Yono segera mengangkat sepedanya dari tanah. Di sekitarnya, ada puluhan anak-anak yang peluhnya menandakan lelah usai seharian berada di sekolah, tapi air muka mereka menunjukkan kegirangan yang bukan main.
Namun, sejak keluar dari pintu kelas, Yono sudah tidak peduli dengan tafsiran-tafsiran keringat atau air muka anak-anak yang ada di sekitarnya itu. Satu-satunya hal yang ada dalam pikirannya adalah dia harus segera menjemput kakaknya di Pasar Johar.
Sebetulnya jarak dari sekolah ke Pasar Johar cukup dekat, hanya beberapa ratus meter, sehingga tidak perlu tergesa-gesa untuk sampai ke sana. Akan tetapi, Yono cemas dan merasa harus segera bertemu dengan kakaknya. Ada suatu hal yang perlu disampaikan.
Sang kakak, Endang, yang sudah menunggu di Pasar Johar melihat Yono bergerak semakin dekat. Ia segera mengangkat satu keranjang berisi beras ketan, kelapa, dan pandan, lalu berjalan perlahan menuju adiknya.
Ketika mereka berdua sampai pada satu titik temu, Endang tersenyum sambil berkata, “Kamu tidak akan percaya dengan kabar yang baru saja aku dapatkan, Yon!”
Setelah merebahkan sepedanya, Yono meraih dan mencium tangan Endang.
“Aku juga ada kabar dari Bu Mar. Baru saja diberi tahu,” ucap Yono seraya mengambil keranjang Endang dan menyelempangkan kain sebagai penahan gendongannya. “Bu Mar bilang, akan ada pemilu. Jadi, Kamis pekan depan tidak usah ke sekolah.”
Endang hanya tersenyum mendapati penjelasan adiknya sambil mengangkat sepeda yang tergeletak di tanah.
“Wah, bisa libur, ya,” kata Endang setengah peduli. “Oh, iya, kata Mbok Karma, besok Sabtu legi ada pertunjukkan ketoprak dari Surabaya di kota,” tambahnya masih saja berkata seraya terus tersenyum. Mungkin, ia membayangkan, dagangannya akan laris jika dijual saat acara ketoprak berlangsung.
“Bagaimana jika besok kita bergantian jaga bakul? Kamu boleh menonton dari sore sampai isya, kemudian aku melanjutkan sampai malam,” ujar Endang seraya mengayuh sepeda.
“Siapa, ya, Mbak, yang bikin ketoprak? Pak Bupati tah?” tanpa ba dan bu pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Yono yang anteng di kursi belakang sepeda.
“Aku tidak tahu. Sepertinya orang-orang partai.”
Peluh yang mulai berceceran tidak dapat menyembunyikan senyuman Endang sore itu. Air mukanya persis sama dengan air muka anak-anak yang baru pulang sekolah. Bedanya, kali ini, Yono peduli dengan tafsiran air keringat itu. Dia membacanya. Seketika mukanya berubah menjadi senang pula.
“Aku mau saja kita bertukaran waktu jaga, tapi bagaimana jika aku kebagian jaga sore saja? Aku takut cepat mengantuk kalau jaga sampai malam,” usul Yono.
“Baiklah, Yon,” ucap Endang sambil lalu.
Sepanjang Jalan Bojong, Yono melihat begitu banyak poster dan mural partai politik peserta Pemilihan Umum 1955. Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang senantiasa berkoalisi melawan Masyumi, kini bertarung untuk menguasai suara Pulau Jawa bagian tengah, terutama lagi Semarang.
Tidak mengherankan bila dua partai karib itu, sekarang beradu kuat di Semarang, sebuah kota yang seluruh lapisan strata sosial dan ekonominya lengkap. Golongan priyayi, buruh, tani, pengusaha, kuli kontrak, tukang becak, saudagar kaya raya, pedagang kaki lima, pejabat daerah, hingga kelas sosial yang tak tergolongkan pun ada di Kota Pelabuhan.
Dua partai tersebut terbilang siap berdarah-darah memperjuangkan suara dari seluruh lapisan itu untuk bercokol di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante. Juga, satu hal yang pasti, mempertahankan kepentingan mereka.
Yono dan Endang belum memenuhi syarat usia untuk menjadi pemilih dalam pemilu. Meskipun demikian, bukan berarti mereka tidak peka dengan suasana yang sedang meliputi seluruh Indonesia saat itu. Mereka termasuk dalam partikel kecil yang ikut menggerakkan semesta perpolitikan Indonesia.
“Tadi kata si Liem, temanku, kalau besok Masyumi menang pemilu, nanti Belanda bakal datang lagi ke Indonesia dibantu Amerika. Kalau PKI yang menang, nanti yang datang Soviet, lebih jahat dari Belanda, katanya. Soviet itu di mana, ya, Mbak?” Yono membuka percakapan.
“Soviet itu di Eropa sana, sama kayak Amerika,” tukas Endang yang tampaknya tidak begitu yakin dengan jawabannya. Yono tak lekas merespons.
Endang sudah berhenti sekolah sejak ibu mereka pergi bersama suami barunya empat tahun lalu. Ayah mereka juga sudah tidak pulang sekitar dua tahun. “Ya, ndak apa toh mereka datang lagi. Aku capek hidup tidak jelas seperti ini. Setiap minggu harga barang di pasar gonta-ganti, naik-turun. Zaman Londo sudah enak,” tambahnya melengkapi penjelasan yang belum tandas.
