Sebagai bahan karsinogen, serat asbes dan segala jenis turunannya dapat menyebabkan asbestosis, kanker mesothelioma, dan kanker paru-paru. Temuan riset dr. Anna Suraya ini juga memberikan gambaran jelas bahwa penyakit yang ditimbulkan dari paparan asbes berbeda dengan penyakit abnormalitas paru pada umumnya.
Tiga Aktivis Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), yakni Ajat Sudrajat, Leo Yoga Prananata, dan Dhiccy Sandewa, tengah menghadapi sidang perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang dilayangkan Fiber Cement Manufacturers Association (FICMA) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Bersama Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi, mereka digugat secara perdata lantaran dinilai membuat perusahaan semen fiber di Indonesia berpotensi merugi hingga Rp7,9 triliun.
Gugatan FICMA terhadap Ajat dkk ini bukan tanpa sebab. Berawal dari 27 Desember 2023, Ajat dkk mengajukan permohonan gugatan uji materiil kepada Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia lampiran huruf B angka 5.
Para penggugat menginginkan agar lampiran itu juga dapat melengkapi aturannya dengan menambahkan label berbahaya serta cara penggunaannya pada barang yang mengandung asbes putih atau krisotil yang beredar di masyarakat. Sebab, penggugat menilai paparan material asbes dapat menimbulkan berbagai penyakit berbahaya, seperti mesothelioma, kanker paru, asbestosis, plak pleura, dan penebalan pleura.
Gugatan uji materiil itu pun dikabulkan MA pada 19 Maret 2024. Dalam putusan nomor 6P/HUM/2024, MA menyatakan bahwa Permendag Nomor 25 Tahun 2021 lampiran huruf B angka 5 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 yang telah diubah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023.
Ironisnya, empat bulan setelah MA mengabulkan uji materiil tersebut, FICMA menggugat tujuh pihak secara perdata –termasuk LPKSM Yasa Nata Budi, Ajat, Leo, dan Dhiccy- atas dugaan perbuatan melawan hukum ke PN Jakpus pada 17 Juli 2024.
Apa yang diperjuangkan Ajat dkk adalah pemberian label B3 bagi produk yang mengandung krisotil, salah satunya asbes, karena dapat meningkatkan kanker paru-paru. Namun, jalan yang mereka tempuh kini sama seperti tubuh yang terserang kanker: digerogoti.
Asbestos dan Mengapa Itu Berbahaya
Dalam sidang lanjutan gugatan perbuatan melawan hukum pada Senin (22/9/25) lalu, pihak tergugat menghadirkan dokter spesialis toksikologi paru, dr. Anna Suraya, sebagai saksi ahli. Anna memaparkan soal bahaya serat asbes bagi tubuh manusia.
Asbestos atau asbes adalah salah satu bahan tambang berupa mineral silika yang terbentuk secara alami dengan struktur berserat. Asbestos sendiri terbagi menjadi dua jenis, yakni serpentin dan amfibol. Kedua jenis ini juga mempunyai turunannya.
Serpentin adalah jenis asbes yang berbentuk keriting dan diperoleh dari batuan serpentin yang menghasilkan krisotil (asbes putih). Sedangkan asbestos berjenis amfibol terbagi menjadi amosite (asbes coklat), krosidolit (asbes biru), tremolit, anthophyllite, dan aktinolit.
Keenam bentuk mineral dari asbestos tersebut merupakan karsinogen atau bahan yang dapat memicu kanker pada manusia, baik itu berupa zat, orgasme, atau agen.

“Karsinogen itu artinya ketika bahan kimia itu disebut sebagai kanker. Karsinogenik itu sama dengan alergen, dan itu berlaku untuk batasan jenis serta jumlah yang menyebabkan kanker,” terang Anna dalam sidang lanjutan gugatan perbuatan melawan hukum FICMA terhadap LPKSM Yasa Nata Budi di PN Jakpus, Senin (22/9/2025).
Paparan asbestos terhadap manusia dapat meningkatkan risiko kerusakan paru-paru, baik itu kanker paru-paru ataupun mesothelioma. Penyebab utamanya karena serat asbes dapat menembus dan menetap di jaringan paru-paru, serta tidak bisa diurai seperti debu.
Pada jenis asbestos krisotil, seratnya berukuran lebih kecil dari makrofag, yakni sel darah putih untuk menghancurkan bakteri dan organisme berbahaya lainnya. Sehingga, gejala penyakit asbes tidak muncul dalam waktu dekat, melainkan proses jangka panjang dalam rentang 10-20 tahun.
“Kalau asbes biru itu panjang dan sulit ditelan oleh makrofag jadi cepat langsung sakit sedangkan asbes putih dapat ditelan tetapi proses menelannya seperti makan nasi. Kalau setiap hari makrofag menelan itu akan menyebabkan asbestosis, beberapa sel tumbuh liar dan akan menjadi kanker mesothelioma,” jelas Anna.
