Kerap kita melihat perempuan-perempuan mengendarai motor di tengah hiruk pikuk Jakarta dengan jaket hijau-kuning khas ojek online (ojol), menyusuri jalanan demi satu-dua orderan yang tak seberapa nilainya. Dalam padat, juga semrawutnya arus lalu lintas, mereka hadir bukan sekadar mengisi waktu luang, tapi sebagai tulang punggung keluarga!
Para ojol perempuan tidak hadir secara serta-merta. Melainkan dari serangkaian peristiwa yang membuatnya menjadi korban dari sistem perburuhan yang tidak memihak kepada buruh.
Demikian faktanya. Sebab, banyak dari mereka yang sebelumnya bekerja sebagai buruh pabrik, buruh honorer, atau buruh kontrak, yang kemudian mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja.
Mereka bukan orang-orang kalah. Mereka adalah orang-orang yang memiliki semangat juang. Dan lantaran itu pula, kini mereka bertahan di sektor informal atau gig economy. Namun getirnya, mereka bekerja dengan perlindungan yang nyaris tidak ada, termasuk perkara asuransi kesehatan.
Saya harus mengatakan demikian. Pasalnya, sampai saat ini akses ojol perempuan ke BPJS Kesehatan masih sebatas mimpi.
Akses ke program tersebut seakan-akan menjadi muskil mereka peroleh karena perusahaan aplikasi ojol (aplikator) hanya memosisikan mereka sebagai mitra. Status inilah yang kemudian membuat mereka tidak mendapatkan jaminan sosial sebagaimana yang diterima buruh di sektor formal.
Padahal, situasi tersebut seharusnya tidak terjadi. Demikian saya berpendapat karena para ojol perempuan juga bekerja penuh waktu, terpapar risiko kecelakaan, bahkan mengalami ragam pelecehan dan diskriminasi di jalanan!
Di sisi lain, tidak seharusnya buruh ojol bekerja tanpa perlindungan, mengingat BPJS adalah jaring pengaman dasar. Lebih-lebih ini berkelindan dengan kesehatan!
Bagi perempuan ojol—yang kerap juga menjadi ibu rumah tangga dan kepala keluarga—biaya pengobatan adalah kemewahan. Tidak sedikit dari mereka yang harus menunda berobat karena tak mampu bayar ongkosnya.
Yang membuatnya kian ironis, kondisi tersebut mereka alami tatkala bekerja di bawah platform digital raksasa yang tumbuh pesat di atas keringat mereka. Di sisi lain, negara pun absen dengan indikasi membiarkan para aplikator untuk tidak memiliki kewajiban hukum dalam melindungi kesehatan para “mitranya”.
Penelitian yang saya dan tim lakukan di Universitas Indonesia mengonfirmasi hal ini. Para pengemudi perempuan mengaku belum pernah mendapat sosialisasi atau dukungan dari aplikator untuk mendaftar BPJS.
Bahkan, sebagian besar ojol perempuan tidak memahami prosedur pendaftaran mandiri, apalagi sampai menyisihkan penghasilan harian untuk membayar iuran. Situasi diperparah dengan sistem algoritma aplikasi yang merugikan mereka secara waktu dan tenaga, sehingga menjadikan istirahat bak barang mewah.
Pemerintah pun tidak hadir sepenuhnya. UU Cipta Kerja—yang seharusnya membawa perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh—malah melegitimasi hubungan kerja tanpa ikatan. Negara melepas tanggung jawabnya pada aplikator, dan aplikator mengelak dengan dalih “kemitraan”. Akibatnya, tidak ada yang sungguh-sungguh bertanggung jawab atas kesehatan buruh ojol perempuan!
Jika pemerintah serius ingin memperbaiki taraf hidup buruh informal, langkah pertama yang paling realistis adalah memperluas jangkauan BPJS Kesehatan bagi mereka. Caranya? Dengan mewajibkan aplikator ikut menanggung sebagian iuran BPJS milik buruh ojol.
Jika perusahaan bisa mengambil komisi dari setiap transaksi yang diperoleh buruh ojol, mengapa tidak bisa menyisihkan sebagian untuk perlindungan dasar kesehatan orang-orang yang membesarkannya?
Kita tidak bisa terus mengabaikan mereka yang bekerja paling keras, tapi justru tak terlindungi. Apabila situasi ini berlanjut, buruh ojol perempuan tak ubahnya potret dari ketimpangan yang diciptakan oleh sistem kerja digital tanpa etika.
Maka itu, jika kita menikmati layanan mereka setiap hari, sudah selayaknya kita juga bersuara agar buruh ojol mendapatkan hak-hak dasarnya—termasuk hak untuk sehat!
Perlu dipertegas, negara hadir bukan untuk investor semata, tapi juga untuk rakyat yang paling rentan. Oleh karena itu, jika BPJS masih menjadi hak istimewa bagi buruh formal, maka cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum sepenuhnya terwujud!
Catatan redaksi:
Opini ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan kelompok mahasiswa Universitas Indonesia yang bertajuk: Dampak PHK Akibat UU Cipta Kerja terhadap Kesejahteraan Ojek Online Perempuan.