Sengkarut Perselisihan Penghitungan Upah Lembur: Kisah Eks Buruh Graha Fortuna Purnama yang Digugat ke Pengadilan

Sengkarut Perselisihan Penghitungan Upah Lembur: Kisah Eks Buruh Graha Fortuna Purnama yang Digugat ke Pengadilan

Sidang Perselisihan Penghitungan Upah Lembur
Sidang perselisihan upah lembur, Kota Serang, Banten. Sumber: Diakronik.com

Ruang sidang Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Kota Serang, Banten, tampak sepi pada Rabu, 6 Agustus 2025. Siang itu, hanya ada sejumlah orang yang mengisi kursi pengunjung. 

Sebagian dari mereka hadir untuk menyimak persidangan yang sedang berlangsung, sementara yang lainnya tengah menunggu giliran agenda sidang berikutnya.

Di hadapan majelis hakim, dua orang duduk dengan gelisah. Mereka adalah Idris dan Dedi Iskandar.

Keduanya merupakan buruh PT Graha Fortuna Purnama (GFP) yang dihadirkan oleh perusahaan sebagai saksi fakta dalam kasus perselisihan penghitungan kekurangan upah lembur.

Sebelumnya, GFP menggugat salah satu mantan buruhnya, Ibrohim yang akrab disapa Boim, atas selisih penghitungan kekurangan upah lembur yang terjadi pada periode masa kerja Desember 2023-Juni 2024. 

Perselisihan tersebut terjadi karena kedua pihak memiliki penghitungan yang berbeda atas kekurangan upah lembur yang belum dibayarkan.

Pada Desember 2023, Idris, Dedi, dan Boim, bersama 19 orang lainnya, pernah ditugaskan mengerjakan pemasangan pipa di PT Asahi Synchrotech Indonesia (ASI), Kabupaten Gresik, Jawa Timur, selama tujuh bulan. Di tim ini, Idris didapuk menjadi leader.

Bergantian dengan Dedi, Idris aktif menjawab pertanyaan yang diajukan majelis hakim dan kuasa hukum. Pria kelahiran 1983 itu mengakui, selama mengerjakan pemasangan pipa di ASI, mereka selalu melakukan kerja lembur. 

Dalam satu hari, ujar Idris, rata-rata waktu lemburnya dilakukan selama satu hingga dua jam, dengan upah per jam Rp30 ribu.

Namun, meski berperan sebagai leader, ia tak mengetahui secara pasti besaran jam lembur yang dilakukan oleh Boim, serta nominal upah yang diterima. 

Kata Idris, hal tersebut lantaran ada perbedaan penghitungan jam lembur dan nominal upah per jam antara buruh yang berstatus kontrak (PKWT) dengan buruh yang berstatus tetap (PKWTT).

“Untuk lembur, dalam sehari biasanya dua jam. Kalau saya, jam pertama dan kedua bayarannya sama. Tapi kalau untuk Pak Ibrohim, saya nggak tahu karena beda status. Saya status kontrak, Pak Ibrohim statusnya tetap,” jawab Idris.

Pengawas Ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten sebelumnya mengeluarkan surat penetapan terkait kekurangan upah lembur Boim yang belum dibayarkan oleh GFP. 

Dalam surat yang terbit pada 27 Desember 2024 itu, pengawas menetapkan kekurangan upah lembur Boim pada periode kerja Desember 2023-Juni 2024 sekitar Rp26,31 juta.

Angka tersebut berbanding jauh dengan penghitungan manajemen GFP. Perusahaan mengklaim kekurangan pembayaran upah lembur kepada Boim hanya Rp4,06 juta.

Menanggapi itu, Idris terlihat ragu dengan nominal kekurangan upah lembur hasil perhitungan dan penetapan Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans Banten.

Namun, ia yakin tetap ada selisih penghitungan kekurangan upah lembur yang dicatat perusahaan.

“Ya, kalau menurut saya, kekurangan upah lembur pasti ada. Tapi nggak begitu besar. Paling satu sampai dua jam saja selisihnya, nggak sampai berpuluh jam,” terangnya kepada majelis hakim.

