Pawai Terakhir Mayday, Gagalnya Istana Buruh, dan Lintang Kemukus 1965

Pawai Terakhir Mayday, Gagalnya Istana Buruh, dan Lintang Kemukus 1965

Rapat Umum Melawan Imperialisme AS (Bintang Timur, 8 Agustus 1964, halaman I)
Rapat Umum Melawan Imperialisme AS (Bintang Timur, 8 Agustus 1964, halaman I)

Suasana Jakarta gegap gempita pada Senin sore, 3 Mei 1965. Diperkirakan 40 ribu massa tumpah di jalan-jalan pusat ibu kota. Ribuan manusia yang berjubel dalam pawai tersebut mayoritas adalah buruh. Lain-lainnya turut pula massa dari organisasi tani, pemuda, dan perempuan.

Massa memulai karnavalnya dari Lapangan Banteng, bergerak melalui Jalan Perwira untuk melintasi Istana Negara, Merdeka Barat, Merdeka Selatan, Merdeka Timur, Menteng Prapatan, Senen, dan berakhir di tempat mereka mulai.

Long march yang megah tersebut semakin meriah dengan adanya kirab irama yang digaungkan Pemuda Rakjat, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan kelompok lainnya. Mobil-mobil yang dihias dengan peragaan hasil bumi dan produksi Indonesia, turut menyemarakkan pawai.

Ratusan bendera Merah-Putih mengudara, berbagi tempat dengan potret Presiden Sukarno dan Karl Marx yang turut diarak dalam karnaval. Tidak hanya itu, massa pun memboyong poster slogan yang isinya, seperti “Kaum Buruh Semua Negeri Bersatulah”, “Ganyang Kapitalis Birokrat”, dan “Bentuk Kabinet Nasakom”.

Semboyan-semboyan yang dibentangkan massa, disebut menggambarkan semangat tinggi perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan neokolonialisme (Nekolim) yang dinahkodai Amerika Serikat (AS), mengganyang Malaysia, dan simbol kesiapan rakyat dalam melaksanakan amanat Presiden Sukarno tentang berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari).

Parade yang oleh kaum kiri dinamai “Pawai Berdikari” ini, sejatinya rangkaian dari 10 hari acara merayakan 1 Mei sebagai Hari Buruh Sedunia. Demikian Harian Rakjat—surat kabar Partai Komunis Indonesia (PKI)—dan Duta Masjarakat—pers Nahdlatul Ulama (NU)—melaporkan.

Dua surat kabar tersebut memberitakan pawai digagas pemerintah dan Sekretariat Bersama Gabungan Serikat Buruh Indonesia. Anggota vaksentral-nya, seperti SOBSI, Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM), Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), dan Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI).

Lalu, Gabungan Organisasi Buruh Syarikat Islam (GOBSI) Indonesia, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo), Kesatuan Pekerja Kristen Indonesia (Kespekri), Kesatuan Organisasi Buruh (Kubu) Pancasila, dan Sentral Organisasi Buruh (SOB) Pancasila. Parade juga disokong serikat-serikat buruh non-vaksentral.

Patung “Banting Stir” yang Dibawa dalam Pawai 1 Mei (Harian Rakjat, 5 Mei 1965, halaman I).
Patung “Banting Stir” yang Dibawa dalam Pawai 1 Mei (Harian Rakjat, 5 Mei 1965, halaman I).

Aksi Mayday 1965 tampak dipersiapkan sebaik mungkin. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah dalam menggandeng serikat-serikat buruh dalam membentuk kepanitiaan, sebagaimana disampaikan Menteri Perburuhan Sutomo Martopradopo (Kabinet Dwikora I 27 Agustus 1964-22 Februari 1966 dan Dwikora II 24 Februari 1966-18 Maret 1966) kepada pers di ibu kota.

Hari Buruh 1965 juga tidak biasa karena mengangkat dua tema besar. Pertama, berkelindan dengan sikap politik dan ekonomi Indonesia sebagai respons atas situasi kekinian di tingkat global.

Perihal itu, Sutomo mengatakan, tema Mayday 1965 ditunjukkan terhadap adanya kontradiksi antara New Emerging Forces (Nefo) dan Old Established Forces (Oldefo).

Nefo adalah sebutan untuk negara-negara baru merdeka yang anti-kolonialisme dan imperialisme. Sedang Oldefo ialah negara-negara kekuatan lama yang mapan serta bercorak imperialis dan kolonialis.

