Ajat Sudrajat, Dhiccy Sadewa dan Leo Yoga Pranata berhasil memenangkan gugatan uji materiil atas Permendag Nomor 25 Tahun 2021 di MA pada 2024 lalu. Produk yang mengandung asbes putih atau krisotil pun disetujui untuk diberi label B3 sebagai material yang berbahaya. Namun, gerbong besar industri asbes di Indonesia bernama FICMA, melaporkan mereka atas dugaan perbuatan melawan hukum.
Aktivis Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Ajat Sudrajat, menjadi salah satu pihak yang digugat Fiber Cement Manufacturers Association (FICMA) atas dugaan perbuatan melawan hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada 17 Juli 2024. Gugatan ini dianggap sebagai upaya kriminalisasi yang menjerat Ajat dan dua orang temannya lewat praktik Strategist Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).
Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung M. Rafi Saiful Islam mengatakan karakteristik mendasar dari praktik SLAPP yaitu upaya negara atau perusahaan melaporkan balik gugatan masyarakat untuk membatasi hak partisipasi publiknya. Gugatan ini biasanya hanya menyasar pada beberapa individu dengan tuduhan pasal yang bisa saja berbeda dari duduk perkara awal.
Rafi mencontohkan, seorang aktivis lingkungan menggugat perusahaan atas kerusakan lingkungan yang disebabkannya. Aktivis ini justru dilaporkan balik oleh perusahaan dengan pasal pencemaran nama baik, sehingga isu utama yang digugat aktivis tersebut pun teralihkan.
“Tujuan dari perlawanan balik (perusahaan atau negara) untuk membungkam, menakuti, dan mengaburkan tujuan advokasi,” ujar Rafi dalam diskusi publik bertajuk Dari Hak Uji Materiil Hingga Digugat Korporasi, Ancaman SLAPP Bagi Perlindungan Hak-Hak Sipil di Hotel Alia Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2025).
Dalam kasus yang dihadapinya di PN Jakpus saat ini, Ajat dkk digugat oleh FICMA usai Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materiil mereka atas Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia. Dalam petitumnya, Ajat dkk menilai asbes putih atau krisotil merupakan barang yang harus dilabeli simbol berbahaya.
Namun, dengan adanya gugatan PMH terhadap Ajat dkk setelah putusan MA tersebut, Rafi menilai FICMA telah mengalihkan fokus utama perkara, yakni soal bahaya asbes putih atau barang yang mengandung krisotil.
“Tadinya soal (bahaya) asbes, fokus utamanya jadi beralih nih, jadi kasus kriminalisasi,” kata Rafi.
Menurut Rafi, gugatan uji materiil yang dimohonkan Ajat ke MK merupakan bentuk partisipasi publik sebagai hak konstitusional warga negara. Namun, partisipasi publik ini justru dirusak dengan upaya kriminalisasi melalui praktik SLAPP.
“Partisipasi publik itu merupakan hak warga negara. Tapi kadang partisipasi ini dirusak oleh orang-orang yang memiliki relasi kuasa lebih (negara dan perusahaan),” jelasnya.

Leo Yoga Pranata, aktivis K3 yang juga digugat bersama Ajat, menilai gugatan yang dilayangkan FICMA ini merupakan bentuk kriminalisasi aktivis melalui SLAPP gaya baru. Dalam perkara yang tengah dihadapinya ini, Leo menilai FICMA melakukan SLAPP gaya baru dengan mengulur waktu persidangan.
“Agar kami menyerah. (Mereka) berusaha memiskinkan kami dengan gugatan Rp7,9 triliun yang tidak masuk akal. Jadi mereka berusaha menakut-nakuti kita dengan persidangan di Jakarta. Sedangkan (domisili) kami di Bandung,” ujar Leo.
Sejak Juli 2024 atau selama 1,1 tahun, persidangan baru memasuki agenda pemanggilan saksi ahli dari pihak FICMA, yakni pada Senin (1/9/2025) lalu. Selama itu pula, Leo mengaku dirinya dan dua orang tergugat lain harus bolak-balik tiap seminggu sekali untuk menjalani persidangan di PN Jakpus.
