Tidak Semua Pendongeng Harus Kau Percayai

Tidak Semua Pendongeng Harus Kau Percayai

Di Sini, Negara Empat Kali Disebut
Pohon Ilmu Pengetahuan (Diakronik/Akbar Ridwan)

Dahulu sekali bapaknya sering menuturkan dongeng. Keterbatasan tak membuat dia berhenti mendedahkan kisah-kisah dari negeri jauh. Dari sisa-sisa ingatanku yang mulai mengering, saban malam, setelah mereka sekeluarga menyantap hidangan yang itu-itu saja, dia digendong menuju teras depan.

Mungkin dia sudah lupa bagaimana persisnya ketika didongengkan cerita-cerita yang tak pernah pasti kebenarannya itu. Pun mungkin, ia tak ingat ada berapa ribu lakon yang pernah keluar dari mulut seorang pencari teripang tersebut. Yang tersisa di ingatannya hanya potongan-potongan acak fragmen yang kumal dan lusuh, serta terlampau gelap dan buram.

Ketika usianya cukup matang untuk mengawini seorang gadis, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk mewariskan apa yang bapaknya lakukan—berapa pun anak yang dia punya, bagaimanapun kondisinya saat itu, dan apa pun tanggapan si anak kelak—dia tidak peduli. Ia cuma ingin dan merasa perlu untuk terus mendongeng, seperti bapaknya.

“Kau tak harus memercayai semua pendongeng, tapi aku bapakmu. Kau harus memercayai aku,” kalimat itu keluar untuk yang kesekian kali dari mulutnya. Anaknya melenggang meninggalkan dia dan istrinya. Muka si anak merah padam, membanting pintu, dan lekas menyambut seruan seorang kawan yang sedari tadi menunggu di luar. Anak itu pergi ke arah laut.

Anaknya sama seperti dia dan seluruh orang di lingkungannya. Terlahir sebagai anak pulau terpencil di satu titik di gugusan nusa. Saat hari berusia rembang petang, anaknya pergi dengan amarah untuk menyingkap dunia luar, untuk yang pertama kalinya.

“Mulai sekarang, jangan pernah menoleh ke belakang,” kata si kawan sejurus sampan mulai diombang-ambingkan air asin. “Setiap menit yang akan kita lewati selanjutnya akan begitu seru dan mendebarkan. Bersiaplah,” si kawan melanjutkan.

Tujuan dua bocah berumur tanggung itu adalah sebuah pulau yang tidak terlampau jauh, hanya seratusan mil laut. Pada saat-saat mata dapat memandang bebas ke segala penjuru, ia seakan menyembul dari dalam air, meski dari jarak itu yang tampak hanya puncak gunung yang menyerupai puting susu di arah timur sana.

Masalahnya, kala itu langit tampak mencekam. Kalau kau pernah membaca atau mendengar sepotong dongeng tentang Sukab, kau akan lebih mudah memahami kondisi dua bocah tersebut.

Situasinya persis seperti yang tersimpan di dalam amplop yang dikirimkannya untuk Alina, kau tahu? Bahwa senja telah mati. Ia sudah dibunuh si bodoh itu. Sekujur langit kemerah-merahan lantaran Sukab yang malang itu mengirisnya di empat bagian yang berbeda. Senja terpenggal begitu saja oleh seseorang yang impulsif dan tidak pakai otak.

Di sana, mayoritas percaya tanda alam itu merupakan mula dari hal-hal yang tak diinginkan. Bentuknya bisa beragam. Namun, yang paling sering dan akurat adalah cuaca buruk. Walau dekat, jalur yang akan ditempuh tak bisa disepelekan. Peraian itu layaknya sebuah beranda, begitu terbuka dan langsung terhubung dengan bentang samudra.

Celaka. Tekad si bocah sudah mantap untuk melunasi satu per satu dari jutaan tanda tanya yang ditanam hingga tumbuh begitu rindang di kepala. Bocah itu ingin segera memangkas teka-teki yang menjuntai bersulur-sulur dan semakin mencekik. Anak lelakinya itu tengah menyambangi maut lewat secarik alamat yang belakangan dia cicil sendiri.