Dalam konteks tersebut Indonesia berada di barisan Nefo. Maka itu, tidak mengherankan sentimen atas negara-negara Oldefo—AS dan sekutunya—marak pula disuarakan saat Hari Buruh, khususnya perihal penolakan terhadap modal AS beserta kroni-kroninya yang sudah dilakukan jauh-jauh hari.

Adapun tema lain yang turut diangkat beririsan dengan situasi dalam negeri, “Penondjolan kekuatan dan peranan kaum buruh Indonesia sebagai sokoguru revolusi. Sebab itu, 1 Mei tahun ini akan dirajakan diseluruh Indonesia setjara megah dan meriah,” ujar Sutomo, dinukil dari Harian Rakjat, 30 April 1965.

Adapun Sutomo menyampaikan demikian, sebab menurutnya, 1965 menjadi tahun penting dalam pengintegrasian buruh dan pemerintah dalam rangka menjalankan amanat berdikari.

Syahdan, apa yang disampaikan Sutomo bukan isapan jempol. Panitia Perayaan Hari Buruh pun merancang acara dari 30 April-9 Mei 1965. Diketahui pada 30 April tengah malam, massa lebih dulu ziarah ke makam pahlawan di Kalibata, Jakarta.

Pagi harinya, bertepatan dengan Hari Buruh, berlangsung Rapat Umum 1 Mei Berdikari di Istora Senayan, Jakarta. Dalam rapat ini, Bung Karno, Sutomo, dan para wakil vaksentral serikat-serikat buruh menyampaikan pidatonya.

Pada tanggal 3 Mei, barulah pawai berlangsung. Sehari sebelumnya, dua acara lain juga telah dimulai.

Pertama, pertunjukan kesenian reog, wayang, dan pemutaran film di panggung terbuka yang tersebar di Jakarta, antara lain: Tanjung Priok, Lokasari, Manggarai, Tanah Abang, Kebayoran, Tanah Tinggi, dan Kota. Agenda ini berlangsung 2-7 Mei.

Kedua, perlombaan olahraga sepak bola, voli, bulu tangkis, tenis meja, lari lintas alam, dan catur pun digeber sejak 2 Mei dan ditutup pada 9 Mei dengan agenda gerak jalan massal di Kompleks Gelora Bung Karno.

Di antara dua agenda itu, Hari Buruh dirayakan pula dengan pertunjukan malam drama pada 7-8 Mei. Naskah yang dipentaskan bertajuk Djangan Takut Dilanda Ombak karya Motinggo Boesje dan Lontjeng Kebangkitan, yang sayangnya sampai artikel ini terbit, penulis belum berhasil melacak penciptanya.


Kenapa Meriah?

Menjadi pertanyaan tentu saja mengapa Hari Buruh yang identik dengan demonstrasi dirayakan bak pesta sampai sepuluh hari lamanya. Bahkan, PKI yang getol mengadvokasi kelas buruh, sampai-sampai mengadakan resepsi internal dalam rangka merayakan Hari Buruh pada Selasa, 4 Mei 1965. Oleh kaum komunis, mayday pada tahun itu disebut Hari Kemenangan Kaum Buruh Sedunia.

Dalam pesta tersebut hadir dua pimpinan PKI: Dipa Nusantara Aidit dan Mohamad Hakim Lukman. Ada pula Anggota Sekretariat Comite Central (CC) PKI, Nursuhud; Rektor Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA), B.O Hutapea; Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Umi Sardjono; dan Ketua Dewan Nasional SOBSI, Moh. Munir.

Setelah mengawali acara dengan menyanyikan Indonesia Raya dan Internasionale, Aidit menegaskan perayaan 1 Mei harus dilakukan dengan tekad dan semangat ideologi, serta moral khas buruh: sepi ing pamrih, rame ing gawe atau yang pada pokoknya terkait semangat gotong royong dan tanpa pamrih.

“Hanja dengan demikianlah kita bisa mendjadi seorang komunis jang baik,” kata Aidit, dikutip dari Harian Rakjat, 5 Mei 1965.

Gegap gempita Hari Buruh 1965 tentu saja tidak lepas dari situasi Indonesia di tahun-tahun sebelumnya. Sebagai contoh, ketika Indonesia menyatakan konfrontasi langsung atas pembentukan Malaysia pada 1963 yang disokong Inggris dan AS.

Peristiwa tersebut pun berkelindan dengan implementasi kebijakan Deklarasi Ekonomi (Dekon) dan aksi ambil alih perusahaan-perusahaan AS beserta sekutunya di Indonesia.

