Sowo, Si Hitam dan Kekerasan di Tempat Kerja

Sowo, Si Hitam dan Kekerasan di Tempat Kerja

Sowo, hantu, fiksi, cerpen, kekerasan, tempat kerja, kekerasan di tempat kerja
Anak yang Trauma (Diakronik/Muh.)

Sowo sering kelimpungan menghadapi energi bermain Irfan—anaknya yang baru saja berusia empat tahun. Usia Sowo yang sudah tidak lagi muda, mengharuskannya beristirahat sesekali saat menemani anaknya bermain.

Istrinya meninggal terkena pendarahan postpartum setelah melahirkan Irfan. Hal ini teramat menyedihkan bagi Sowo, ia mesti menimang anaknya sendirian tanpa ditemani teman sehidupnya. 

Pria bertubuh kurus dan tak terlalu tinggi itu, harus banting tulang sebagai buruh tani sembari mengasuh anak. Kalau ada kerjaan di lahan, Sowo menitipkan anaknya kepada tetangga di depan rumah. Di sisi lain, upah buruh tani yang tak seberapa, bikin Sowo mesti kerja sampingan sebagai kuli proyek di desanya.

Biasanya, ketika sedang libur, ia mengisi waktu dengan bermain bersama Irfan. Jalan-jalan ke sawah, kejar-kejaran, petak umpet adalah hal yang sering mereka berdua lakukan. Selepas bermain, Irfan akan minta diceritakan kisah pengantar tidur dari ayahnya.

Namun, tidak seperti biasanya, malam itu, Sowo menceritakan kisah menyeramkan, sebuah cerita yang berasal dari pengalaman masa lampaunya yang telah terkubur jauh di sela-sela ingatan. Sebuah kisah pertemuannya dengan makhluk serba hitam, teramat gelap, yang kegelapannya melebihan apa pun di dunia ini.

***   

Bulan sudah menerang tatkala suaranya tidak bisa keluar dari mulut. Ia memaksa sekuat tenaga, tetapi sang mahkluk otoriter itu membungkamnya. Tubuhnya menggigil, dadanya sesak, keringat berkucur deras membasahi kasur di kamar terlarang itu. Tepat di hari yang nahas itu, ia memutuskan berhenti bekerja.  

Sejak lahir hingga remaja belasan tahun, tak ada yang berubah dari latar kehidupan Sowo. Ia tetap bermain lakon sebagai orang miskin yang mesti banting tulang sedari kecil. 

Ia tak kuat harus menghabiskan enam tahun sekolah hanya dengan satu buku tulis, baju kutang bewarna putih kotor dan harus nyeker berangkat ke sekolah. Orang tua Sowo tak mampu membelikannya seragam, sepatu, dan buku tulis. Setiap buku tulisnya penuh, ia harus menghapus seluruh lembarannya dengan penghapus kecil. 

Suatu ketika, ia pernah merengek minta dibelikan buku ke ibunya. Rengekan itu membuat jengkel ibunya dan segera menjewer Sowo. Ibunya pikir—Sowo yang saat itu belum akil balig—tidak mengerti maksud ketidakmampuan ekonomi bagi orang miskin. Bisa-bisanya ia bersungut-sungut  seharian untuk dibelikan buku, mau makan nasi saja sudah sulit.

Setelah Sowo putus sekolah, ia mulai bekerja sebagai buruh ngangon di peternakan Haji Titir, seorang laki-laki paruh baya yang telah lama terkenal sebagai dedengkot jual-beli hewan ternak se-kecamatan. Tujuh tahun lamanya Sowo bekerja mencari rumput, memberi minum hewan ternak, dan aktivitas merawat hewan ternak lainnya.

Haji Titir biasa tampil dengan baju gamis dengan kopiah hitam di kepala. Pria bertubuh gempal dengan perutnya yang buncit itu, kerap membagikan uang ke para tetangga. Ia memang pria yang dermawan, tak pernah minta balasan atas apa yang telah dirinya kasih ke orang. 