“Nak, mau mendengar dongeng apa hari ini?” katanya, di suatu malam saat si bocah belum genap berusia 10 tahun. Di November yang mulai hujan, kampungnya tengah gegap gempita. Sehari-hari seantero kampung mulai mengotes buah-buah pala yang telah kuning dan merekah. Bijinya yang merah mencuat, aromanya menguar. “Ceritakan aku tentang nenek moyang kita, Pak,” jawab anak lanangnya lugu.

Dia menggeragap mendengar jawaban si anak. Mau tidak mau dia harus menelan simalakama yang disajikan buah hatinya, meski dengan batin yang bergolak hebat. “Baik jika itu maumu. Tapi ingat, malam ini hanya milik kita berdua. Rahasiakan malam ini dari ibu.”

***

“Semua manusia terlahir dari sebuah pertikaian, Nak. Begitu pula kita,” katanya sambil berbisik, memulai cerita. “Pertama-tama kau harus memahami itu untuk membantumu membuat simpulan dari dongeng yang akan kau dengar ini.”

Ada begitu banyak teks yang menyimpan tabiat buruk manusia tersebut. Satu per satu mulai dapat dipercayai dan diyakini dengan teguh. Namun, masih tersimpan misteri di balik yang lainnya. Jika boleh memberi saran, tak apa jika kau menganggap itu sebagai sebuah dongeng belaka.

Dongeng yang ingin diceritakan pada anaknya, pada suatu malam di musim panen, tak lebih dari kisah di mana manusia bisa menjadi serigala bagi sesamanya. Dan nenek moyangnya, mungkin juga nenek moyang kita semua, adalah serigala-serigala itu yang beranak pinak dan melahirkan serigala-serigala baru ke muka bumi.

Dahulu kala saat negara belum hadir, sebuah istana menjadi simbol dari sifat buas manusia. Sebuah istana menjadi sangkar bagi para serigala zalim yang siap mengoyak leher siapa saja. Siasat membuat mereka yang ada di dalam semakin tampak menakutkan: kuat, tak tersentuh, dan bisa berbuat apa saja sekendak hatinya.

Masalahnya, serigala yang lain—di luar sangkar itu—tetap menyimpan seringai kendati mereka sadar tak punya daya. Upaya bukannya tidak ada, tetapi lebih ke arah sia-sia.

Ingat, itu belum termasuk serigala-serigala dari teritori yang lain. Dan itulah akar dari semua polemik yang kita hadapi dari zaman yang paling mula. Si pemegang kuasa ingin terus menindas yang, menurutnya, lebih lemah. Sementara yang benar-benar lemah terpuruk di sudut paling jauh.

“Konon, kita berasal dari para petualang yang datang negeri jauh, Nak. Jaraknya puluhan bulan masa pelayaran. Mereka bisa tiba di sini karena mencium bau harum pala,” jelasnya mula-mula.  

Lanjutnya, “Seperti yang kau hidu saat ini, musim panen sebelumnya, dan musim-musim panen yang akan datang. Pohon-pohon pala yang tumbuh subur di sini membuat mereka penasaran dan tentu saja iri karena saudara tuanya telah lebih dahulu datang dan menggelar pesta-pesta.”

Si anak menyimak ceritanya sambil sesekali mengoreksi posisi duduk. Suara jangkrik mengerit menjadi latar.

Dengan berat hati dia katakan, “Bahwa berdasarkan cerita yang turun menurun Bapak dengar, kedatangan nenek moyang kita adalah sumber dari segala malapetaka.”

Padahal, sebelum mereka datang, tanah itu hampir sama sekali tidak pernah berselisih. Semua hidup tentram dan baik-baik saja, meski aku tidak yakin betul bahwa mereka adalah orang-orang yang lugu dan tak kenal intrik. Ihwal mereka menjalin kerja sama dagang dengan bangsa lain, dan lancar-lancar saja, itu lain soal.

Dunia nyata mungkin tidak sehitam-putih kisah-kisah dongeng. Mungkin itulah perbedaan utama—jika tidak satu-satunya—antara rekaan dan fakta.