Rapat Umum Melawan Imperialisme AS (Bintang Timur, 8 Agustus 1964, halaman I)
Rapat Umum Melawan Imperialisme AS (Bintang Timur, 8 Agustus 1964, halaman I)

Ketidaksukaan Indonesia atas ikut campurnya AS serta Inggris terejawantahkan dalam Keputusan Presiden No. 194 Tahun 1963 dan Pengumuman Pemerintah 20 Januari 1964. Dua hal itu pada pokoknya tentang pengambilalihan perusahaan dan perkebunan milik Inggris, serta pembentukan Panitia Aksi Pemboikotan Film Amerika Serikat (Papfias).

Konfrontasi Malaysia bak bola salju yang pecah di awal 1965. Saat itu, Presiden Sukarno sudah memutuskan Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyusul didapuknya sang lawan menjadi anggota Dewan Keamanan (DK) tidak tetap PBB.

Menteri Luar Negeri Subandrio menindaklanjuti sikap tersebut melalui surat yang dikirim pada 20 Januari 1965 ihwal hengkangnya Indonesia dari PBB. Dia turut melampirkan pertimbangan keputusan itu, termasuk sikap Indonesia yang tidak setuju atas pembentukan Malaysia karena dianggap sebagai upaya memuluskan niat para nekolim.

Sehari setelahnya, barulah Indonesia resmi angkat kaki dari perserikatan bangsa. Hengkangnya Indonesia dari PBB pun menuai banyak respons. Jepang, Kanada, Algeria, Mali, dan Ghana mempertanyakan dan menyayangkan keputusan Indonesia itu.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, konflik dengan Malaysia beririsan dengan Dekon—suatu kebijakan yang diharapkan mampu mengatasi persoalan ekonomi Indonesia yang makin pelik memasuki 1960-an. Hal ini yang diyakini, sehingga dalam resolusi 1 Mei 1965 kelas buruh juga menyinggung kebijakan tersebut.

Mulanya, Dekon lahir sebagai respons dari serangkaian kegagalan pemerintah dalam menanggulangi masalah ekonomi.

Pada Demokrasi Terpimpin (1959-1965), ekonomi Indonesia merupakan warisan ekonomi yang mendua (dual economy), dengan sektor enklave kolonial modern dan beraktivitas demi memperluas ekonomi Belanda yang efektif.

Sektor enklave yang dimaksud: pertambangan, perkebunan, dan berbagai bentuk tanam paksa terhadap petani kecil. Selama periode 1950-1965 terdapat peningkatan upaya dalam menghancurkan ekonomi yang mendua tersebut.

Upaya dimulai sejak 1950 di bawah program indonesianisasi yang berlandaskan pada kebijakan perlindungan, pemberian keistimewaan, dan subsidi bagi mereka yang hendak menjadi kapitalis Indonesia.

Usaha selanjutnya dilakukan oleh kaum kiri yang terorganisir. Mereka ingin melakukan nasionalisasi dan mengendalikan buruh berdasarkan tujuan umum sosialis.

Hasil yang dicapai adalah lebih dari 400 perkebunan dan sejumlah perusahaan perdagangan, industri, dan perbankan berhasil dinasionalisasi, dalam hitungan akuntansi berjumlah 90% hasil produk perkebunan negeri dan 60% hasil perdagangan luar negeri.

Proses selanjutnya adalah perwira-perwira Angkatan Darat (AD) menduduki posisi manajer di perusahaan-perusahaan yang sudah dinasionalisasi itu. Pasalnya, AD memiliki posisi kuat setelah berlakunya staat van oorlog en beleg (SOB-keadaan darurat 1957-1963) karena pemberontakan di beberapa daerah.

Namun, upaya nasionalisasi tahap pertama tak membuahkan hasil maksimal. Pemerintah pun menyiapkan kebijakan Pembangunan Delapan Tahun. Akan tetapi, rencana tersebut tak lebih sebagai dokumen simbolik yang dibagi 1.945 paragraf, 17 induk, dan delapan jilid, yang mengingatkan pada hari kemerdekaan Indonesia.

Adapun proyek rencana tersebut akhirnya ditelantarkan. Peralatan-peralatan mahal yang sudah didatangkan dari Uni Soviet dan negara lain menjadi besi tua atau objek pencurian.

Kegagalan program yang dipimpin Mohammad Yamin selaku ketua Dewan Perancang Nasional ini, disiasati pemerintah dengan Dekon yang diumumkan pada 28 Maret 1963 di Jakarta.