Zaman Londo yang dimaksud Endang adalah suatu masa ketika Pemerintah Belanda menduduki Semarang setelah bersepakat dengan Pemerintah Indonesia dalam perundingan Renville. Hal yang membuat kesan baik di benak Endang terhadap masa itu adalah ibu dan ayahnya masih saling mencintai, serta Yono yang belum terlalu banyak bicara. Endang juga sering dibawa ibunya ke Pasar Johar untuk membeli keperluan dagangan mereka. Suatu keadaan yang ajeg dan mungkin nyaman untuk seorang anak kecil.
“Eh, kok ndak apa? Belanda itu jahat kok!” Yono melayangkan protesnya. “Yogya diserang pakai kapal terbang terus nangkepi Pak Karno, apa kurang jahat?!”
Yono termasuk generasi Indonesia baru. Ia lahir tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Anak-anak seusianya merupakan eksperimen kaum republik di bidang pendidikan. Mereka dicekoki dengan pelajaran-pelajaran eksak dan sosial yang dibalut nasionalisme. Harapannya, generasi baru itu menjadi orang-orang yang akan memajukan negara sepuluh atau dua puluh tahun kemudian.
“Sekarang begini, Yon, waktu diculik Belanda, apakah kamu merasakan beban Pak Karno pada saat itu?” ucap Endang.
“Tentu tidak,” ujar Yono. Raut mukanya serius.
“Nah, itu dia! Apa yang tidak kamu ketahui dan alami, tidak akan pernah menyakitimu,” jelas Endang sambil menoleh ke arah Yono. “Hidup itu, ya, seperti itu. Tidak usah ada urusan antara kita dengan masalah orang lain,” tegasnya.
Yono ingin mendebat kakaknya, tapi ia belum menemukan kalimat yang tepat untuk itu. Ada kegelisahan yang bergelayut di dalam dirinya.
“Lantas, kalau begitu untuk apa kita belajar di sekolah?” ucap Yono dengan kalimat seadanya dan tentu saja di luar konteks pembicaraan.
“Aku tak berkata atau mengajak kamu untuk tidak belajar! Belajar itu secukup dan seperlunya saja. Cukup sampai kamu tak bisa dibodohi orang lain,” jelasnya santai dengan wajah masih menyimpan senyum.
Percakapan tersebut sejenak terhenti. Dan tak berselang lama, terjawab sudah alasan air muka Endang begitu girang.
“Sebentar, ya, Yon!” tutur Endang seraya memperlambat laju sepeda.
Sepeda yang ditumpangi keduanya kemudian berhenti tepat di samping penjual bakul sate. Yono turun, lalu Endang menjatuhkan sepeda itu ke tanah.
“Sate lima tusuk, Kang,” pinta Endang sambil berjongkok di samping pohon asam.
“Yon, aku belum cerita, kalau tadi aku dapat uang lebih dari orang. Dia baru selesai salat Jumat di Kauman,” jelas Endang dengan penuh semangat. “Dia kasih uang begitu saja. Katanya, aku mirip sama cucunya,” tutup dia diakhiri tawa lepas.
Yono belum ikut girang sedikitpun, sebab dirinya masih berpikir keras untuk membantah pendapat kakaknya.
“Tapi kita dijajah Belanda dalam waktu lama ‘kan karena kita tidak tahu kalau kita dijajah dan saling tidak peduli. Ketika kita sudah tahu, akhirnya kita bersatu, kemudian berjuang dan merdeka, iya bukan?” ujarnya sambil ikutan jongkok dan melihat sate disirami kecap.
Endang cukup kesal, tapi masih belum bisa menutupi kegembiraannya dan berkata, “Sebentar toh, ya! Kita pesta dulu,” serunya sambil menerima lima tusuk sate kecap nan harum itu.
Mereka melahap lima tusuk sate satu persatu; Endang memakan dua tusuk dan Yono sisanya. Bercak-bercak kecap tersisa di lingkar mulut Yono dan Endang. Bahkan, Yono menjilati sisa-sisa kecap pada kulit pisang. Mulut Endang merekah senang melihat tingkah adiknya. Dari kejauhan, mereka berdua lebih terlihat seperti ibu muda bersama anaknya.
Endang membayar sate dengan uang pas. Kemudian dia mengangkat sepeda dari tanah dan menaikinya. Yono segera mengekori di bangku belakang. Mereka berdua sangat menikmati hari itu, meskipun hari belum sepenuhnya selesai.
“Yon, kamu tahu tidak, sate yang kita makan tadi itu sate babi?” tanya Endang sambil menoleh ke belakang.
“Hah! Mbak yang benar saja! Tega sekali kamu membuatku makan sate babi!” kata Yono sambil marah-marah di kursi belakang.
“Lebih terasa nikmat saat kamu tidak tahu itu sate apa, bukan?” sambung Endang dengan senyuman penuh kemenangan.
Yono marah-marah dengan segala dalil agama dan moral yang dia punya. Semua yang dia pelajari di langgar keluar dalam hitungan menit.
“Itu uang dari bapak-bapak pulang jumatan, terus, Mbak, belikan sate babi?! Aku ikutan dosa! Aku harus cuci mulut dan makan tanah, tahu ndak?” ujar Yono yang tidak bisa menahan rasa jengkelnya terhadap Endang.
“Harus ingat, kamu itu makan tiga dan menjilati kulit pisangnya lho,” ucap Endang. Sebuah pernyataan yang sama sekali tidak ditujukan untuk meredakan suasana, tapi justru membuat ketegangan semakin menjadi. Itu semua semata untuk menguatkan pendapatnya.
Sepanjang sisa jalan pulang ke rumah, Yono masih saja bersungut-sungut dengan hal yang dia takutkan akan terjadi kepadanya setelah makan tiga tusuk sate babi. Di kursi sopir sepeda, Endang masih terus tersenyum setelah merasa, bahwa dia mengalahkan adiknya yang banyak bicara itu.