Setelah gelombang demonstrasi di Indonesia pada 25-31 Agustus 2025, Direktur Festival Pestapora Rizky Aulia atau Ucup, menyatakan festival musik tersebut tetap berlangsung sesuai jadwal, yakni 5-7 September 2025, dengan beberapa penyesuaian.
Hari pertama pelaksanaan acara di Kemayoran, Jakarta, ini pun berjalan lancar. Kegiatan salat Jumat di area festival yang diimami musisi senior Rhoma Irama pun sempat tersebar di media sosial (medsos).
Namun, pada malam hari netizen dihebohkan dengan kabar Pestapora bekerja sama dengan PT Freeport Indonesia. Informasi tersebut langsung menuai respons publik, sebab Freeport dinilai memberikan dampak buruk terhadap masyarakat adat dan lingkungan hidup di Papua.
Tidak hanya publik, banyak musisi terdaftar sebagai penampil di Pestapora kemudian juga mengundurkan diri sebagai respons dan sikap atas keterlibatan Freeport. Beberapa di antaranya adalah Efek Rumah Kaca, Sukatani, dan The Panturas.
Penyelenggara Pestapora merespons kritik publik. Melalui kanal Instagram resminya pada Sabtu (6/9/2025), mereka mengatakan telah memutus kerja sama dengan Freeport.
“Pestapora memastikan untuk penyelenggaraan di hari kedua, 6 September 2025, dan hari ketiga, 7 September 2025, kami sudah tidak terikat dan terafiliasi dengan PT Freeport Indonesia,” demikian pernyataan penyelenggara Pestapora.
Kenapa Eksistensi Freeport Merugikan?
PT Freeport Indonesia adalah perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang melakukan praktik penambangan berbagai sumber daya alam, seperti emas, perak, dan tembaga di Kabupaten Mimika, Papua Tengah.
Freeport menandatangani kontrak awal dengan Pemerintah Indonesia untuk mulai beroperasi pada 7 April 1967 di tengah status quo Papua di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada saat itu. Proses ini dinilai mengabaikan hak masyarakat adat.
Pada 1991, Freeport menandatangani kontrak karya II, yang isinya pembaharuan dari kontrak sebelumnya untuk jangka waktu 30 tahun dengan hak perpanjangan sampai dengan 2×10 tahun.
Pada 2018, terjadi penandatanganan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang mengubah bentuk dan perpanjangan usaha pertambangan sampai 2041 dan 51,24% saham perusahaan dimiliki pihak Indonesia.
Namun, isu lingkungan menyeret perusahaan tersebut. Pada 2023, limbah tailing hasil penambangan emas dan tembaga Freeport dilaporkan telah merusak ekosistem sungai yang berada di sekitar kawasan tambang.
Limbah tailing adalah sisa dari proses pengolahan hasil tambang yang tidak memiliki nilai ekonomi.
Limbah-limbah tersebut selama puluhan tahun terbawa melalui sungai menuju laut, sehingga terjadi pendangkalan di muara-muara sungai.
Dalam berita yang ditulis VOA Indonesia mengenai permasalahan limbah Freeport, anggota DPR Papua, John NR Gobai, mengatakan setidaknya ada tiga distrik yang masyarakatnya terdampak limbah tailing Freeport.
“Orang Sempan dan orang Mimika itu filosofi hidupnya tiga, sagu, sampan dan sungai. Sagu itu makanan mereka, kemudian sampan itu perahu dan juga sungai adalah tempat hidup mereka. Ini persoalan, sungai tempat penghidupan mereka terganggu oleh pembuangan dari tailing Freeport.” Ujar Gobai dalam wawancaranya dengan VOA Indonesia.
Donasi Musisi di Pestapora hingga Musik dalam Aktivisme Lingkungan
Melalui Instagram-nya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) merespons penolakan musisi terhadap keberadaan Freeport di Pestapora dengan ucapan terima kasih kepada para musisi yang telah berani bersuara, dan menyalurkan bayaran mereka kepada masyarakat adat di Papua melalui Walhi.
Walhi mengatakan, selanjutnya seluruh donasi yang terkumpul akan diumumkan secara terbuka dan didistribusikan langsung kepada masyarakat Papua yang terdampak Freeport.
“Bagi kami, donasi ini menjadi bagian penting dan tidak terpisahkan dari perjuangan masyarakat Papua menghadapi penjahat lingkungan terbesar di tanah Papua,” demikian Walhi.
Respons cepat masyarakat, sikap tegas musisi, hingga donasi yang dilakukan tak ubahnya indikator kuat, bahwa kesadaran atas pentingnya lingkungan dan menghargai perjuangan masyarakat adat sangat perlu untuk dirawat dan terus diperjuangkan.
Sebelum hal ini terjadi, musik sejatinya telah lama menjadi media bagi para musisi untuk menyampaikan keresahan atas isu-isu di lingkungan mereka maupun isu global.
Banyak musisi telah menciptakan lagu yang menggambarkan keresahan mereka terhadap berbagai isu. Misalnya, Michael Jackson dengan lagu “We are the World” dan Linkin Park dari tembang “What I’ve done”.
Lewat “We are the World”, Michael Jackson menyuarakan betapa pentingnya solidaritas dan tanggung jawab masyarakat global untuk saling membantu. Sementara dari karyanya, Linkin Park menyampaikan kritik sosial dan harapan membangun kembali dunia yang telah rusak.
Indonesia sendiri memiliki banyak musisi yang sudah lama menjadikan musik sebagai perantara mereka untuk menggaungkan isu-isu sosial, politik, dan lingkungan hidup.
Hal ini jelas terlihat dari lirik-lirik grup musik, seperti Efek Rumah Kaca, juga Navicula yang salah satu personelnya bahkan mendirikan IKLIM pada 2023, yaitu inisiatif kolaborasi antar-musisi yang menggaungkan krisis lingkungan hidup.
Menyoal aktivisme lingkungan hidup, kini gerakan tersebut pun telah banyak berkembang di akar rumput. Sebagai contoh, salah satu gerakan yang cukup besar adalah penolakan tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Merujuk laporan Inside Indonesia, gerakan perlawanan tambang emas tersebut dimulai sejak 2007 hingga 2023, ketika masyarakat mulai menyadari dampak buruk dari eksistensi tambang emas terhadap lingkungan hidup mereka.
Sementara keterlibatan musik dalam gerakan lingkungan juga sudah lama terjadi. Misal, dalam gerakan masyarakat yang menolak PLTU Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng, Bali, dan Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa.
Dalam dua gerakan tersebut, musisi lokal seperti Navicula dan Superman is Dead, juga mengambil peran dalam melawan upaya perusakan lingkungan.
Hal tersebut jelas menjadi indikasi kuat jika musik dan aktivisme lingkungan hidup mulai berkaitan erat pada tahun-tahun belakangan ini.
Maka dari itu, sebagai masyarakat, kita pun harus mengambil peran dengan selalu menjaga api perjuangan dan perlawanan terhadap penjahat lingkungan agar hidup masyarakat lebih baik lagi di masa kini dan masa depan.