Kanjuruhan masih belum padam. Menurutnya, hal itu patut untuk tetap dilakukan selama kasus yang menewaskan 135 orang itu belum diusut tuntas.
“Saya masih semangat untuk tetap menyuarakan keadilan untuk Kanjuruhan. Saya rasa itu masih pantas karena memang sampai sekarang kan masih belum selesai urusannya,” tegas Midun.
Meski begitu, Midun tak mau ambil pusing terkait pihak-pihak yang menganggap kasus Kanjuruhan sudah selesai secara hukum.
“Kalau ada yang mau bilang ini sudah selesai silahkanlah dengan cara membuat pernyataan atau statement, baik itu kelompok masyarakat atau pemimpin petinggi negara, ya, silakan,” tuturnya.
Penyelesaian kasus Kanjuruhan yang masih menggantung, menurut Midun, membuat sepak bola Indonesia saat ini berlumuran dosa. Jika kasus ini masih belum diusut tuntas, lanjutnya, maka sepak bola Indonesia belum bisa dinikmati dengan suka cita.
“Kasus Kanjuruhan ini, ya, harus betul-betul diselesaikan karena sepak bola menurut saya sekarang itu berlumuran dosa, harus dirukiyah, disucikan lagi. Karena ketika itu tidak ada upaya untuk mengembalikan lagi marwah sepak bola yang benar-benar bersih, (sepak bola Indonesia) masih belum bisa dinikmati dengan baik,” pungkas Midun.
Pada kesempatan yang sama, Tim Kerja September Hitam Vebrina Monicha menilai Tragedi Kanjuruhan merupakan sebuah tragedi yang tidak hanya menimpa suporter sepak bola, tetapi juga tragedi terhadap kemanusiaan.
“Selain itu, Tragedi Kanjuruhan adalah tragedi yang disebabkan oleh kesalahan struktural dari negara, sehingga jika kita tidak menuntut kasus Tragedi Kanjuruhan ini sampai tuntas, maka ke depannya mungkin bisa jadi akan terjadi keberulangan yang serupa,” tegas Vebrina.
Perjalanan Kasus Tragedi Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan merujuk pada peristiwa berdarah paling kelam dalam sejarah sepak bola Tanah Air yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022. Dalam insiden ini, tercatat sebanyak 135 orang meninggal dunia dan lebih dari 500 orang mengalami luka-luka.
Peristiwa itu terjadi usai laga Arema FC melawan Persebaya diwarnai dengan aksi kekerasan oleh aparat TNI dan Polri terhadap Aremania, suporter Arema FC.
Berdasarkan rekaman video yang tersebar di media sosial, aparat TNI dan Polri melakukan pemukulan dan tendangan terhadap Aremania yang turun ke lapangan. Bahkan, aparat kepolisian juga menembakkan gas air mata ke arah lapangan dan tribun penonton.
Gas air mata yang menimbulkan kepanikan itu membuat penonton berlarian menuju pintu keluar. Dalam kondisi sesak napas, koridor pintu keluar yang sempit, dan tangga yang menurun, membuat ratusan orang kekurangan oksigen dan terinjak-injak, bahkan meninggal dunia.
Setelah kasus ini ramai disorot publik, kepolisian menetapkan enam tersangka yang terdiri dari tiga pihak swasta dan tiga lainnya berasal dari unsur kepolisian.
Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris divonis 1,5 tahun penjara, sedangkan Security Officer pertandingan Arema FC vs Persebaya Suko Sutrisno divonis 1 tahun penjara. Mereka dianggap lalai dalam tugasnya lantaran tidak melakukan verifikasi keamanan stadion dan membiarkan penonton melebihi kapasitas stadion yang hanya mampu menampung 38.000 orang.
Sedangkan dari unsur kepolisian, mantan Danki 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan divonis 1,5 tahun penjara. Sementara, mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto masing-masing divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Hakim Mahkamah Agung (MA) kemudian membatalkan vonis bebas AKP Bambang dan Kompol Wahyu. Di tingkat kasasi, AKP Bambang divonis dua tahun penjara, sedangkan Kompol Wahyu divonis dua tahun enam bulan penjara.
Tak hanya itu, MA juga memperberat hukuman Abdul Haris, dari semula 1,5 tahun menjadi dua tahun penjara.
Adapun satu tersangka lainnya dari pihak swasta, yakni Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, hingga saat ini belum dibawa ke pengadilan lantaran berkasnya tak kunjung dilengkapi Polda Jawa Timur.
Reporter: Aditya Wahyu