Dalam dongeng batasan itu amat jelas dan sialnya si penutur punya kendali penuh atas apa yang akan dia ceritakan. Sementara banyak aspek yang harus dipenuhi untuk memilin kumparan persitiwa menjadi sebuah fakta, meski dalam prosesnya masih banyak celah bagi dongeng menyelimur di sana.

Ini tentu berkaitan dengan benar dan salah. Kau harus membaca ulang, cek silang, bahkan jika perlu melakukan verifikasi sebelum mempercayai fakta yang tersaji di atas meja. Pertanyaannya, bolehkah kita menolak fakta sebagaimana kita bisa memilih untuk tidak percaya kepada seorang pendongeng?

Aku tidak menyangkal bahwa nenek moyang mereka datang dengan segudang niat busuk di balik tempurung otaknya. Tapi aku juga tak bisa membenarkan tipu muslihat di balik keramahan beberapa oknum pimpinan orang asli. 

Benar bahwa petualang dari negeri jauh itu ingin menguasai dan merenggut semua yang ada di dalam dan di atas permukaan pulau vulkanik itu, seperti telah dan akan mereka lakukan di hampir setiap jengkal gugusan pulau dari barat ke timur. Namun, menjadikan itu sebagai alasan dari pembantaian berencana, apalagi didahului dengan sebuah situasi penjebakan adalah tindakan yang bengis.

Walaupun di akhir cerita kita semua tahu bahwa pembalasan yang dilakukan oleh barisan pedagang bermata biru dan berambut pirang itu seribu kali lebih brutal dan biadab.  Dongeng itu kelak menjadi fakta, bahwa pertikaian kembali menjadi awal dari lembar-lembar nasib baru bagi para pelakunya.

“Setelah hampir seluruh orang asli mati dan terusir dari tanahnya, nenek moyang kita seolah memulai peradaban baru. Mereka memonopoli seluruh tanah itu untuk memuaskan nafsu angkara. Mereka beranak pinak—baik dengan sesamanya, atau mengangkangi wanita yang tersisa. Dan Bapak pun sampai saat ini belum mengerti betul bagaimana kita bisa terlahir ke dunia melalui perantara orang-orang itu.”

“Suatu saat kau pasti akan ke sana. Entah apa yang kan kau cari. Satu hal yang harus kau ingat, Nak, sebelum itu pastikan kau sudah siap,” dia memungkasi dongengnya malam itu.

***

Hampir setengah jarak berhasil mereka libas ketika bulan mulai hilang di balik gumpalan awan. Di kejauhan, kilatan petir sabung-menyabung. Masa di mana pohon-pohon pala mulai mengembang adalah titik puncak suhu permukaan laut mulai meninggi dan pada saat-saat itu, langit senja selalu tampak kemerahan, alih-alih jingga yang romantis dan laris dijajakan puisi.

Tekanan udara yang perlahan turun hingga di titik terendahnya menjadikan gelombang-gelombang raksasa dan lesatan angin yang bisa mencabut pohon kelapa tidak lagi sekadar isapan jempol belaka.

Dua bocah itu bisa dilumat badai kapan saja, di atas laut dalam menuju tempat yang mengganggu pikirannya. Mereka menggenggam bara nasib sambil menghitung kemungkinan-kemungkinan.

“Kau yakin?” kata si anak pada temannya.

“Dari awal sudah kukatakan, bahwa jangan pernah menengok ke belakang. Dengan begitu kita tak bakal melihat wujud badai yang bisa merontokkan hati dan tekad.”

“Kau masih percaya naga di balik gunung itu akan muncul sebagai juru selamat?”

“Tak tahulah. Tapi sesuatu yang mendebarkan akan segera datang.”

Setelahnya langit menggelegar. Titik-titik hujan mulai turun dan intensitasnya terus bertambah. Tak ada lagi yang bisa mereka lihat setelah lentera kecil yang tergantung di tiang tengah padam.