Keyakinan itu didasari oleh perannya yang merupakan seorang leader. Peran itu, kata Idris, mengharuskan dirinya melakukan pencatatan jumlah jam lembur dari setiap rekan kerjanya, yang saat itu ikut mengerjakan pemasangan pipa di ASI.

Namun, ada kejanggalan dalam kesaksiannya kepada majelis hakim. Idris mengaku tak pernah melihat catatan jam lembur yang dibuat secara mandiri oleh Boim. 

Lebih lanjut, ketika majelis hakim bertanya apakah ASI melakukan pencatatan jam lembur buruh yang mengerjakan proyek pemasangan pipa itu, Idris menggelengkan kepala.

“Nggak tahu, itu urusan manajemen,” jawabnya singkat.

Ketidakjelasan prosedur pencatatan jam lembur yang dimiliki oleh GFP membuat setiap buruh melakukan pencatatan jam lembur yang mereka lakukan secara mandiri. 

Di samping itu, Idris dan Dedi juga mengatakan, mereka hanya menerima pengiriman upah lembur dari manajemen perusahaan setiap dua bulan sekali.

“Selama ini upah lembur yang dikirimkan, keterangan rinciannya berapa jam dan slip gajinya nggak ada. Kita via transfer saja,” ujar Idris.


Pabrik Elite, Bayar Upah Sulit

Boim adalah mantan buruh GFP yang dipecat secara sepihak pada 20 Juli 2024. Ia merupakan anggota Serikat Buruh Bersatu (SBB) yang terafiliasi dengan Federasi Serikat Buruh Karya Utama-Konfederasi Serikat Nasional (FSBKU-KSN).

Sebelum dipecat, Boim telah bekerja di pabrik yang memproduksi tangki dan pipa berbahan fiberglass reinforced plastic (FRP) itu selama 31 tahun dengan status tetap—terhitung sejak 1994.

Ia bekerja di tim yang bertugas memproduksi barang berbahan fiberglass, seperti tangki dan pipa.

Terkadang, ia juga ditugaskan melakukan pekerjaan di luar kota. Salah satu penugasan luar kota itu terjadi pada Desember 2023-Juni 2024, ketika melakukan pemasangan pipa di ASI. 

Penugasan luar kota seperti itu bukanlah hal baru bagi Boim. Jauh sebelum berangkat ke Gresik, ia pernah ditugaskan oleh manajemen untuk melakukan pekerjaan di PT Dumai Hijau Abadi, Kota Dumai, Kepulauan Riau, pada 2020. 

Di sana, Boim punya pengalaman buruk: pihak manajemen alpa mencatat jam lembur Boim selama satu bulan, sehingga upah lembur yang diterima terdapat selisih satu bulan yang tak dibayarkan.

Boim belajar dari pengalaman. Ia mengantisipasi terjadinya perselisihan hak yang berulang.

Maka, ketika kembali mendapatkan penugasan luar kota, ia paham apa yang harus dilakukan. Salah satunya adalah rutin mencatat jam lembur secara mandiri.

“Kalo nyatet secara mandiri, itu mah sering. Setiap kerja luar (kota) pasti selalu begitu. Dari zaman dulu juga kayak gitu sama teman-teman, soalnya selisih terus,” kata Boim saat dikonfirmasi Diakronik, Kamis, 14 Agustus 2025.

Ia menambahkan, “Lemburan kadang kurang melulu. Terus dari pengalaman itu, kami punya inisiatif untuk nyatet sendiri.”

Berbulan-bulan setelah pulang dari penugasan di ASI, catatan lemburan menjadi bukti yang membantu dirinya, terutama ketika ia digugat oleh manajemen GFP perihal perselisihan penghitungan kekurangan upah lembur.

Ia bercerita, saat di ASI, dirinya bekerja sejak pukul delapan pagi hingga menjelang petang. Ia mengaku juga sering diminta lembur oleh kepala produksi.

“Kita ‘kan seharusnya pulang jam empat sore, tapi sering diminta lembur, jadi pulangnya lebih sore,” ujar Boim. 

Berdasarkan catatannya, durasi lembur yang biasa dilakukan bervariasi. Mulai dari dua hingga empat jam dalam satu hari kerja.