Sang haji merintis usaha ternak sejak memasuki usia 25 tahun. Saat itu, ia telah menikah dengan Suci, teman masa kecilnya. Ciri penampilannya berbeda dengan Haji Titir.

Suci tidak memakai kerudung, rambut panjangnya terurai hingga dengkul. Ia bertubuh gempal, dengan perut yang sedikit buncit. Kedua pasangan ini murah senyum kepada warga sekitar, dan tidak pernah sedikit pun terlihat bertengkar satu sama lain.

Setelah 25 tahun lamanya menikah, bisnis hewan ternak yang mereka rintis berdua dari nol sekarang memiliki ratusan sapi dan kambing.

Keadaan ekonomi mereka mulai berubah semenjak anak semata wayangnya, Saka, meninggal pada usia 11 tahun. Tak ada yang tau sebab pasti sang anak meninggal. Hanya tersisa mayat pucat, tanpa luka, tanpa pendarahan, tertidur di kamar yang ditemukan saat pagi hari.

Hari itu penuh perasaan pilu. Khususnya bagi Suci, ia menangis tak kunjung selesai sejak mayat ditemukan sampai proses pemakaman. 

Suci menangis sangat kencang. Beberapa warga yang melayat melihatnya seperti orang kesurupan. Haji Titir berusaha menenangkannya, dengan terus berada di samping Suci sembari mengusap punggungnya, “Yang sabar, Bu, kita pasti bisa melaluinya”. 

Warga setempat, dokter, dan pihak kepolisian tak ada yang tahu penyebab utama kematiannya. Investigasi medis hanya menemukan kalau jantungnya tiba-tiba saja berhenti saat malam hari.

Beberapa warga sibuk menggunjing selama berhari-hari setelah kematian Saka. Akan tetapi, tak sampai sepekan, pergunjingan itu telah lenyap dari obrolan di pos-pos ronda hingga pasar sayuran di desa.

***  

Beberapa tahun melakoni buruh ngangon, mulanya jadi waktu paling menyenangkan bagi Sowo. Ia diberi makan, tempat tinggal, dan kenyamanan yang luar biasa oleh majikannya. Saat hujan, ia diperbolehkan bersantai dan tidak mencari rumput. 

Ketika waktu makan malam tiba, ia diperbolehkan meminta jenis makanan yang diinginkan. Sowo yang sebelumnya harus menabung untuk membeli satu porsi mie godog, kini dapat menyantap itu sepuasnya setiap malam.

Kemewahan tersebut sungguh terasa asing di tubuh Sowo. Ia tidak pernah memiliki ingatan bisa makan mie godog saban malam, tidur di kasur empuk, dan tak perlu khawatir lagi kekurangan apa pun di hari esok. Pernah ia berpikir, rasa-rasanya, ini tak ‘seharusnya’ terjadi bagi seorang buruh, apalagi dengan kemampuan kerja minim dan umur yang masih sangat muda.   

Perasaan asing itu bertumpuk bertahun-tahun lamanya. Lama-kelamaan, perasaan itu berbuah menjadi rasa curiga. Kata Sowo, “Kalau orang kaya itu memang baik, mengapa ia tidak membagikan hartanya saja agar tak ada lagi orang miskin,” gumamnya dalam hati. 

Rasa curiga menjadi amunisi utama Sowo berjumpa dalam kerja investigasi yang tak pernah ia pelajari di mana pun. Keadaan ini memacunya untuk mulai merunutkan beberapa hal dan peristiwa aneh selama bekerja sebagai buruh di peternakan Haji Titir.

Pertama, ada satu kamar yang selalu terkunci dan dilarang untuk siapa pun memasukinya. Peringatan ini disampaikan sejak pertama kali Sowo bekerja sekaligus tinggal di sana. 

Kedua, beberapa kemewahan yang ia terima sebagai seorang buruh muda mengganggu alam pikirannya. Bisa-bisanya, tak ada hubungan darah dan bentuk kedekatan lain apa pun, Sowo diperlakukan seperti anak sendiri. 