Setelahnya, pemerintah menerbitkan regulasi tentang pelaksanaan Dekon yang lebih dikenal Peraturan 26 Mei. Keterangan pemerintah mengenai peraturan tersebut berdasarkan kesadaran untuk memberikan prioritas dalam mengatasi masalah sandang, pangan, ekonomi, keuangan, dan pembangunan.

Keterangan lain ialah kesulitan ekonomi yang mencolok dengan adanya kenaikan harga kebutuhan sehari-hari secara konsisten sejak 1961-1962. Kebutuhan sehari-hari itu, mengalami kenaikan harga mencapai 400%.

Sejatinya, saat konfrontasi dengan Malaysia berlangsung, kondisi dalam negeri tengah memburuk dan diperparah dengan biaya propaganda pembebasan Irian Barat. Demi menanggulanginya, AS dan International Monetary Fund (IMF) menyatakan kesediaan memberikan bantuan berupa dana siap sebesar $50 juta.

Dalam proses pemberian pinjaman, AS mengajukan syarat ihwal pembentukan Malaysia. Namun, Indonesia menolaknya. Keputusan tersebut membuat AS menangguhkan bantuannya untuk Indonesia, sehingga mengakibatkan Dekon dengan Peraturan 26 Mei tidak berhasil secara maksimal.

Situasi tersebut membuat Dekon yang pada mulanya mendapat banyak dukungan, termasuk dari kelompok pers, akhirnya malah dikritik. Pemerintah dianggap terlalu menyandarkan diri atas pinjaman luar negeri dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut, demikian Wakil Perdana Menteri I Subandrio di depan Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) pada 12 Desember 1963.

Sikap AS perihal syarat pembentukan Malaysia, membuat Indonesia melancarkan serangan balik melalui pernyataan Presiden Sukarno, yang mengatakan “Amerika–Go to hell with your aid” pada Maret 1964 di depan kerumunan orang banyak.

Aksi Buruh dan Massa Keluar dari Gedung Stanvac Indonesia, Jakarta pada 1965
Aksi Buruh dan Massa Keluar dari Gedung Stanvac Indonesia, Jakarta, Setelah Mendengarkan Pembacaan Piagam Ambil Alih (Harian Rakjat, 20 Maret 1965, halaman I).

Terhadap Malaysia, Bung Karno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 241 pada 27 November 1963 tentang penguasaan perusahaan-perusahaan milik warga Malaysia di Indonesia, maupun di negerinya.

Menindaklanjuti keputusan itu, Presiden Sukarno selanjutnya memerintahkan Panglima Kesatuan Operasi I, II, III, dan menteri terkait segera melaksanakan kewenangannya.

Apa yang terjadi setelah sikap Bung Karno adalah merebaknya tuntutan dan aksi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing milik blok barat di Indonesia, terutama memasuki periode 1964 dan 1965. Partai-partai penyokong pemerintah turut memberikan seruan menggebuk imperialisme AS.

Pada 27 Desember 1964, misalnya, partai-partai politik dan organisasi masyarakat di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, menyerukan nasionalisasi modal AS di Indonesia, termasuk meninjau kembali hubungan diplomatik dengan Negeri Paman Sam.

Pernyataan tersebut dilakukan saat rapat raksasa yang dihadiri Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Partindo), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), PKI, dan 11 organisasi massa.

Gejolak penolakan terhadap kapitalisme AS dan sekutunya juga terjadi di Sumatera Utara. Setengah juta kaum buruh dari enam vaksentral: KBM, SOBSI, Sarbumusi, GOBSI, Serikat Buruh Kehutanan Islam (SBKI), dan Rapat Kerja Sama (RKS) Pegawai Negeri—pusat serikat atau perkumpulan pegawai negeri—menyatakan kesiapannya mengambil alih perkebunan-perkebunan milik AS dan Belgia.

Pernyataan tersebut bukanlah ancaman belaka. Aksi ambil alih di Sumatera Utara pun betul berlangsung. Perusahaan-perusahaan perkebunan karet milik AS yang diakuisisi paksa adalah Serbangan, Sei Baleh, Kwala Pissa, Gurah Batu, Pabrik Bunut, Kwala Gunung, Huta Padang, Wingfoot, dan Dolok Merangir.

