Arunika selalu nirmala di sana. Penduduk tidak ada yang bersungut-sungut menyambut dewa sebagian manusia merekah. Cahayanya yang mencerlang pada permukaan laut membikin semuanya tampak begitu sempurna menutupi masa kelam, bahkan mengelabui bawah sadar tentang anyir darah yang menusuk hidung.
Di bibir daratan dalam rindangnya pohon pala, seorang perempuan bersimpuh dengan bocah yang agaknya belum genap berusia sepuluh. Keduanya sama memandang hamparan laut yang menarung di Rozengain. Sesekali, mereka tampak bercengkrama dalam tempo yang lebih sering dilewati dengan hening, desiran angin, dan deburan ombak.
Ranting dan dedaunan bersentuhan, menimbulkan suara yang khas ketika angin berembus. Sementara matahari sudah setinggi tombak kala air menggulung, merangsek bibir daratan. Pelan. Syahdan, dua manusia itu kini tak lagi bergeming, mereka beranjak menyudahi aktivitasnya.
“Intinya, jangan tanya siapa nenek moyang kita,” tandas sang perempuan kepada si anak yang hanya mengangguk.
Bagi si bocah, pernyataan tersebut tak ubahnya angin lalu. Sama sekali tak terbesit apa maksudnya lantaran yang anak itu tahu, ia dilahirkan oleh ibunya dan tumbuh dalam keluarga petani pala cum nelayan. Pada banyak waktu dalam masa panen, turut pula memetik buahnya bermodal bambu yang sudah dimodifikasi ujungnya agar memudahkan mengait pala yang belum rebah di tanah.
Di sisi lain, belajar juga ia cara bagaimana membuat fuli. Segala macam proses yang sederhana, tetapi menguji kesabaran dilaluinya dengan gerundel dalam batin. Memang tiada yang salah dari itu, sebab bermain sampan dan berenang bersama teman-teman di dermaga kecil lebih menggiurkan ketimbang belajar menahan diri dari proses membuat fuli, terlebih saat penyulingan.
Meski begitu, dia tak melakukannya seorang diri. Dalam masa panen, hampir setiap anak pasti membantu orang tuanya. Dan terang saja, ini membikin dermaga kecil menjadi sepi. Daripada bermain seorang diri, sang anak pun seakan-akan tak punya pilihan selain membantu orang tuanya.
Pada lain tempo di luar panen, si bocah lebih sering memandang Lonthor dengan takzim. Kerap ia melakukannya seorang diri di bibir dermaga kecil yang terbuat dari kayu. Biasanya, anak tersebut melakukannya saat matahari sudah tinggal sejengkal lagi sebelum benar-benar ditelan lautan.
Kebiasaan tersebut ia lakukan sejak Bibi Hafira menceritakan keluarganya yang pernah tinggal di Lonthor. Namun, entah bagaimana, kemudian pindah ke Ai, sebelum akhirnya bermuara di pulau yang didiami sampai hari ini, daratan di mana anak itu dilahirkan: Run.
Kisah yang dituturkan sekelebat itu, membuatnya kian penasaran menginjakkan kaki di sana. Sebuah rasa yang ia pendam hingga usianya menginjak angka enam belas. Bukan… bukan hal sulit baginya pergi ke Lonthor seorang diri. Bahkan, bila ingin diadu, paru-parunya terbilang sanggup berenang ke sana.
Dan pada satu atau lebih kesempatan, sang bocah pernah mencoba sebelum akhirnya memutar arah perahu yang ditumpangi, “Sebentar lagi sampai. Kenapa harus putar balik?” tanya handainya kala itu.
Bocah yang sudah remaja tersebut hanya bergeming dan baru menjawab saat biduk bersandar di bibir pantai, “Aku tak izin sama ibu,” pungkasnya.
Ia lantas pergi tanpa pamit kepada temannya. Dalam pikirannya, hanya tertuju satu tempat yang tak lain adalah lokasi dirinya dan Bibi Hafira menghabiskan waktu pagi. Kala libur sekolah, dia bisa berdiam diri di sana sampai matahari setinggi tombak, seraya mendengar cerita bibinya yang sedikit-sedikit itu.
Bersandar ia di bawah pohon pala. Matanya lekas-lekas menerjang samudra dan bermuara di Rozengain yang jauh nun di seberang lautan. Daratan tersebut pernah ia sambangi sekali tempo bersama Paman Jo. Di pulau itu pula, diingat penuturan sang paman, katanya tempat pengasingan bagi seorang yang berasal dari Sumatera Barat, sebuah nama daerah yang asing baginya, kala itu.