Terkadang, Boim juga diminta untuk kerja lembur pada hari libur nasional atau tanggal merah, seperti saat Hari Raya Natal 2023 dan Hari Raya Imlek 2024.

“Setiap pulang kerja lembur, saya catat itu di kalender di HP. Kata teman saya, jangan catat di buku, karena kalau di buku bisa kena hujan, bisa hancur, dan bisa hilang. Tapi, kalau di kalender HP, nggak bakalan hilang,” ucapnya. 

Ia menambahkan, “Akhirnya saya selalu rutin mencatat setiap hari, dan nge-totalin jumlahnya setiap bulan.”

Meski rutin mencatat jumlah jam lembur yang dilakukannya, Boim tak pernah tahu berapa upah lembur per-jam yang berhak ia terima.

Padahal, sebelum memulai pekerjaan di ASI, Boim dan rekan kerja lainnya telah membuat perjanjian bersama pihak manajemen GFP terkait jatuh tempo pembayaran upah lembur.

Namun, lanjutnya, pihak manajemen tidak pernah menginformasikan tentang upah lembur per jam bagi buruh yang statusnya tetap.

“Waktu meeting mau berangkat kerja luar, perjanjian sama manajernya itu lemburan dibayar per dua bulan,” tutur pria berusia 47 tahun itu, “Tapi kalo untuk besaran duitnya, saya nggak tahu, soalnya nggak ada rinciannya.”

Informasi tentang pembayaran upah lembur pun, terang Boim, hanya disampaikan melalui leader. Jika lemburan telah dibayarkan, maka leader akan menginformasikan kepada para buruh lainnya. 

Menanggapi hasil penghitungan yang dibuat oleh manajemen GFP, Boim menampik. Menurutnya, pihak manajemen juga tak punya pencatatan dan penghitungan yang jelas.

Hal itu dibuktikan dari tidak adanya slip gaji yang disertakan pada saat pembayaran upah bulanan maupun upah lembur kepada buruh.

“Kayak nge-gaji orang kuli, nggak ada slip gajinya. Di-transfer, ya, tinggal di-transfer saja, sekian, sekian, tapi kita nggak tahu rinciannya,” tegasnya.

Sebelumnya, ingat Boim, slip gaji pernah disertakan dalam setiap pembayaran upah oleh pihak perusahaan. Itu terjadi pada saat pembayaran upah masih dilakukan secara langsung, bukan melalui transfer bank. 

“Dulu padahal ada, tahun jebot (sudah lama sekali), pas sebelum gajian pakai ATM (transfer via bank),” ingatnya, “Setelah gajian dibayar pakai ATM, ditiadakan itu slip gaji semua karyawan.”

Soal slip gaji ini sebetulnya pernah ditanyakan oleh Boim dan para buruh lainnya melalui perwakilan serikat buruh. Saat itu, ketua serikat buruh di level pabrik bertemu dengan pihak manajemen untuk menindaklanjutinya.

Mereka turut menanyakan secara berkala pada saat pergantian tahun. Hasilnya, pihak manajemen berjanji akan melampirkan slip gaji pada saat pembayaran upah bulanan maupun upah lembur.

“Tapi, sampai karyawan pada di-PHK pas Juni 2024 kemarin, tetap nggak pernah nongol itu slip gaji,” katanya.

Kini, di tengah tuntutan pesangon PHK sesuai hak yang belum dibayarkan oleh GFP, serta gugatan yang tengah bergulir, Boim menyambung hidup dengan bekerja secara serabutan.

Ia melakukan itu demi bisa menafkahi keluarga sekaligus memperpanjang napas perjuangannya.

Dari total 29 orang yang terkena pemecatan sepihak oleh GFP pada Juni 2024, kini hanya tersisa empat orang yang masih bertahan. Bersama tiga orang lainnya, Boim memutuskan untuk tetap melanjutkan perjuangan, meski harus sampai ke pengadilan. 

Ada perasaan optimisme yang membuatnya bertahan, dan itu didorong dari pengalamannya berserikat.

“Kita ‘kan punya serikat. Percuma kita berserikat sudah puluhan tahun kalau ada kasus kayak begitu saja menyerah. ‘Kan kita punya teman-teman di belakang yang mengerti hukum. Jadi, sudahlah, percaya diri saja,” tegas Boim.