Ketiga, ia sering memergoki Haji Titir dalam beberapa waktu di sore hari pergi ke sungai di belakang rumahnya. Sowo mengintip dari jauh, dengan hati-hati, ia melihat majikannya berhenti di depan sebuah pohon tua besar. 

Beberapa saat, Haji Titir mulai memejamkan mata, ia mengangkat kedua tangannya seperti peragaan seorang yang sedang berdoa, dan mulai memasukan tangannya di sisi celah pohon. 

Dari dalam celah itu, Sowo terkaget-kaget di dalam hati. “Wuasu! Aku ra salah ndelok, kan… ono duwet sak gepok ning dalem pohon!” 

Pohon besar itu bergerak-gerak seperti ditiup angin. Padahal, tak ada satu pun pohon yang bergerak di sekitarnya. Sowo langsung kabur pelan-pelan sebelum majikannya berbalik badan. Ia berjalan kembali menuju rumah. 

Keempat, majikannya yang akrab disapa Pak Haji itu, tak pernah kelihatan beribadah salat lima waktu selain di hari Rabu. Bahkan, setiap sebelum salat, Sowo tak pernah melihat ia berwudu maupun melaksanakan berjamaah dengan istrinya. Sowo pikir, keluarga Pak Haji ini sungguh tak seperti orang beragama pada umumnya—sebagaimana sematan haji di panggilannya.

Sowo mulai menghubungkan beragam keanehan itu dengan hal lainnya. Ia tiba-tiba saja ingat foto anak laki-laki yang terpampang di ruang tamu Haji Titir. Selama hampir tujuh tahun Sowo tinggal dan bekerja di rumah Haji Titir, ia tak pernah melihat batang hidung anak itu.

Haji Titir dan istrinya pun tak pernah bilang apa-apa soal anak itu. Sowo menebak kalau anak itu adalah anak semata wayang mereka yang kini entah kemana.

Beberapa minggu berlalu begitu saja semenjak kejadian itu. Kecurigaan Sowo tak membuatnya melakukan tindakan apa-apa. Sebagai anak orang miskin yang tak punya warisan lahan sawah maupun peternakan, Sowo menghargai sekali pekerjaan yang dimilikinya. 

Ia menyayangi pekerjaan melebihi perasaan sayang kepada orang tuanya sendiri. Hanya nasib beruntung dan tenaga yang Sowo miliki saat itu.

Haji Titir bak mesias lokal yang memungut anak muda tanpa pengalaman sepertinya untuk dipekerjakan. Lantas, perasaan curiga hilang begitu saja. Sowo kembali pada dirinya sebagai pribadi yang hanya bisa bersyukur dengan keadaan yang dimiliki saat itu.

***

Tok… tok… tok… 

Seketika Sowo terbangun karena mendengar suara pintu kamarnya yang diketok dari luar. Saat itu waktu hampir tengah malam. Rasa kantuk membuat tubuh ringan Sowo terasa begitu berat untuk beranjak dari kasur. 

Tok… tok… tok… 

Suara itu kemudian terdengar lagi. Sowo terpaksa bangun dari tempat tidurnya, dan berjalan menuju pintu kamar. Rupanya, sosok yang mengetuk adalah dua pasangan suami istri itu. 

Sowo bertanya, “Ada apa, Pak, Bu?” Haji Titir dan istrinya tak menjawab apa pun. Wajah mereka berdua terlihat begitu dingin dipandang. Tatapannya kosong menatap Sowo di balik pintu. 

Sowo kebingungan. Saat baru saja ia mulai ingin bertanya kembali, Haji Titir memegang tangan Sowo dengan pelan. Kemudian, ia diajak berjalan menuju ruangan rumah yang lain. 

Selama perjalanan yang singkat itu, Sowo mendengar banyak suara hewan. Suara paling kencang yang terdengar adalah suara ayam. Sowo berpikir, selama hampir tujuh tahun ia bekerja dan tinggal di sana, tak pernah sekalipun ia melihat ayam milik Haji Titir ataupun milik tetangga yang dipelihara.