Air laut mulai membentuk pusaran, seakan membuka jalan bagi monster dari dalam laut untuk tampak di permukaan. Dua bocah di atas sampan kecil itu  terus berputar-putar di sana yang semakin lama semakin menjulang.

Mereka dapat ditelan ke dasar laut atau terhempas entah ke mana. Yang pasti, keduanya hanya dapat berpegangan pada palang-palang geladak, matanya terpejam, sementara mulutnya terus merapal—entah apa.

Bocah berusia enam belasan tahun itu benar-benar berjibaku dengan maut. Benar bahwa tak ada monster dari dalam laut, tapi ego dan ke-sok-tahu-an mereka bisa kau tafsirkan sebagai itu.

Riuh rendah tiap komponen badai tersebut mengantar mereka menuju kekosongan. Mungkin benar naga dari balik gunung api purba itu datang dan menjumput mereka dengan juluran lidah, yang pasti setelah dua malam terombang-ambing di lautan lepas, sampan itu akhirnya mencium bibir pantai juga.

Cangkang-cangkang kerang purba membuat bentang pasir di pantai seluruhnya mengerlip. Sampan dari kayu laban itu tampak mengenaskan. Rupanya morat-marit setelah berjibaku dengan ganasnya badai dua malam yang lalu.

Kedua bocah itu baru sadar ketika matahari tengah tepat di atas kepala. Mereka digugah oleh rasa haus dan lapar yang merongrong. Meski tampak menyedihkan, keduanya berhasil berdiri, keluar dari sampan, dan menjejak daratan kembali.

Dengan kepala yang pengar, keduanya mulai mengutip apa-apa yang tercecer dari masing-masing. Temannya menangis sesenggukan, bersender pada batu karang. Sementara si anak mulai mencoba mengetuk pintu realitas dengan mendesis, pelan sekali, “Aku masih hidup.”

Frasa itu menjadi tambahan kekuatan untuk berpaling dari hadapan pantai. Si anak terhuyung meninggalkan si teman. “Kau mau ke mana?” anak itu bergeming. “Sial! Kau mau ke mana?” si teman menagih jawaban dengan raungan.

“Pulang, aku tak izin sama ibu,” anak itu akhirnya menyahut.

***

Banyak orang senang mendengar atau membaca dongeng lantaran ia punya daya pikat untuk membuai akal sehat kita. “Di hadapan dongeng, kita semua tak lebih dari seorang anak-anak yang belum cakap memilah.” Aku katakan itu kepada kawanku pada suatu kesempatan, meski aku tahu apa yang kulakukan tiada artinya.

Sebagai penggila buku, kawanku menyimpan sebuah paradoks di dalam dirinya. Kawanku dengan senang hati meyakini tulisan yang tercetak pada media yang dia baca memiliki keterkaitan dengan sebuah kejadian yang sungguh terjadi di dunia nyata, di mana seharusnya handaiku bisa melakukan penyangkalan seperti pada buku-buku yang tidak sesuai dengan seleranya.

Dia bahkan sama sekali tidak peduli dengan embaran bercetak tebal di halaman muka untuk keperluan pemasaran yang biasanya berbunyi: berdasarkan kisah nyata, penuturan langsung dari para pelaku, dan sejenisnya. Padahal, tentu saja itu dimuat dengan tendensi agar para calon pembaca mampu mengidentifikasi kalau itu bukan buku fiktif.

Namun, dari kawanku, aku belajar mendongeng akan menjadikan kita terus hidup, bahkan ketika jasad sudah koyak digilas waktu. Ya, meski bentuknya teramat asing dan mungkin bagiku atau bagimu bisa saja berbeda. Namun, percayalah padaku soal yang barusan, meski kau tak harus memercayai semua pendongeng.


Sebelumnya: Run

Selanjutnya: Karangan adalah Kejujuran yang Kelewat Jernih

Editor: Redaksi Diakronik

ARTIKEL LAINNYA

Sowo, Si Hitam dan Kekerasan di Tempat Kerja
Karangan adalah Kejujuran yang Kelewat Jernih
Sepeda Politik
Nyeri Sesak Dada Menur

Temukan Artikel Anda!