Cacat Formil Hasil Putusan Sela

Usai dipecat sepihak oleh GFP pada 20 Juli 2024, Boim mendapati adanya kejanggalan. Ingatannya tertuju pada kasus kekurangan upah lembur yang belum dibayar perusahaan saat dirinya ditugaskan memasang pipa di ASI. 

Menurut catatan, kekurangan upah lembur yang mengerjakan proyek selama tujuh bulan itu mencapai Rp26,31 juta. 

Bermodal catatan kekurangan upah tersebut, Boim yang didampingi FSBKU-KSN, lantas melaporkan kasus ini ke Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Banten. 

Hasilnya, Pengawas Ketenagakerjaan mengeluarkan surat penetapan pada 27 Desember 2024, yang menyatakan GFP terbukti tidak membayarkan upah lembur Boim.

Dalam surat penetapan dikatakan, para pihak yang bekeberat dari hasil surat penetapan tersebut dapat mengajukan banding di tingkat kementerian.

“Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penghitungan dan penetapan ini dapat dimintakan penghitungan dan penetapan ulang kepada Pengawas Ketenagakerjaan pada Kementerian Ketenagakerjaan, selambat-lambatnya empat belas hari,” demikian salah satu poin surat penetapan yang diterima oleh Diakronik pada Minggu, 10 Agustus 2025.

Namun, alih-alih mengajukan banding, manajemen GFP justru menggugat Boim pada 5 Mei 2025 ke PHI Kota Serang. 

Dalam gugatannya, GFP mengakui adanya selisih upah lembur, tapi dengan nominal yang jauh lebih kecil, yakni Rp4,06 juta. Perusahaan menolak penetapan Pengawas Ketenagakerjaan karena dianggap tak sesuai dengan penghitungan mereka.

“Bahwa adapun inti dari tanggapan Surat Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Banten tersebut adalah menolak penetapan tersebut, karena tidak sesuai dengan penghitungan penggugat,” demikian gugatan GFP.

Lebih lanjut, dalam berkas putusan sela yang diterima, manajemen GFP menolak hasil surat penetapan dan penghitungan yang dikeluarkan oleh Pengawas Ketenagakerjaan pada 27 Desember 2024. 

Pada 30 Juli 2025 sidang eksepsi dilakukan. Boim melalui kuasa hukumnya menanggapi gugatan yang dilayangkan oleh manajemen GFP.

Dalam materi eksepsi, tim kuasa hukum Boim menilai gugatan yang dilayangkan cacat formil. 

Pasalnya, kasus kekurangan pembayaran upah lembur Boim tidak pernah melalui proses tripartit atau mediasi di tingkat Dinas Ketenagakerjaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 83 Ayat (1) Undang-Undang (UU) No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

“Memang Ibrohim melakukan pengaduan ke pihak Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Banten. Kemudian, Pengawas mengeluarkan surat penetapan dan penghitungan kekurangan upah lembur pada 27 Desember 2024,” jelas Andy Hamdany Sembiring, kuasa hukum Boim, Senin, 11 Agustus 2025.

“Tapi, itu bukanlah nota anjuran yang dikeluarkan oleh mediator Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang,” tambahnya.

Namun, majelis hakim PHI Kota Serang menolak eksepsi tersebut. Dalam putusan sela, hakim berpendapat dalil kuasa hukum Boim tidak relevan dengan kewenangan absolut hakim.

Hakim menegaskan, kasus ini termasuk ke dalam jenis perselisihan hak, sehingga menjadi kewenangan absolut PHI berdasarkan Pasal 56 UU PPHI.

Selain itu, hakim menilai PHI Kota Serang merupakan kewenangan relatif untuk mengadili perkara karena Boim bekerja di Kota Tangerang, yang masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Serang.

“Penggugat dan tergugat berada di wilayah hukum PHI pada Pengadilan Negeri Serang, maka berdasarkan kewenangan relatif PHI pada Pengadilan Negeri Serang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut,” demikian pertimbangan hakim dalam putusan sela.