Namun, pikirannya tak memberikan tempat khusus untuk cerita tersebut. Sebab, empat hari menjelang ia ulang tahun ke enam belas di bulan April, Paman Jo berkisah tentang satu buku.
Memang, dalam penyampaiannya, tak terlalu rinci atau kayak mengada-ngada. Tetapi, setidaknya tak seperti Bibi Hafira yang bertutur sekelebat-sekelebat hingga—seiring bertambah umur—membikinnya pusing dengan segala macam pertanyaan di benaknya.
“Kenapa negara mengambil dari kita? Memang apa yang sudah kita ambil dari negara?” tanya sang bocah.
“Bodoh! Sudahlah. Kau baca sendiri. Paman capek menjelaskannya,” ketus si paman yang lebih tepat disebut meledek.
Buku tipis yang berkepala Al-Asbun: Manfaatulngawur sudah diloloskan Paman Jo dari saku celananya. Ukurannya yang tak terlalu besar memang memungkinkan untuk lekas masuk dan keluar kantong seraya digulung seperti gagang pentungan di balai desa.
Lembaran pertama yang ia baca adalah keterangan penulisnya. Ketika tiga paragraf bagian itu selesai dilumat, buku tersebut langsung dibanting, diinjak, dan dilempar ke keranjang sampah yang sialnya tak masuk ke dalam, sebelum akhirnya diambil lagi. “Duh, kalau paman tahu bisa habis aku,” batinnya sambil membetulkan kembali buku tersebut agar tidak lecak.
Terang ia jengkel dengan si penulis yang menasbihkan diri sebagai imam besar. Ia tak terima karena di kampung sudah ada kiai yang dengan galak mengajarkannya mengaji sewaktu kanak-kanak. Bukan kepalang memang sang guru itu, sebab salah sedikit saja, rotan menyambar di tangan mungilnya.
Karena itu pula, perasaan tak rela bertambahnya ajengan mencuat dari batinnya. Bagi si bocah yang sudah remaja ini, seorang ahli agama saja sudah cukup, “Satu saja tak pernah lulus mengaji, apalagi kalau dua,” misuhnya.
***
“Sinting! Seenaknya saja tinggalin aku,” hardik temannya. Ia terjaga dari lamunannya. Bibirnya merekah dan memperlihatkan dua gigi kelinci yang bolong di antara sela-selanya.
“Enggak usah sok misterius. Kejar cinta monyet saja tak becus,” kata kawannya lagi seraya mengambil posisi duduk. Sejawatnya tak benar-benar tahu alasan sesungguhnya ia ingin ke Lonthor.
Belum sampai setarikan napas diambil karibnya, ia lekas memburu dengan pernyataan yang itu-itu saja, “Orang menyebutnya cinta monyet, tapi mereka lupa cinta pertama ialah kasih sejati.”
“Halah, enggak ada referensi lain?”
“Maksudmu?”
“Pujangga enggak modal! Kau pikir, aku tak tahu kalau itu kalimat yang kau dan anak-anak lain ambil dari koran bekas di balai desa, hah?”
Matilah ia bagai kutu. Dipikirkan sejenak cara agar tak terlalu jatuh harga dirinya, “Kau bisa saja mengejek cintaku. Asal tidak dengan pala dan tentunya cengkeh,” katanya dengan sedikit penekanan pada bagian cengkeh.
Handainya lekas mengerling sinis ke arahnya. Sedikit terpancar senyum ketus pada rona sahabatnya itu ketika hendak mengambil sesuatu dari sakunya, “Bilang kalau mau minta rokok, setan!”
Remaja tersebut lekas memosisikan diri di depan sejawatnya. Tangan kanannya menadah dan pada bagian siku digoyangkan bagai tak punya tulang. Lidahnya menjulur sambil berkata, “Minta rokok manusia…” tutupnya. Keduanya diam sejenak, sebelum terpingkal-pingkal.
***
Tanganku sudah berkali-kali melambai di depan mukanya, tapi kawanku ini masih saja diam. Jengkel bukan main aku dengan itu, dan mau tidak mau harus mengeluarkan jurus andalan. “Kirik! Sadar. Kau kesambet?”
Kepalanya sedikit kejang sebelum ia tersadar sepenuhnya, “Enggak usah bawa-bawa bahasa daerah. Setan!”
“Anjing! Sadar. Kau kesambet?”
“Berengsek! Ingatan sama kampung halaman dan masa kecil sampai remajaku belum selesai, kenapa diganggu?”
“Bajingan, ditemani malah melamun!”
Sejenak aku kembali meloloskan sebatang rokok dan memantik api. Tak lupa mengembuskan asap ke muka kawanku itu sebelum melanjutkan, “Jadi, buku imam besar ini yang merubah-mu?”
