Buruh tak ubahnya satu kata yang menjadi momok bagi Orde Baru (Orba). Saking alerginya, pada 27 Maret 1966, Orba mengubah nomenklatur Departemen Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja.
Di bawah kuasa Soeharto pun, Hari Buruh 1 Mei diberangus. Sebagai gantinya, ia menyetujui usul Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) menjadikan 20 Februari sebagai Hari Buruh Indonesia—merujuk tanggal berdirinya federasi tersebut: 20 Februari 1973.
Kebiasaan penggunaan kata “buruh” seakan-akan ingin dihapus pula melalui upaya politik bahasa Orba. Cikal bakalnya sudah dimulai pada 1960-an—sebelum Soeharto berkuasa.
Di periode tersebut militer ingin mengimbangi kekuatan buruh progresif, yang banyak bernaung di Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dengan mendirikan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI).
Setelah kemunculannya, pertarungan pengaruh penggunaan kata “buruh” dan “karyawan” pun dimulai. Namun, tidak berlangsung lama karena setelah malapetaka 1965, SOBSI diberangus.
Babak selanjutnya, SOKSI menguat. Posisinya yang dekat dengan Golongan Karya (Golkar) yang notabene kendaraan politik Soeharto, membuat organisasi tersebut kian nyaman duduk di lingkaran kekuasaan.
“Para buruh yang sebutannya telah berubah menjadi karyawan itu kemudian menjadi salah satu pilar penting dalam keberlangsungan rezim Orba,” kata Petrik Matanasi dalam “Sejarah Orde Baru Melarang Peringatan Hari Buruh” yang dimuat Tirto.id.
Sepanjang Soeharto berkuasa, praktis kata karyawan dan pegawai lebih diterima. Bisa jadi, ini karena diksi buruh sudah begitu lekat dengan kelompok kiri. Maka itu, disingkirkan penguasa.
Seiring waktu, masyarakat Indonesia seakan-akan terbelah. Istilah buruh pun lebih diidentikan kepada mereka yang bekerja di pabrik. Sementara karyawan atau pegawai diasosiasikan untuk mereka yang kerja di perkantoran.
Sialnya, meski Orba sudah lama tumbang, dampak politik bahasa yang memisahkan paksa satu kelas nan sejatinya sama itu, masih terasa. Misal, sampai kini masih ada saja orang yang bekerja di kantor, tapi enggan disebut buruh.
Tidak hanya itu, selama reformasi, saban tahun masih ada pula sentimen negatif kepada buruh (pabrik) yang menggelar demonstrasi. Mirisnya, pendapat-pendapat, seperti buruh demo bikin macet, buruh demo buat apa sih, atau daripada demo lebih baik kerja, tak sedikit dilontarkan oleh mereka yang bekerja di perkantoran.
Padahal, apa yang diperjuangkan buruh pabrik dirasakan juga manfaatnya oleh buruh kantor dan calon buruh. Contoh sederhananya adalah tuntutan upah minimum, yang menjelang akhir tahun selalu disuarakan serikat-serikat buruh nan bekerja di pabrik.
Diskriminasi perempuan di tempat kerja dan hak-haknya turut diperjuangkan. Jauh mundur ke belakang, sejak pertengahan 1950-an SOBSI getol memperhatikan masalah-masalah tersebut.
Menurut, Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, saat memperjuangkan hak-hak buruh perempuan, SOBSI bertindak berdasarkan petunjuk partai. Ini terlihat dari kampanye 1957-1958 kala mereka menyerukan penghapusan diskriminasi upah dan lapangan kerja bagi perempuan.
Apa yang dilakukan SOBSI sesungguhnya suatu advokasi, mengingat perempuan kerap diperlakukan tidak adil. Hal itu tercermin dalam pidato Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Suharti, dalam Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia (PKI) 1959 dan isinya diterbitkan Bintang Merah—majalah PKI—edisi Nomor Spesial 1960.
Di kesempatan itu, Suharti mengatakan buruh perempuan semestinya harus mendapatkan upah yang sama dengan laki-laki. Jaminan sosial pun perlu diperhatikan, seperti cuti haid dan hamil, yang meskipun sudah diatur dalam undang-undang, tapi belum dilaksanakan atau berjalan dengan pembatasan.
Suharti menegaskan demikian karena banyak kasus cuti haid dan hamil dijadikan alasan untuk memecat buruh perempuan. Sedang jaminan sosial lain yang ia pandang sangat mendesak adalah tempat penitipan bayi, berobat, dan biro konsultasi bagi kaum ibu, yang pada saat itu sama sekali belum ada di perusahaan mana pun.
Di periode yang sama, 1950-an, SOBSI pula yang memperjuangkan tunjangan hari raya (THR). Menurut Jafar Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an, agar mencapai tujuannya, SOBSI menjalin kerja sama dengan serikat-serikat buruh di kalangan pegawai negeri.