Padahal, menurut Andy, hakim PHI tidak memiliki kewenangan dalam menangani perkara tersebut. Baginya, kasus kekurangan upah lembur Boim bukan merupakan wilayah kompetensi majelis hakim PHI Serang, sebagaimana Pasal 134 Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang mengatur kewenangan absolut hakim.

“Saya berkeyakinan berdasarkan Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 juncto Permenaker Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan, Pasal 28 Ayat (3), mengatakan, ketika salah satu pihak tidak menerima hasil penetapan, maka ia seharusnya melakukan banding ke tingkat Kementerian Ketenagakerjaan,” jelas Andy.

Terlebih, hal itu juga diperkuat dari hasil pertimbangan hukum dan kesimpulan mediator Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang. Dalam pertimbangan hukumnya, menurut mediator, kasus kekurangan upah lembur Boim merupakan wewenang Pengawas Ketenagakerjaan.

“Tuntutan normatif mengenai kekurangan upah dan upah lembur yang diminta saudara Ibrohim merupakan kewenangan Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten untuk menanganinya,” tulis mediator Disnaker Kota Tangerang dalam pertimbangan hukum dan kesimpulan dari nota anjuran yang terbit pada 16 Desember 2024 dengan nomor B/3981/500.15/XII/2024.

Namun, dalam hasil sidang putusan sela, majelis hakim tidak mengabulkan permohonan Andy. Hakim justru menilai argumentasi yang dipersoalkan Andy tidak ada kaitannya dengan kewenangan hakim. 

Menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum GFP, Debora Lumban Raja, meyakini hasil putusan sela sudah sesuai dengan prosedur hukum.

Pasalnya, kasus kekurangan upah Boim merupakan jenis perselisihan hak yang menjadi kewenangan hakim PHI untuk mengadili dan memeriksa perkara.

“Masalah upah lembur itu adalah masalah perselisihan hak. Kemarin itu kan ada eksepsi dari tergugat. Menyoroti masalah kewenangan hakim PHI, katanya kuasa hukum Ibrohim, itu merupakan kewenangan Kemenaker,” kata Debora saat ditemui usai menghadiri sidang, Kota Serang, Rabu, 6 Agustus 2025.

“Itu juga sudah dibuktikan dari putusan sela kemarin, bahwa PHI Serang itu berwenang mengadili perselisihan hak, sesuai dengan UU PPHI,” tambahnya.

Debora juga menerangkan alasan manajemen perusahaan memilih jalur gugatan ke PHI.

Menurutnya, penetapan dari Pengawas Ketenagakerjaan hanya mengakomodir penghitungan upah lembur versi Boim dan mengabaikan bukti yang diajukan perusahaan.

“Jadi yang mereka adukan itu adalah versi Boim sendiri, catatan dia sendiri itu. Sedangkan absensi itu kan melalui fingerprint dan tanda tangan. Itu ‘kan nggak bisa dibohongin,” katanya.

Lanjutnya, “Lembur dua jamya dicatat dua jam. Tapi, catatan Pak Ibrohim itu ‘kan kita nggak tahu nih, itu ‘kan catatan versinya dia. Makanya, sampai muncul kekurangan upah Rp26 juta hanya dengan kerja enam bulan itu juga udah mencurigakan, sudah nggak wajar.”

Meskipun tersedia opsi banding ke kementerian, pihak perusahaan tetap memilih menempuh jalur PHI agar hakim yang memutuskan nominal kekurangan upah lembur yang sebenarnya, berdasarkan bukti-bukti dari kedua belah pihak.

“Pilihan itu ada dua, pertama kita bisa banding ke Kemnaker dan kedua kita bisa mengajukan gugatan ke PHI. Karena PHI juga berwenang untuk mengadili terkait dengan perselisihan hak. Nanti yang menentukan itu hakim dari bukti-bukti yang diajukan,” katanya.

Debora menambahkan, “Biar hakim yang menentukan nominal yang seharusnya berapa. Bayangkan saja hanya kerja enam bulan itu Rp26 juta (kekurangan upah lemburnya). Padahal, uang lembur dia sudah dibayar setiap bulan. Inikan kekurangan, jadi logika berhitungnya itu sudah tidak masuk.”

Kawan Redaksi

Editor: Akbar Ridwan

ARTIKEL LAINNYA

Share

Temukan Artikel Anda!