Tolak Penggusuran Lahan, Warga Padang Halaban Desak PT SMART Hormati HAM

Tolak Penggusuran Lahan, Warga Padang Halaban Desak PT SMART Hormati HAM

Padang Halaban
Warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS)/ARC Bandung

Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) tengah menghadapi rencana eksekusi lahan di Perkebunan Padang Halaban, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT SMART). Eksekusi tersebut menyasar lahan seluas 83 hektare yang diklaim sebagai bekas pemukiman warga.

Penggusuran rencananya akan dilakukan pada Jumat (28/2/2025) sesuai putusan Pengadilan Negeri (PN) Rantau Prapat tertanggal 20 Februari 2025. Namun, penggusuran tersebut berhasil ditunda usai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersurat ke Pengadilan Negeri (PN) Rantau Prapat. Surat tersebut disampaikan Komnas HAM setelah menggelar audiensi dengan perwakilan KTPHS pada Kamis (27/2/2025).

Sehari setelah audiensi tersebut, PN Rantau Prapat melalui surat nomor 555/PAN.PN/W2.U13/HK2.4/II/2025 menyatakan eksekusi lahan ditunda hingga Kamis (6/3/2025).

“Bersama ini, kami beritahukan bahwa pelaksanaan eksekusi tersebut ditunda, dan dijadwalkan kembali pada Kamis, 6 Maret 2025,” demikian bunyi surat PN Rantau Prapat, dikutip dari Tempo.co, Minggu (2/3/2025).

Adapun konflik eksekusi lahan di Perkebunan Padang Halaban tersebut sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Konflik bermula pada 1969-1970 ketika enam desa, yakni Sidomulyo, Karang Anyar, Sidodadi/Aek Korsik, Purworejo/Aek Ledong, Kartosentono/Brussel, dan Sukadame/Panigora, digusur paksa. Total 3.000 hektare tanah warga diambil alih, dan upaya hukum sejak 1970 tidak membuahkan hasil.

Kemudian pada 2009, warga dari enam desa yang terdiri dari 2.040 kepala keluarga (KK) tersebut menduduki kembali sebagian lahan seluas 83 hektare yang telah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) PT SMART. Para warga, yang mayoritas berusia tua sekaligus korban penggusuran sejak era 1960-an, menduduki kembali lahan tersebut lantaran mandeknya proses hukum.

“Akibat masalah yang tak kunjung selesai, bahkan pada tahun 2012 setidaknya ada sembilan orang dari kami ditetapkan sebagai tersangka, ditahan,” ujar Sekretaris KTPHS Aan Sagita dalam keterangan tertulis, diterima Rabu (26/2/2025).

“Dan salah satu dari kami seorang anak saat itu berusia 16 tahun (Gusmanto) mengalami luka tembak pada bagian kaki dari salah satu oknum Penegak Hukum,” sambungnya.

Warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS)/ARC Bandung.

Selama 16 tahun, kata Aan, lahan seluas 83 hektare itu dijadikan pemukiman dan ditanami pangan untuk bertahan hidup. Namun, PN Rantau Prapat mengeluarkan surat permintaan pengamanan eksekusi Nomor 488/PAN.ON/W2.U13/HK2.4/II/2025 tertanggal 20 Februari 2025.

“Kami hanya butuh penghidupan untuk masa depan kami dan anak cucu kami, sehingga penting kami mempertahankan tanah tersebut sebagai identitas yang melekat pada jati diri kami sebagai korban pelanggaran HAM masa lalu,” ungkapnya.

Aan menegaskan, warga yang telah menempati lahan tersebut selama puluhan tahun merupakan pemilik lahan secara fakta historis yang dibuktikan melalui temuan peninggalan fisik dan dokumen. Oleh karena itu, lanjutnya, putusan PN Rantau Prapat terkait perintah eksekusi lahan merupakan putusan hukum yang jauh dari rasa keadilan bagi warga sebagai pemilik sejarah atas tanah tersebut.

“Kami menolak dan mengecam keras adanya upaya eksekusi penggusuran atau perampasan tanah yang dalam waktu dekat dilakukan oleh PN Rantau Prapat,” tegasnya.

Lebih lanjut, KTPHS mendesak pihak terkait, khususnya PN Rantau Prapat, Kapolda Sumut, Pemerintah Daerah, dan DPR, untuk menghentikan upaya eksekusi di lahan seluas 83 hektare tersebut.

“Hukum sebagai panglima, namun nilai kemanusiaan di atas segalanya,” pungkas Aan.

Ketua KTPHS, Misno, berharap agar aparatur pemerintah dan PT SMART dapat membuka ruang dialog dengan warga sebagai bentuk menghormati prinsip HAM. Sebab, lata Misno, PT SMART merupakan anggota asosiasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang juga wajib mematuhi prinsip HAM.

‎Sebagai langkah akhir, KTPHS bersikukuh mempertahankan lahan. “Jika hal ini diabaikan, kami, seluruh anggota komunitas KTPHS, akan terus mempertahankan tanah yang telah kami kuasai dan usahakan dengan menanam pohon dan tanaman pangan, meskipun dengan konsekuensi terusir kembali, berdarah-darah, bahkan kehilangan nyawa. Kami akan terus mempertahankan tanah ini,” tegas Misno.

Editor: Hastomo Dwi Putra

ARTIKEL LAINNYA

Koalisi Buruh Sawit: Penggunaan Agrokimia di Perkebunan Sawit Racuni Buruh Perempuan
PBHI Kecam Dugaan Represi Polri terhadap Sukatani: Ciri Khas Orba
Silau Gemerlap Bandara: Kisah Andri, Buruh Porter yang Dipecat Sepihak PT Dahlia Tama Cargo
PT Duta Palma PHK Massal Buruhnya, Mangkir Saat Diajak Perundingan 

Temukan Artikel Anda!