Perjuangan bersama tersebut akhirnya menuai hasil, sebab pegawai negeri anggota serikat dapat THR. Meskipun demikian, SOBSI tetap “ngeyel”. Serikat buruh ini masih melayangkan tuntutan perihal THR agar bisa dinikmati semua buruh, tidak hanya pegawai negeri. Desakan tersebut terjadi pada 1955.
Perjuangan buruh ihwal THR, masih merujuk Jafar, membuahkan hasil dengan terbitnya Peraturan Menteri Perburuhan No. 1 Tahun 1961 tentang Tunjangan Hari Raya Lebaran. Dalam aturan tersebut dikatakan THR menjadi hak buruh swasta yang mempunyai hubungan kerja minimal tiga bulan tanpa putus.
Syahdan, memang sudah semestinya kita tidak lagi membeda-bedakan buruh pabrik dan kantoran. Khusus yang bekerja di kantor, ada baiknya pula tidak lagi memandang sinis atau negatif gerakan kawan-kawannya sesama buruh.
Sebab, hasil perjuangan buruh-buruh pabrik pun dirasakan oleh kawan-kawannya yang kerja di perkantoran. Melihat contoh SOBSI, justru mereka yang didominasi buruh pabrik, rela berkorban agar teman-temannya yang berstatus pegawai negeri nan lebih dulu dapat THR.
Kini, kebijakan THR masih diterapkan, tanpa pandang bulu mau bekerja di pabrik atau kantor. Kalaupun ada yang harus merih, justru buruh pabrik yang tiap menjelang hari raya dirundung kekhawatiran.
Pada lebaran 2024, misalnya, Liputan6.com memberitakan ribuan buruh terancam tidak dapat THR karena diduga ada gerakan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan para pengusaha sebelum hari raya. Buruh pabrik tekstil banyak yang menjadi korban PHK, demikian Bisnis.com mewartakan.
Sementara perihal hak-hak perempuan? Tentu tidak bisa dilepaskan pula dari gerakan SOBSI dan Gerwani yang getol memperjuangkan cuti haid, cuti hamil, bahkan penitipan bayi atau anak di tempat kerja.
Ihwal tiga tuntutan tersebut sesungguhnya sampai kini belum maksimal diterapkan. Bahkan, tak jarang buruh perempuan di pabrik atau kantor tidak diberikan cuti haid.
Hal itu saja masih pelik, lantas bagaimana dengan penitipan anak di tempat kerja? Yang ada, kini banyak para ibu berstatus buruh harus merogoh koceknya sendiri untuk bayar sewa jasa penitipan anak, yang lebih beken disebut daycare.
Maka itu, memang sudah semestinya semua buruh di mana pun bekerja untuk tidak lagi membeda-bedakan. Sama. Semua sama saja, baik bekerja di pabrik atau kantor. Selama masih menerima upah tiap bulan dan bekerja untuk perusahaan atau orang lain, maka kita semua adalah buruh.
Di mata hukum pun tidak ada bedanya. Mari tengok Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasti kita mendapati definisi: Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Ketentuan tersebut pun tidak diubah di UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU.
Nah, daripada dibelenggu sama politik bahasa Orba yang “membedakan” buruh dengan karyawan, ada baiknya kita saling tengok rekan-rekan di tempat kerja masing-masing. Bila perlu dan memang perlu, buatlah serikat-serikat buruh!
Jangan khawatir. Untuk mendirikan serikat buruh tidak harus bekerja di pabrik. Buruh yang bekerja di perkantoran mentereng, misal, kawasan Sudirman, Jakarta, pun berhak bikin serikat buruh.
Dan bukankah lebih baik buruh kantor mendirikan serikat, daripada membiarkan dirinya dihasut untuk saling menjatuhkan, saling sikut sesama buruh, dengan tren tidak penting yang disebut politik kantor?
Lantas, mengapa serikat penting? Karena memang pada dasarnya serikat yang menjadi tulang punggung bagi buruh. Semua profesi berserikat. Bahkan, jauh sebelum Indonesia merdeka, serikat-serikat tumbuh subur.
Mari kita intip catatan Soegiri DS dan Edi Cahyono dalam Gerakan Serikat Buruh Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Memasuki 1910-an, berdiri serikat-serikat, seperti Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (PBP), dan Persatoean Goeroe Bantoe (PGB).
Lalu, ada pula Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB), Persatoean Pegawai Pegadaian Boemipoetera (PPPB), Opium Regie Bond (ORB), Vereeningin van Indlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken (VIPBOUW), dan Personeel Fabriek Bond (PFB).
Bahkan, dulu disepakati perkumpulan serikat-serikat buruh yang bernama Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB). Lalu, apa tujuan PPKB? Dalam karyanya, Edi menukil pemberitaan Sinar Hindia, 18 Agustus 1924, No. 154, sebagai berikut:
“Ia bermaksud mengadjak dan mengadakan persatoean antara sederadjat kaum buruh supaja dapat suatu kekuasaan; kekuasaan itoe akan dipergunakan umumnja buat memperhatikan keperluannja kaum buruh dalam perkaranja lahir dan batin, jang pertama keperluannja lid2nja vakbond jang sudah bersatu dalam PPKB.”