Dalam konferensi pers organisasi buruh Sumatera Utara pada Rabu, 17 Februari 1965, menerangkan:

“Bahwa seluruh perusahaan milik imperialis AS di Sumatera Utara meliputi 8 buah perkebunan karet dengan area 64325 Ha, bungalow2, instalasi2, rumah sakit, dllnja pada Senin tgl 15/2 telah diambilalih oleh kaum buruh,” demikian dinukil dari Harian Rakjat, 18 Februari 1965.

Sampai menjelang Hari Buruh 1 Mei 1965, berita-berita sejenis bertebaran di Harian Rakjat. Tampak serikat-serikat buruh begitu getol mengambil alih perusahaan-perusahaan AS dan sekutu-sekutunya.

Gayung bersambut. Aksi ini nyatanya mendapat banyak dukungan. Tidak hanya di Sumatera, sokongan aksi-aksi akuisisi paksa juga diberikan rakyat dari Jawa dan Kalimantan. Pemerintah pun setali tiga uang.

Ihwal ambil alih, giat yang paling mendapat sorotan adalah keputusan Presiden Sukarno tentang penempatan semua perusahaan-perusahaan minyak asing di bawah penguasaan pemerintah.

Pengumuman tersebut disampaikan Wakil Perdana Menteri Chairul Saleh setelah ia melaporkan kepada Bung Karno terkait gelombang aksi anti-imperialisme AS, khususnya di Jakarta yang berlangsung pada Jumat, 19 Maret 1965.

Dalam aksinya, massa lantas mengambil alih PT. Stanvac Indonesia Pusat yang berada di Jalan Merdeka Selatan, cabang PT. Stanvac di Tanjuk Priok, dan PT. Caltex Pasifik Indonesia Pusat yang berkantor di Jalan Kebon Sirih.

Aksi pengambilalihan dilakukan massa yang tergabung dalam Komando Aksi Buruh Minyak (KABM). Aliansi tersebut beranggotakan buruh-buruh dari KBM, Sarbumusi, Persatuan Buruh Minyak (Perbum) SOBSI, dan SBMSI—serikat buruh minyak.

Sehari sebelum aksi di Jakarta, buruh minyak di Sungai Gerong, Sumatera Selatan, yang disokong Perbum SOBSI, KBM, dan Sarbumusi mengambil alih perusahaan minyak Stanvac di kawasan tersebut. Setelah giat, massa segera mengirim delegasi ke Jakarta untuk melapor kepada pemerintah pusat.

Sementara pada Kamis, 18 Maret, Serikat Buruh Listrik dan Gas (SBLG) memboikot AS dengan memutus aliran listrik ke gedung-gedung instansi AS di Jakarta. Bangunan-bangunan yang diputus alirannya adalah Kedutaan Besar AS, US Aid, Associated Press, US Navy, Lembaga Persahabatan Indonesia-AS, Ford Foundation, dan satu gedung mess.

Aksi Ambil Alih Gedung AMPAI di Jalan Segara, Jakarta (Harian Rakjat, 17 Maret, 1965, halaman I).

Adapun setelah terbentuknya Papfias, di Indonesia terjadi serangkaian aksi penolakan film-film AS. Salah satunya, organisasi-organisasi di Samarinda, Kalimantan Timur, yang menuntut film-film Oldefo diganti dengan garapan dari negara-negara Nefo.

Perkumpulan yang ambil bagian dalam gerakan tersebut adalah Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), Pemuda Katolik, dan Pemuda Marhaenis.

Memasuki 1965, penolakan kebudayaan imperialis juga terjadi di Tuban, Jawa Timur. Film AS berjudul “Ulysses” yang secara diam-diam akan tayang di Bioskop Pusaka pada Sabtu, 20 Februari, disergap massa pemuda progresif.

Aksi tersebut dilakukan gabungan massa dari Pemuda Indonesia, Pemuda Rakjat, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) non-vaksentral.

Dalam pemberitaannya, 27 Februari 1965, Harian Rakjat melaporkan:

“Sehubungan dengan penjergapan jang berhasil itu, delegasi jang terdiri dari Pemuda Indonesia, Pemuda Rakjat, IPPI, CGMI, dan PGRI (non-vaksentral) dalam waktu jang bersamaan telah menemui direktur Bioskop Pusaka dan fihak jg berwadjib untuk menegaskan sekali lagi bahwa bangsa Indonesia merasa jidjik dengan film2 imperialis tsb.”

Tidak hanya film, rumah produksi yang terafiliasi dengan AS dan Inggris turut dibidik massa. Para seniman, buruh film, serta massa dari segala elemen mengambil alih American Movie Picture Association of Indonesia (AMPAI) dan Rank Film Organization.