Asbestosis sendiri adalah kondisi ketika terjadi pengerasan jaringan paru-paru atau fibrosis paru akibat serat asbes yang terhirup dan tertimbun yang membatasi pengembangan paru-paru. Gejala yang dapat timbul dalam kondisi ini adalah sesak napas, batuk, dan nyeri dada.

Sebagai bahan yang termasuk ke dalam karsinogen, serat asbes yang terhirup dapat meningkatkan risiko terkena kanker mesothelioma. Kanker ini menyerang mesothelium, yakni sebuah selaput yang melapisi berbagai organ dalam tubuh, seperti pleura (lapisan paru-paru), peritoneum (lapisan rongga perut), perikardium (lapisan jantung), dan lapisan pelindung testis.
Jejak Paparan Asbestos di Indonesia
Dalam skala global, World Health Organization (WHO) pada tahun 2014 melaporkan bahwa asbestos dapat menyebabkan kanker paru-paru, laring dan ovarium, mesothelioma, serta asbestosis. Setidaknya, terdapat 107.000 orang yang meninggal terkait penyakit asbes setiap tahunnya.
Angka kematian ini meningkat pada laporan terbaru WHO tahun 2024 yang menyebutkan setidaknya terdapat 200.000 kematian akibat paparan asbes di tempat kerja.
“Segala jenis dari asbestos adalah karsinogen bagi manusia. Paparan asbes di tempat kerja menyebabkan lebih dari 200.000 kematian di seluruh dunia setiap tahun sejak tahun 2016. Angka ini mewakili lebih dari 70 persen kematian akibat kanker terkait pekerjaan,” tulis WHO dalam laman resminya, who.int, dikutip Sabtu (4/10/2025).
Meski begitu, di Indonesia, krisotil adalah bahan mineral yang masih digunakan pada industri bangunan, otomotif, dan tekstil.
“Tapi dunia menemukan bahwa asbes warna putih, biru, apapun itu dilarang. Terakhir daftar penyakit kerja itu diperbarui dan dengan jelas semua asbes menyebabkan penyakit asbestosis dan mesothelioma. Kita ketinggalan satu step dalam melarang asbes,” terang Anna.
Anna menceritakan bahwa pada 2016 lalu, terdapat gejala yang sama dengan asbestosis pada pekerja pabrik asbes berupa sesak nafas dan batuk.

“Saya juga berkeliling ke beberapa rumah sakit dan Computerized Tomography (CT Scan), tapi beberapa menyatakan abnormalitas paru-paru,” tambahnya.
Bukan tanpa sebab jika diagnosa awal ahli medis terhadap asbestosis adalah abnormalitas paru-paru. Pasalnya, diskursus medis soal asbestosis masih belum ditemukan di Indonesia. Selain itu, fibrosis paru yang menyebabkan asbestosis dan tuberkulosis (TBC) juga hampir serupa.
Fibrosis pada TBC terjadi sebagai respon peradangan terhadap infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang cenderung menyerang bagian atas dan puncak paru-paru. Sedangkan pada asbestosis terjadi karena sukarnya penguraian krisotil yang terhirup dan menyerang bagian bawah paru-paru.
Pada pemeriksaan dini, pencitraan CT Scan tidak dapat menangkap perbedaan tersebut sehingga memerlukan High-Resolution Computerized Tomography (HRCT). Namun jika kondisi asbestosis sudah terjadi pada waktu yang lama, CT Scan dapat menangkap pencitraan tersebut.
“Jadi kita bisa membedakan kalau di atas itu TBC, kalau di bawah itu asbestosis,” paparnya.
Temuan paparan asbestos lainnya yang terjadi di Indonesia terangkum dalam riset yang dipublikasikan pada tahun 2020 lalu dengan judul “Asbestos-Related Lung Cancer: A Hospital-Based Case-Control Study in Indonesia.” Riset tersebut dilakukan oleh Anna dengan periode pengumpulan data dari Mei 2018 hingga Agustus 2019.
Riset tersebut berbasis studi kasus-kontrol pada pasien rawat inap dan rawat jalan yang menerima CT Scan di RS Persahabatan, Jakarta Timur, dengan jumlah subjek sebanyak 696 orang. Temuan penting dalam riset tersebut yakni paparan asbes meningkatkan resiko kanker paru-paru sebanyak dua kali lipat.
Selain itu, sumber paparan asbestos yang diterima oleh subjek penelitian berasal dari dua lokasi, yakni tempat kerja dan lingkungan rumah. Untuk subjek yang terpapar dari tempat kerja, temuan yang paling banyak adalah “menangani produk mengandung asbes dalam proses konstruksi” dan “menangani produk mengandung asbes car repair and maintenance”.
