Komite Hidup Layak (KHL) merilis hasil penelitiannya tentang “Ekonomi Utang Rumah Tangga Kelas Buruh” dalam konferensi pers yang digelar di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Rabu (23/10/2024). Penelitian tersebut merupakan pendalaman atas temuan survei ‘Pengeluaran dan Pendapatan Rumah Tangga Buruh’ yang dilakukan pada akhir 2023.
Dengan melibatkan 257 responden yang tersebar dari enam sektor industri (manufaktur, ekonomi gig, penerbangan, pertambangan, perkebunan, dan perikanan), penelitian tersebut menemukan fakta 200 orang atau sekitar 76% responden terjerat utang.
Juru Bicara KHL, Kokom Komalawati, mengatakan penyebab buruh terjerat utang lantaran ada selisih yang cukup besar antara pendapatan dan pengeluaran buruh.
“Rata-rata pendapatan yang diterima oleh para buruh itu sekitar Rp3.900.000 dalam sebulan, sementara pengeluaran untuk konsumsi makanan dan nonmakanan itu berjumlah Rp9.470.780. Itu jelas ada defisit,” jelas Kokom.
Kondisi tersebut membuat buruh memiliki beban untuk menambal selisih angka demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya. “Dan itulah alasan mengapa para buruh terjerat utang,” tambah Kokom.
Penelitian juga mengungkap ada sekitar 51,2% pendapatan buruh yang dikeluarkan setiap bulannya untuk membayar cicilan utang. Temuan ini sekaligus menyoroti dampak serius dari kebijakan politik upah murah dan liberalisasi pelayanan publik yang membuat buruh terjerat utang.
Tren Berutang di Berbagai Sektor Industri
KHL mendapati berbagai alasan buruh berutang. Antara lain: memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan frekuensi pilihan 143 alasan, pembelian alat kerja (65 alasan), dan membiayai pendidikan anak (54 alasan).
Lalu, biaya sosial seperti khitanan, pernikahan, kematian, serta perayaan hari keagamaan (28 alasan), tempat tinggal (25 alasan), biaya kesehatan (21 alasan), usaha (16 alasan), transfer rumah tangga (8 alasan), dan membayar utang (5 alasan).
Pada Agustus 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap piutang pembiayaan dengan skema Buy Now Pay Later (BNPL) oleh perusahaan pembiayaan tembus Rp7,99 triliun. Terdapat peningkatan signifikan sebesar 89,20% dibandingkan periode yang sama pada 2023.
Tren buruh untuk berutang bukan hanya disebabkan skema politik upah murah. Kokom menjelaskan, rilis OJK tersebut jadi bukti kalau mekanisme berutang semakin dipermudah dalam berbagai bentuk.
“Rilis OJK tersebut mengindikasikan bahwa selain upah murah, akses terhadap utang juga makin dipermudah dengan hadirnya skema pembiayaan ‘beli sekarang bayar nanti’, dalam konsep perbankan dikenal dengan kredit tanpa agunan (KTA),” ujar Kokom.
Menurut Kokom, kemudahan akses terhadap utang merupakan jebakan yang diletakan secara sistematis oleh lembaga-lembaga keuangan.
“Penelitian ini ingin menunjukkan, bahwa tren berutang keluarga buruh bukan sekadar cara bertahan hidup akibat upah murah, tapi juga upaya lembaga-lembaga keuangan mengeruk untung dari upah buruh melalui industri keuangan,” ujarnya.
Lepas Tangan Perusahaan
Maraknya tren berutang oleh buruh jadi masalah yang sangat kompleks. Tidak bertanggung jawabnya perusahaan untuk mendukung sarana buruh di tempat kerja, menjadi salah satu dari sekian banyaknya alasan buruh berutang.
Bagi Baron dan Reni Sondari yang notabene buruh ojek online (ojol), selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, keputusan berutang juga dilakukan guna mendukung sarana kerja, seperti pulsa, bensin, dan servis motor.
“Bagi ojol, sepeda motor adalah bagian yang melekat di tubuh kami, sebagai penunjang utama pekerjaan. Rata-rata ojol mengganti kendaraannya setiap dua tahun sekali dan itu didapatkan dengan cara kredit,” tambah Reni, ojol asal Sukabumi, Jawa Barat.
Di sisi lain, hasil temuan KHL pada buruh pabrik juga menjelaskan kisah yang mirip dengan buruh ojol. Rata-rata buruh pabrik yang bekerja di Jawa Tengah, biasanya menggunakan dana hasil berutang untuk membayar cicilan sepeda motor yang mereka pakai untuk berangkat kerja ke pabrik.
“Rata-rata buruh di industri baru, seperti wilayah Jawa Tengah memiliki tanggungan cicilan sepeda motor karena tempat tinggal dengan pabrik cukup jauh dan tidak ada angkutan umum yang memadai,” ujar Sugianto, seorang buruh pabrik sepatu sekaligus tim survei KHL.
Temuan ini memastikan hasil pinjaman buruh pabrik bukan untuk foya-foya, melainkan memenuhi kebutuhan dasar. “Karena yang dibeli oleh buruh adalah jenis barang yang dapat menunjang pekerjaannya, seperti sepeda motor untuk keperluan bekerja, memperbaiki tempat tinggal agar buruh dapat beristirahat,” terang Kokom.
Di akhir konferensi pers, Kokom membacakan tuntutan dan meminta pertanggung jawaban negara sebagai berikut:
- Segera membuat formulasi kebijakan upah minimum yang berlaku secara nasional dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dan tanggungan rumah tangga buruh.
- Pemerintah harus melakukan pengendalian harga pada jenis-jenis pengeluaran makan dan nonmakanan, seperti harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, air, sembako, dan barang-barang urusan publik lainnya.
- Pemerintah harus memberikan akses jaminan kesehatan gratis kepada seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, perlunya memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan di daerah.
- Pemerintah wajib menyediakan pendidikan murah dan berkualitas dengan memastikan jumlah sekolah yang merata serta menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.
- Pemerintah wajib menyediakan pasar murah di daerah pemukiman buruh sebagai bentuk pengendalian inflasi di tingkat daerah.
- Untuk mengurangi pengeluaran penitipan anak, pemerintah harus membuat regulasi yang mewajibkan pengadaan daycare di setiap kawasan atau pabrik.
- Hentikan praktik pemecatan sewenang-wenang, termasuk suspend dan pemecatan (putus mitra) perusahaan aplikator kepada pengemudi ojol.
- Negara harus menjamin pendapatan, kesehatan, dan jaminan sosial kepada driver ojol terutama yang roda dua. Negara harus menjamin perlindungan kerja dan upah driver ojol sesuai standar perburuhan internasional (ILO).