Peristiwanya terjadi pada Selasa, 16 Maret, dan berlangsung sejak pukul 10.00 pagi di Jalan Segara, Jakarta. “Pengambilalihan tsb berdjalan lantjar, tertib dan berlangsung dalam semangat anti-AS jang tinggi serta semangat persatuan nasional revolusioner jang teguh,” demikian Harian Rakjat melaporkan, 17 Maret 1965.

Terang sudah apa yang terjadi, terutama pada 1964 dan 1965 di Indonesia tak ubahnya angin segar bagi kalangan buruh. Aksi ambil alih yang mendapat dukungan dari rakyat dan pemerintah, merupakan kemenangan telak.

Aksi Mengganyang Imperialisme AS di Jakarta (Harian Rakjat, 26 Maret 1965, halaman I).
Aksi Mengganyang Imperialisme AS di Jakarta (Harian Rakjat, 26 Maret 1965, halaman I).

Rangkaian peristiwa, seperti mulainya konfrontasi Malaysia, Dekon, sampai aksi ambil alih perusahaan-perusahaan serta pengganyangan kebudayaan AS dan kroni-kroninya, bak episode yang berkesinambungan. Maka itu, tak mengherankan apabila Hari Buruh 1965 dirayakan dengan megah dan meriah.


Resolusi, Istana yang Gagal, dan Lintang Kemukus

Meskipun Hari Buruh disambut dengan meriah, tapi kelas buruh tetap membawa propaganda politik kala pawai sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya.

Hal-hal yang diperjuangkan pun tetap ada, seperti tertuang dalam resolusinya yang ditandatangani Menteri Perburuhan sekaligus Ketua Umum Panitia Perayaan 1 Mei, Sutomo dan wakil-wakil serikat-serikat buruh.

Resolusi yang dibacakan dalam Rapat Umum 1 Mei di Gelora Bung Karno itu, berisikan tentang ketidakrelaan kelas buruh melepas Presiden Sukarno untuk berunding dengan Tengku Abdul Rahman—kelak didapuk sebagai Bapak Kemerdekaan Malaysia. 

Resolusi lainnya adalah mendukung dan siap melaksanakan amanat Presiden Sukarno yang disampaikan di depan sidang umum ketiga Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang bertajuk Berdikari. Menyoal amanat ini, seyogyanya memang masih hangat karena baru disampaikan Bung Karno pada 11 April 1965.

Berikutnya, meminta pemerintah melaksanakan Dekon secara konsekuen dengan menindak tegas koruptor, mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan progresif-revolusioner berporos Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom), dan memperkuat persatuan Asia-Afrika dan Nefo.

Lalu, memperbaiki perusahaan-perusahaan negara dan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang memusuhi revolusi Indonesia, menyukseskan Konferensi Buruh Asia-Afrika (KBAA) serta Konferensi Asia-Afrika (KAA) kedua di Aljazair, dan menyukseskan Conference of The New Emerging Forces (Conefo).

Berkenaan dengan KBAA, kala itu diagendakan bakal berlangsung di Jakarta pada 1965. Sementara KAA kedua dijadwalkan pada Juni di tahun yang sama, sedang Conefo rencananya digelar di Jakarta pada 1966.

Adapun resolusi selanjutnya mendukung perjuangan rakyat Kalimantan Utara dan Vietnam yang tengah bersitegang dengan AS, serta mendesak pemerintah mengakui Pemerintah Kalimantan Utara di bawah pimpinan Perdana Menteri Sheikh Azahari bin Sheikh Mahmud atau lebih dikenal dengan A.M. Azahari.

Lalu, kaum buruh juga menuntut pemerintah untuk mengesahkan Undang-undang Perburuhan dan membuat regulasi yang mewajibkan perusahaan-perusahaan swasta membentuk dewan-dewan perusahaan yang mengikutsertakan wakil-wakil buruh.

Di samping itu, sebelum 1 Mei 1965, kelas buruh mendapat angin segar ihwal rencana pembangunan Istana Buruh di Jakarta. Pers melaporkan gagasan pendiriannya sudah mendapatkan restu dari Presiden Sukarno.

Dalam rangka pendirian gedung, Menteri Perburuhan Sutomo mendapat petunjuk dari Bung Karno kalau presiden sendiri yang akan menentukan arsitektur Istana Buruh. Dalam kesempatan yang sama, Sutomo pun menerangkan dalam waktu tak lama lagi panitia khusus pembangunan segera dibentuk.