“Agar kami terkuras tenaga dan biaya. Ini SLAPP dengan cara membuat kami lelah, agar terbungkam dan tidak jadi isu yang disorot masyarakat,” ujar Leo.
Saat ditemui Diakronik.com seusai diskusi publik pada Rabu (27/8/2025) lalu itu, raut muka Ajat Sudrajat terlihat lelah. Dibalik kelelahannya, ia tetap percaya apa yang ia dan kawan-kawannya lakukan adalah sebuah kebenaran.
Upaya SLAPP yang kini menimpanya tidak membuat anggota Local Initiative for Occupational Safety and Health Network (LION) itu kehilangan fokus. Ajat justru mengaku heran dengan apa yang dilakukan FICMA lewat gugatannya.
“Tidak pernah ada sejarah di indonesia yang menggunakan hak konstitusinya dalam uji materil lalu digugat,” ujar Ajat.
Sembari meminta dukungan kepada setiap orang dan organisasi yang hadir, ia juga mengingatkan kepada publik tentang bahaya jika ia dan teman-temannya kalah dalam kasus ini.
“Kami menganggap ini kasus serius, karena kalau kami kalah, intimidasi semacam ini (SLAPP) akan terjadi ke teman-teman yang lain. Kasus ini dapat menjadi yurisprudensi,” ujarnya
Awal Mula Kasus
Sebelum upaya kriminalisasi yang dilakukan FICMA menjerat Dhiccy Sandewa, Ajat Sudrajat, dan Leo Yoga Pranata, mereka bertiga telah melakukan permohonan gugatan uji materiil kepada Mahkamah Agung (MA) pada 27 Desember 2023. Mereka menggugat Permendag Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia lampiran huruf B angka 5.
Pada bagian lampiran huruf B angka 5 tentang Barang Bangunan itu tertulis Lembaran Serat Krisotil Semen Rata dan Lembaran Serat Krisotil bergelombang simetris atau kerap disebut sebagai atap asbes.
Para penggugat menginginkan agar lampiran itu juga dapat melengkapi aturannya dengan menambahkan label simbol berbahaya serta cara penggunaannya pada barang yang mengandung asbes putih atau krisotil yang beredar di masyarakat.

Dalam petitumnya, para penggugat menyebutkan berbagai penyakit berbahaya yang dapat ditimbulkan paparan material asbestos. Beberapa penyakit itu di antaranya;
- Mesothelioma, kanker agresif yang tidak bisa disembuhkan pada lapisan paru, rongga perut, dan organ lain.
- Kanker paru yang identik dengan jenis penyakit kanker paru secara umum karena penyebab bahan material lain.
- Asbestosis, yang merupakan penyakit paru kronis akibat fibrosis atau pengerasan jaringan paru-paru sebab paparan jangka panjang asbestos.
- Plak Pleura, yang merupakan petunjuk khusus dari organ tubuh akibat paparan asbes di masa lalu. Penyakit ini juga meningkatkan risiko terkena penyakit akibat paparan asbestos seperti kanker paru dan asbestosis.
- Penebalan Pleura, sebuah penyakit yang mengurangi elastisitas pleura pada paru-paru. Penebalan ini juga menghambat perkembangan paru serta membuat sesak napas dan nyeri di dada.
Gugatan uji materiil itu lantas dikabulkan MA pada 19 Maret 2024. Dalam putusan nomor 6 P/HUM/ 2024, MA menyatakan bahwa Permendag Nomor 25 Tahun 2021, lampiran huruf B angka 5 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 yang telah diubah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Selain itu, dalam putusannya, MA memerintahkan Menteri Perdagangan untuk mencabut Permendag Nomor 25 Tahun 2021 lampiran huruf B angka 5. MA juga memerintahkan Mendag untuk membuat aturan baru pada lampiran yang diputuskan telah dicabut.
Serangan Balik FICMA dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Namun, empat bulan setelah MA mengabulkan gugatan uji materiil tersebut, FICMA lewat Victory Law Firm menggugat tujuh pihak secara perdata atas dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ke PN Jakpus pada 17 Juli 2024.