Pun, untuk apa para kambing dan sapi serentak menggonggong di tengah malam? Rasa-rasanya, setiap suara yang terdengar itu memberi semacam isyarat kepada Sowo. 

Sesampainya pada ruangan yang dituju, Sowo akhirnya sadar suatu hal. Detak jantung yang berjalan begitu cepat sedari tadi ternyata juga punya isyarat tersendiri. Sowo tak dapat berbicara apa-apa selama berdiri di depan pintu kamar itu. 

Tubuhnya mengucurkan keringat teramat deras. Kakinya gemetar, kepalanya gatal, seluruh bulu yang hinggap di tubuhnya berdiri. Pintu kamar itu berwarna hitam legam. Ada baret-baret cakaran ketika coba melihatnya lebih dekat.

Ruangan tersebut ternyata kamar terlarang, sebuah kamar yang sejak pertama kali Sowo mulai bekerja dan tinggal di sana, diperingatkan untuk tidak dimasuki siapa pun.

Pada saat itu, Haji Titir baru berbicara kepada Sowo. “Kamu tidur di sini, ya, malam ini,” ujarnya dengan senyum menyeringai. Istrinya tetap tak bicara apa pun. Hanya terlihat raut wajah yang tiba-tiba menjadi sedikit murung. 

Sowo masuk ke kamar itu dengan perasaan takut. Entah apa yang menantinya di dalam sana, ia tak bisa lagi kabur. Ingatan di kepala Sowo bak tali film yang mengalir begitu cepat. Ia menyesal telah menjadi orang miskin yang tak memiliki hak untuk curiga.

Di dalam hati, Sowo mengutuk keniscayaan orang miskin yang memaksanya harus terus-terusan bersyukur dalam keadaan apa pun.

Sowo memasuki kamar pelan-pelan dengan mata terpejam. Suara pintu dan gonggongan hewan yang berhenti seketika menjadi pertanda kalau dirinya telah masuk ke dalam kamar itu. 

Tak lama, suara pintu yang dikunci dari luar juga terdengar. Suara itu yang membuatnya membuka mata dengan begitu panik. Dilihatnya ada kasur, lemari, meja beserta kursi, dan sebuah cermin. 

Seperti isi kamar pada umumnya, tak ada yang aneh darinya selain ukuran tiap benda. Kasur itu sangat besar, panjangnya sekitar tiga meter, begitu pun dengan lemari, meja, kursi dan cerminnya yang berukuran sangat besar.

Sowo memberanikan diri, ia berjalan pelan-pelan menuju ke kasur. Duduklah ia menyamping di sisi kasur, menghadap ke arah jendela. Suasana hening, tak ada kejadian apa pun waktu itu, tetapi hawa kamar sungguh sumuk, dan perasaannya begitu tak tenang. 

Malam yang biasanya begitu dingin di dataran tinggi ini, tiba-tiba saja membuatnya mengeluarkan banyak keringat. Sampai Sowo akhirnya membaringkan tubuhnya dan mulai memejamkan mata, ia baru sadar mengapa kamar ini disebut terlarang.

Sowo merasakan gerakan dari sisi bawah kasur, menyerupai seseorang yang sedang menginjakan kakinya. Gerakan itu seperti seseorang bertubuh besar yang sedang merangkak di atas kasur, perlahan-lahan, gerakan itu semakin terasa seperti mendekati Sowo. 

Belum sempat bertindak, Sowo didekap begitu kencang oleh sosok serba hitam setinggi tiga meter. Wajahnya tak tampak jelas, hanya rambutnya yang begitu panjang menghalangi Sowo untuk dapat bernapas dengan normal. 

Mata Sowo melotot, tubuhnya kaku, ia ingin berteriak minta tolong, tapi tak ada satupun suara yang dapat keluar dari mulutnya. Keadaan itu sungguh mencekam, Sowo bilang dalam hati, ini adalah peristiwa sakaratul maut.