Untuk subjek yang terpapar dari lokasi lingkungan, temuan yang paling banyak adalah “atap asbes,” “pembongkaran,” dan “bencana alam.” Kategori atap asbes merujuk kepada paparan akibat penggunaan asbes sebagai atap rumah dan merupakan sumber paparan yang paling banyak dilaporkan, yakni sebesar 40 persen.
Di sisi lain, sumber paparan asbestos yang berasal dari tempat kerja bertentangan dengan regulasi Nilai Ambang Batas (NAB) yang diterapkan di industri. NAB adalah batas maksimal yang dapat diterima pekerja selama 8 jam kerja atau 40 jam seminggu terhadap faktor fisika dan kimia. NAB berfungsi sebaga syarat wajib untuk melaksanan K3.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2018 menyebutkan bahwa NAB krisotil mengikuti pada NAB asbestos dan segala bentuknya dengan nilai maksimal 0,1 serat per mililiter (ml) pada kadar tertinggi diperkenankan (KTD) dan pajanan singkat yang diperkenankan (PSD).
Permenaker tersebut juga mengelompokkan asbestos dan segala bentuknya sebagai karsinogen kategori A1 yang terdapat dalam Lampiran nomor 3 bagian B tentang Kategorisasi Karsinogenitas.
“Terbukti karsinogen untuk manusia (Confirmed Human Carcinogen). Bahan-bahan kimia yang berefek karsinogen terhadap manusia, atas dasar bukti dari studi-studi epidemologi atau bukti klinik yang meyakinkan, dalam pemaparan terhadap manusia yang terpajan,” demikian bunyi lampiran pada Permenaker Nomor 5 Tahun 2018 tersebut.
Pada subjek penelitian yang terpapar dari lingkungan rumah dengan kategori atap asbes berkolerasi dengan tingginya angka penggunaan atap asbes di Indonesia serta ketiadaan kebijakan yang mengatur Baku Mutu Lingkungan (BML) terhadap asbestos.
“Amerika memiliki satu regulasi yang sangat ketat bahwa atap asbes hanya boleh digunakan 1 persen, atap kita 8 persen. Amerika boleh ada, tapi hanya 1 persen pemakaiannya karena konsekuensinya sangat mahal dan mereka harus melakukan tindakan yang sangat mahal,” ucap Anna.
Dalam laporan Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2024 yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statisik (BPS), tercatat bahwa penggunaan asbes sebagai atap rumah sebesar 9,68 persen dengan penggunaan terbanyak berada di provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 57,49 persen dan DKI Jakarta sebesar 54,68 persen.
Selain itu, ketiadaan kebijakan yang mengatur Baku Mutu Lingkungan terhadap asbestos batasan maksimal serat asbes di udara ambeien (udara bebas) tidak ditemukan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 yang mengatur Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam Lampiran VII PP tersebut, krisotil tidak terdaftar dalam bahan kimia yang harus diukur nilainya.
Pada Lampiran IX Daftar Limbah B3 dari Sumber Tidak Spesifik, disebutkan bahwa krisotil sebagai limbah B3 Kategori 2. Kategori 2 adalah jenis limbah yang mengandung B3, memiliki efek tunda, dan berdampak tidak langsung terhadap manusia dan lingkungan hidup serta memiliki toksisitas subkronis atau kronis.
Jika berkaca pada riset yang dilakukan Anna, subjek dengan paparan asbes kumulatif sebesar 10 fiber-year atau lebih meningkatkan risiko kanker paru-paru sebanyak tiga kali lipat. Fiber-year adalah satuan ukuran yang digunakan dalam epidemiologi dan kesehatan kerja untuk menghitung dosis kumulatif total paparan asbes yang dialami seseorang.
Angka ini menunjukkan bahwa risiko kanker paru-paru meningkat secara signifikan ketika total paparan seumur hidup seseorang mencapai ambang batas tersebut, terlepas dari apakah paparannya intens dalam waktu singkat atau paparan ringan dalam waktu yang sangat lama.
“NAB itu yang boleh ada di industri yang dianggap 95 persen pekerja aman bekerja 8 jam, jadi jangan bandingkan itu dengan lingkungan karena industri punya kebijakan sendiri. Di Indonesia, BML itu zero, tidak ada untuk asbes,” tutup Anna
Referensi
WHO, 2014, https://www.who.int/publications/i/item/9789241564816
WHO, 2024, https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/asbestos
Suraya, Anna, dkk. 2020. “Asbestos-Related Lung Cancer: A Hospital-Based Case-Control Study in Indonesia.” International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(2) https://doi.org/10.3390/ijerph17020591
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, https://jdih.kemnaker.go.id/asset/data_puu/Permen_5_2018.pdf
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, https://peraturan.bpk.go.id/Details/161852/pp-no-22-tahun-2021
Badan Pusat Statistik, Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2024 https://www.bps.go.id/id/publication/2024/12/31/66a8541b654e6bc0f333cb4f/indikator-perumahan-dan-kesehatan-lingkungan-2024.html 31-12-24