“Istana Buruh itu kelak djika telah selesai dibangun akan merupakan satu2nja Istana Buruh jang terdapat diluar negeri2 sosialis,” ujar Sutomo dikutip dari Duta Masjarakat, 30 April 1965.

Sementara bagi redaksi Harian Rakjat, Sutomo dianggap telah menghidupkan kembali gagasan pembangunan Istana Buruh. Langkah tersebut dipandang penting, sebab gedung itu diyakini akan memperkuat persatuan kelas buruh, mempertinggi kesadaran politik, dan meningkatkan taraf kebudayaan.

Demi mencapai tujuan itu, secara spesifik kelompok kiri menginginkan di Istana Buruh ada Perpustakaan Buruh atau Perpustakaan Sosialisme. Dalam konsepnya, redaksi Harian Rakjat memosisikan perpustakaan bak gelanggang pertarungan ide dan gagasan.

Dengan demikian, diharapkan istana tersebut menjadi pusat bertemunya pemikiran-pemikiran terkait perjuangan buruh.

“Bukan hanja bagi elaborasi teori2 perdjuangan klas buruh, tetapi juga bagi pernjempurnaan praktek perdjuangan itu. Dan ini (perpusatakaan-red) bisa didirikan didalam Istana Buruh itu,” ucap redaksi Harian Rakjat di rubrik editorial, 4 Mei 1965.

Akan tetapi, berkenaan dengan Istana Buruh, sampai kini masih samar untuk mengetahui bagaimana nasibnya. Sumber-sumber yang ada masih sangat minim. Bisa jadi, hal ini berkelindan dengan situasi Indonesia beberapa bulan setelah Hari Buruh 1965.

Peristiwa yang dimaksud, oleh penulis, diyakini membuat kemenangan kelas buruh dan gagasan Istana Buruh berlalu dengan cepat.

Diketahui, pada 18 September 1965, dua astronom amatir Jepang, Ikeya Kaoru dan Seki Tsutomu, menemukan komet baru yang kemudian dinamakan Comet Ikeya-Seki.

Akan tetapi, masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, lebih mengenal fenomena tersebut sebagai lintang kemukus. Bila muncul di langit, mitosnya akan terjadi pagebluk atau bencana.

Dosen Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Wisma Nugraha Christianto, kepada Detik.com menjelaskan, kepercayaan tersebut sudah diwariskan turun-temurun. Meskipun, lintang kemukus merupakan fenomena alam yang terjadi saat komet lewat dan pecahannya masuk ke atmosfer Bumi, lalu menyala.

Warna yang muncul itulah, jelas Wisma, oleh orang Jawa ditafsirkan sebagai lintang kemukus. Merujuk ilmu titen, jika warnanya biru, maka pertanda baik. Bila yang muncul kemerahan, dipandang negatif dan diinterpretasikan akan terjadi wabah penyakit atau huru-hara.

Peristiwa 1965 pun tidak lepas dari mitos tersebut. Wisma mengatakan, sebelum Gerakan 1 Oktober 1965, lintang kemukus kerap bermunculan. Apa yang disampaikan Wisma, bisa jadi satu di antaranya adalah komet yang ditemukan Ikeya Kaoru dan Seki Tsutomu.

Lintang kemukus terang sebuah mitos. Akan tetapi, pembantaian, penangkapan, pembuian, dan pembuangan ribuan atau bahkan jutaan orang setelah Gerakan 1 Oktober 1965 adalah fakta. 

Usai meletusnya operasi itu, kelas buruh yang banyak berhaluan kiri turut dibabat. Istana Buruh yang diimpikan tinggal jadi debu dalam kenangan. Meski demikian, tetap ada yang tersisa dari Mayday 1965, setidaknya puisi karya seseorang berinisial R.S yang dimuat Harian Rakjat, 4 Mei 1965:

Kemenangan Kaum Buruh

Kusambut gembira

Kukibarkan bendera

Merah megah

Kunjanjikan lagu

Kutepuk tangan seru

Bagimu

Bagi kemenanganmu

Kemenanganmu, bapak

Kemenanganmu, ibu

Kemenanganku pula

Kemenangan Buruh

Indah!

Kemenangan berdjuang

Lenjapkan bentuk penindasan

Kusambut gembira

Kukibarkan bendera

Merah Megah.