Mahkluk tersebut jelas bukan manusia. Sesuatu yang pasti saat itu, Si Hitam sangat otoriter. Ia tak membiarkan suara dan sedikitpun gerakan keluar dari tubuh Sowo.

Air kencing Sowo membasahi kasur. Warna air kencingnya serupa merah seperti darah. Kubangannya berdiameter lima puluh senti. Sowo tak pernah kencing berwarna merah, sebanyak, apalagi sederas itu. Ia pikir, malam itu adalah terakhir kalinya ia kencing di dunia. 

Sowo melafalkan ayat-ayat suci di dalam hatinya. Ia tak dapat juga bersuara, bahkan saat yang ingin ia bicarakan adalah ayat-ayat suci agama.

Sowo hanya bisa pasrah kalau ia akan mati saat itu. Paling tidak, dirinya sudah memberi upah—hasil kerja dengan Haji Titir—berupa sapi betina kepada keluarganya. Setidaknya, ada sesuatu yang ia tinggalkan untuk keluarganya. 

***

Keadaan itu terasa berlangsung berjam-jam lamanya. Si Hitam hanya mendekap erat Sowo, tak mengeluarkan suara apa pun selain napas beratnya yang membuat sekujur tubuh merinding ketakutan. 

Tiba-tiba saja, Si Hitam melepas dekapannya dari tubuh Sowo. Ia tak pernah ingat kapan Si Hitam mulai menyisihkan tangan raksasanya dari tubuhnya, yang jelas, mahkluk itu pergi dengan cepat begitu saja, tanpa membuat Sowo dapat merasakan kepergiannya. 

Sisa-sisa di ruangan itu hanya Sowo, dengan barang-barang raksasa di dalam kamar, dan bau air kencing yang begitu menyengat seperti bangkai tikus. Tubuhnya lemas seperti habis lomba lari maraton. Pakaiannya terseok tak beraturan. Saat itu, mata Sowo tertuju pada jendela dan hanya berpikir untuk segera lari melaluinya.

Sowo bergegas, ia lari terbirit-birit lewat jendela menuju rumahnya. Ia berlari tanpa henti, sesekali ia juga berjalan untuk beristirahat mengatur kembali napasnya. Keringatnya kembali bercucuran karena harus berlari sepanjang 25 kilometer. Mulutnya kering kekurangan cairan, tubuhnya yang lemas tak bisa diajak berhenti seperti sedang dikejar anjing.

Sepanjang perjalanan, Sowo berpikir tak ingin lagi mensyukuri hidupnya. Ia begitu menyesal telah membuang perasaan curiga kepada majikannya. Sowo tak lagi percaya ada orang kaya yang baik di dunia ini. Ia lanjut berlari sembari menangis sesenggukan. 

Semua tanda yang ia temukan tempo lalu, rupanya adalah strategi pembunuhan berencana kepada dirinya. Sebagai buruh, Sowo rupanya sedang dipersiapkan sebagai santapan lezat bagi Si Hitam. Kemewahannya dari awal hanya akal-akalan orang kaya untuk memperoleh keuntungan yang lebih dan lebih lagi. 

Beberapa bulan setelah Sowo kabur dari rumah Haji Titir, warga ramai dihebohkan tentang keberadaan rumah yang hangus terbakar beserta ratusan hewan ternak yang meninggal dengan mata mengeluarkan darah.

***

Irfan, anak laki-lakinya yang berumur empat tahun sudah terlelap. Ia pulas setelah Sowo menutup cerita masa mudanya yang dijadikan dongeng pengantar tidur. “Bapak selamat karena bapak orang miskin. Daging wong miskin kan ra penak! Pahit!” katanya ditutup dengan tawa kecil.

Editor: Akbar Ridwan

ARTIKEL LAINNYA

Karangan adalah Kejujuran yang Kelewat Jernih
Tidak Semua Pendongeng Harus Kau Percayai
Sepeda Politik
Nyeri Sesak Dada Menur

Temukan Artikel Anda!