Dalam dokumen gugatan FICMA yang diterima Diakronik.com, FICMA sendiri merupakan asosiasi pengusaha fiber semen di Indonesia yang terdiri dari delapan perusahaan bangunan dan dua perusahaan non-bangunan, di antaranya:
- PT Djabesmen
- PT Djabes Tunas Utama
- PT Siam-Indo Concrete Products
- PT Nusantara Building Industries
- PT Tripilar Beton Mas
- PT Putra Prima Sentosa
- PT Setiadji Mandiri
- PT Amak Firdaus Utomo8
- PT Mitra Metal Perkasa
- PT Indorima Gemilang
Sedangkan tujuh pihak yang digugat FICMA atas dugaan PMH yakni:
- Dhiccy Sandewa
- Ajat Sudrajat
- Leo Yoga Pranata
- Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi
- Indonesia Ban Asbestos Network (INA-BAN)
- Yayasan Nata Budi
- Menteri Perdagangan Indonesia

Beberapa hal pokok dalam gugatan tersebut menerangkan bahwa pihak tergugat, yang sebelumnya telah melakukan gugatan uji materiil ke MA, tidak mematuhi berbagai asas hukum yang berlaku serta memberikan pendiskreditan kepada material asbes putih atau krisotil sebagai barang berbahaya.
Menurut FICMA, data yang dimiliki oleh Leo dkk saat mengajukan gugatan uji materiil ke MA tidak memiliki kekuatan mengikat dalam skala internasional. Pasalnya, menurut FICMA, asbes putih tidak termasuk ke dalam barang berbahaya jika merujuk pada Konvensi Rotterdam yang telah diratifikasi Indonesia lewat UU Nomor 13 Tahun 2013.
Sebagai catatan, Konvensi Rotterdam merupakan perjanjian global multilateral sejak 1998 yang mengatur perdagangan internasional bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu yang bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan. Konvensi ini bertujuan membantu negara-negara yang tergabung untuk membuat keputusan tentang impor barang dan cara penggunaannya.
Namun, Vivi Schlünssen dalam artikel ilmiahnya menerangkan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari semua jenis asbestos, termasuk asbes putih. Artikel itu dipublikasi pada jurnal Environmental Internasional volume 178 pada Agustus 2023.
“Asbes adalah sekelompok serat mineral yang memiliki penggunaan komersial yang luas, baik saat ini maupun di masa lalu, namun dapat menyebabkan kematian dan gangguan kesehatan serius pada pekerja dan orang lain yang terpapar serat ini (lebih dari 200.000 kematian di seluruh dunia setiap tahunnya, disertai dengan beban kesehatan yang besar),” tulis WHO dalam laman resminya, who.int, dikutip Jumat (29/8/2025).
Atas temuan Vivi tersebut, World Health Organization (WHO) merilis laporan dengan menyatakan bahwa semua jenis asbestos, termasuk asbes putih atau krisotil, merupakan bahan karsinogenik atau penyebab kanker. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia itu, lebih dari 200 ribu buruh yang meninggal dunia setiap tahunnya akibat terpapar serat debu asbestos.
Menurut Ajat, gugatan FICMA dengan dalil perbuatan melawan hukum tersebut merupakan serangan balik industri terhadap masyarakat dan cenderung dipaksakan karena ingin membatalkan putusan MA. Hal ini, lanjut Ajat, bertentangan dengan hak konstitusi yang dimiliki setiap warga negara di mata hukum.
“Gugatan (FICMA) merupakan upaya untuk membungkam dan menimbulkan rasa takut bagi setiap masyarat sipil yang ingin menggunakan hak konstitusionalnya. Hal ini dapat menjadi preseden buruk dimasa depan,” ujar Ajat.
Ajat juga membantah gugatan FICMA yang menyebut para tergugat telah mendiskreditkan material asbes putih atau krisotil sebagai barang berbahaya. Ajat menegaskan, uji materiil yang mereka lakukan pada 2024 bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan dengan menjamin hak atas informasi dasar melalui pemberian label B3 terhadap barang yang mengandung asbes putih.
“Tujuan awal HUM yang kami lakukan adalah untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan dengan menjamin hak dasar atas informasi yang benar melalui labelisasi produk mengandung asbes krisotil yang telah dinyatakan sebagai bahan B3,” jelas Ajat.