Demikianlah, bahwa pada dasarnya memang tidak ada perbedaan buruh pabrik dan buruh kantor. Dalam sejarahnya pula, setiap profesi dapat membentuk serikat!
Manfaat berserikat pun banyak. Paling tidak, orang yang berserikat tidak sendiri dalam berjuang untuk mendapatkan hak-hak normatif buruh dari perusahaan tempatnya bekerja sesuai amanat UU, misal jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, upah layak, cuti, dan upah lembur.
Oleh karena itu, bukankah beban akan lebih ringan jika perjuangan dilakukan bersama-sama? Dan ini sangatlah penting, agar di hari mendatang tidak ada lagi buruh-buruh yang, misal, saat lembur cuma dibayar dengan kalimat sakti: loyalitas untuk perusahaan, atau diupah selembar pizza.
Manfaat berserikat tidak berhenti sampai di situ. Sebab, serikat dapat berperan pula sebagai rumah yang bisa memberikan solusi dari masalah-masalah yang dihadapi anggotanya. Sebagai contoh, masalah ekonomi yang kerap dihadapi buruh karena upah tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup.
Perkara tersebut sudah lazim terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Mari kita lihat pandangan redaksi Si Tetap—surat kabar Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP)/Serikat Buruh Kereta Api dan Trem—edisi Nomor 8-9, Agustus dan September 1926.
Di artikel berkepala “Boenoeh diri, karena gadji tidak tjoekoep”, redaksi Si Tetap menyoroti pemberitaan Soeara Publiek yang menyiarkan seorang buruh juru tulis di Surabaya, Jawa Timur, bunuh diri dengan menenggak air keras.
Polisi yang menyelidiki kasus tersebut lantas mendapati surat di bawah tikar tempat tidurnya si buruh. Isi suratnya, seperti dinukil dari Si Tetap, menerangkan, “Bahwa ia boenoeh diri, karena ia poenja gadji tidak menjoekoepi oentoek hidoep.”
Bagi redaksi Si Tetap, kasus bunuh diri tersebut sangat menyedihkan. Sebab, semestinya bisa dihindari si buruh apabila berserikat. Mengapa? Karena itu tadi, serikat berperan juga sebagai pencari solusi, sehingga setiap masalah yang menimpa anggotanya dapat dimusyawarahkan untuk dicari jalan keluarnya.
Gaji tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup, kekinian juga masih dialami banyak buruh. Imbasnya, tidak sedikit buruh-buruh kantor dan pabrik terjerat pinjaman online (pinjol), yang notabene seperti rentenir dalam wajah baru.
Sebagai contoh, Oktober 2023, Poskota.co.id memberitakan buruh minimarket di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, bunuh diri di tempat kerjanya. Berdasarkan keterangan saksi, korban mengakhiri hidup diduga karena tidak sanggup menghadapi teror pinjol.
Dalam konteks kekinian pula, kebutuhan akan berserikat kian menjadi-jadi setelah didengungkannya fleksibilitas kerja dengan iming-iming bisa kerja di mana dan kapan saja. Padahal, fleksibilitas kerja adalah modus eksploitasi baru yang dijalankan pemberi kerja.
Mengapa demikian? Sebab dari cara tersebut tidak jarang buruh yang mengalaminya malah bekerja lebih dari delapan jam. Bila seperti itu, jangankan upah lembur, pizza saja tidak dikasih!
Lalu, siapa yang paling rentan atas ketentuan sekonyong-konyong itu? Setidaknya adalah buruh-buruh yang bekerja di sektor kreatif.
Maka itu, daripada terjebak tren politik kantor yang bikin sesama buruh saling sikut atau sibuk merasa bukan buruh karena kerjanya di kantor, lebih baik menghimpun kawan-kawan. Lekas-lekaslah bicarakan dengan santai sambil ngopi atau ngeteh untuk bikin serikat.
Sadarilah, kebutuhan serikat sudah mendesak dan sangat perlu untuk didirikan. Misal Serikat Buruh Copywriter, Serikat Buruh Media Sosial Spesialis, Serikat Buruh Content Writer, dan Serikat Buruh Key Opinion Leader Spesialis.
Serikat Buruh Tukang Cukur, Serikat Buruh Minimarket, Serikat Buruh Kedai Kopi, Serikat Buruh Marketing, Serikat Buruh Teller Bank, Serikat Buruh Film, Serikat Buruh Sinetron, Serikat Buruh Konser Musik, dan serikat-serikat lainnya juga amat dibutuhkan!
Berserikatlah! Bergeraklah bersama-sama. Jangan mau dirayu, dihasut, untuk terus dibelenggu dengan dogma yang membeda-bedakan kelas buruh!