“Siapa yang jadi rubah?” sahutnya tengil. Kembali ia memunggungiku. Mengetik kembali pada komputer jinjing.
Polahnya itu memang menjengkelkan, dan untunglah aku tak punya darah tinggi. Sebentar aku berpikir apa yang bisa dilakukan ketimbang mati bagai kutu. Dan sialnya, buku itulah yang terlihat dari lirikan mataku yang sekenanya. Daripada penasaran dan hanya membaca bagian yang disuruhnya, pikirku, lekaslah kusambar buku imam besar itu.
Kalau dilihat-lihat, buku ini tipis betul. Jumlah halamannya hanya 98 dengan ukuran kertas sedikit lebih kecil dari buku pada umumnya yang memakai A5. Di sisi lain, setelah diperhatikan dengan saksama, agaknya imam besar ini malas menulis. Sebabnya, ukuran hurufnya terbilang besar.
“Kalau ukuran font-nya 30, buku ini pasti jadi tebal,” batinku.
Dan lekaslah kubuka buku mungil ini. Pada bagian awal, tertulis anak judul yang mencengangkan bagiku, atau paling tidak sanggup membuatku menahan tawa barang sebentar: Filsafat Al-Asbun.
Di bagian awal, si penulis menjelaskan, Al-Asbun berasal dari wahyu yang diklaim diturunkan oleh Gusti kepadanya ketika bertapa di ujung timur Pulau Rempah. Di sana, katanya, ketika petir menyambar saat badai berlangsung, seketika di benaknya tercetus kalimat yang dijadikannya sebagai judul buku. Dia menjelaskan, secara harfiah Al-Asbun berarti ikhtiar melawan kemungkaran.
Sedangkan Manfaatulngawur, lanjutnya, ialah negara yang diisi komplotan tukang curi dan kerjanya hanya mengambil kepunyaan rakyat. Demi melancarkan akal bulus itu, dicetuskanlah kalimat yang terkesan heroik, tapi tanpa disadari banyak orang, sebetulnya hanya membangkitkan nasionalisme semu.
“Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kau berikan kepada negaramu,” begitulah bunyi kalimat yang dimaksud.
Menurut imam besar, kalimat tersebut tak ubahnya doktrin busuk yang selalu didengungkan para pesohor negara mana pun. Di sisi lain, imbuh dia, kebiasaan tersebut menunjukkan banyak kepala negara yang tidak kreatif karena bisanya hanya mencuri, atau paling banter, menyadur kalimat dari bekas presiden yang akhir nasibnya mengenaskan.
“Begitulah tabiat para pemimpin negara. Cara mengelabui rakyat saja sama. Pendek akal,” kata si penulis dalam bukunya.
Namun, aku harus mengakui, buku tipis ini memang kurang ajar. Pasalnya, di bagian awal banyak sekali hal-hal yang sanggup membuatku berpikir sejenak sebelum meneruskan paragraf selanjutnya. Kalau dipikir-pikir, memang tak ada yang salah dari sikap imam besar yang mengobok-ngobok kebusukan negara.
Hal tersebut kian terang pada bagian penutup bab pertama buku tipis itu. Kata imam besar, sebetulnya setiap negara bergantung pada rakyat. Tanpa rakyat, jelas tak akan ada negara. Dan tanpa rakyat pula, para pejabat pasti tidak bisa hidup mewah.
“Syahdan, negara akan mempersulit hal-hal yang bisa membuat rakyat semakin sedikit memberikan uang kepada negara. Misalnya, alat pembangkit listrik tenaga surya yang harganya mahal, tapi negara tidak akan pernah memedulikannya atau memproduksi dalam jumlah banyak dan membagikannya kepada rakyat secara cuma-cuma,” tulis imam besar.
Jelas saja aku terpantik, lantas membacanya lebih lanjut. Lekas aku ingin minta izin kepada kawanku untuk meminjamnya, tapi si tengil itu masih tenggelam dalam karya tulis sintingnya yang bertajuk “Waspada Jerat Syirik Kontemporer: Percaya pada Negara”.
Aku segera meninggalkannya, dan baru gagang pintu kamarnya digenggam, mulut karibku menyambar songong, “Ada yang mau jadi rubah nih…” ledeknya.
“Pas balikin laptop, jangan lupa sama kopinya. Diingat juga, gulanya sedikit saja. Hitung-hitung praktik sebelum lolos CPNS.”
“Kirikkk!!!”
Sebelumnya: Di Sini, Negara Empat Kali Disebut
Selanjutnya: Tidak Semua Pendongeng Harus Kau Percayai