Sumber:

Arsip

  • “Berkas Mengenai Keputusan tentang Deklarasi ‘Indonesia Keluar dari PBB’” (Arsip Sekretariat Menteri Koordinator Kompartimen Perhubungan dengan Rakyat 1963-1966 No. 1856, Arsip Nasional Republik Indonesia).
  • “D.N. SOBSI: Laporan Sidang Pleno Ke III CC PKI Tahun 1964 tentang Situasi Ekonomi yang Parah Akibat Penyelewengan Peraturan 26 Mei” (Arsip Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia 1950-1965 No. 266, Arsip Nasional Republik Indonesia).
  • “Keputusan RI Ke PBB Kepada Menteri Luar Negeri: Kawat, 24 Desember 1964-65 tentang Reaksi-Reaksi atas Keputusan Indonesia Menarik Diri dari PBB” (Arsip Lambertus Nicodemus Palar 1928-1981 No. 232, Arsip Nasional Republik Indonesia).
  • “Menko Hubra: Keterangan Pemerintah tentang Soal-Soal Pelaksanaan Dekon Tanggal 5 Juni 1963” (Arsip Dr. H. Ruslan Abdulgani 1950-1076 No. 1463, Arsip Nasional Republik Indonesia).
  • “Surat dari Sekretaris DPA Mengenai Reaksi Pers, Partai Politik, dan Organisasi Massa Mengenai Deklarasi Ekonomi” (Arsip Sekretariat Menteri Koordinator Kompartimen Perhubungan dengan Rakyat 1963-1966 No. 1742, Arsip Nasional Republik Indonesia).
  • “Surat dari Waperdam III Kepada Para Menteri Mengenai Instruksi Presiden Terkait Perusahaan dan Perkebunan Milik Inggris yang Telah Diambil Alih” (Arsip Sekretariat Menteri Koordinator Kompartimen Perhubungan dengan Rakyat 1963-1966 No. 1749, Arsip Nasional Republik Indonesia).

Surat Kabar

  • Bintang Timur, “Sudah Tiba Waktunja Ganjang Imperialisme AS!”, 8 Agustus 1964, halaman I.
  • Duta Masjarakat, “Istana Buruh akan Didirikan di Djakarta”, 30 April 1965, halaman I.
  • Duta Masjarakat, “Presiden Saksikan Pawai 1 Mei: Diikuti 40.000 Kaum Buruh Anggota Vaksentral Nasakom dan SB2 Non-Vaksentral”, 5 Mei 1965, halaman II.
  • Duta Masjarakat, “Resolusi Rapat Raksasa 1 Mei”, 4 Mei 1965, halaman II.
  • Harian Rakjat, “Atjara2 Perajaan 1 Mei”, 30 April 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Buruh Listrik Djakarta Memboikot AS”, 19 Maret 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Editorial: UU & Istana Buruh”, 4 Mei 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Film AS Disergap Pemuda Tuban”, 27 Februari 1965, halaman II.
  • Harian Rakjat, “Foto HR”, 17 Maret 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Foto HR”, 20 Maret 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Foto HR”, 26 Maret 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Foto HR”, 5 Mei 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Kemenangan Kaum Buruh”, 4 Mei 1965, halaman III.
  • Harian Rakjat, “Keputusan Presiden: Semua Perusahaan WN ‘Malaysia’ atau Berdomisili di ‘Malaysia’ Dikuasai Pemerintah”, 29 November 1963, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Menteri Perburuhan Sutomo: Kaum Buruh Harus Merupakan Kekuatan jang Menondjol dalam Melawan Imperialisme”, 30 April 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Pawai ‘Berdikari’ jg Megah”, 4 Mei 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Pd: Presiden Dr. J. Leimena: Aksi Boikot Film AS Berkelandjutan Wadjar dari Pelaksanaan Dwikora”, 18 Juni 1964, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Pernjataan Partai2 dan Ormas2 Sawahlunto: Nasionalisasi Modal AS di Indonesia!”, 14 Januari 1965, halaman II.
  • Harian Rakjat, “Resepsi 1 Mei Staf dan Keluarga Sekretariat CC PKI”, 5 Mei 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Seluruh Perusahaan AS di Sumut Diambilalih”, 18 Februari 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Semua Perusahaan Minjak Asing Dikuasai Pemerintah”, 20 Maret 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Seniman dan Pekerdja Film Mengambilalih Gedung AMPAI dan Rank”, 17 Maret 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Stanvac Sungai Gerong Diambilalih Kaum Buruh Anggota KB Marhaenis, Sarbumusi, dan Perbum”, 19 Maret 1965, halaman I.
  • Harian Rakjat, “Sumut Siap Ambilalih Perkebunan AS & Belgia”, 2 Februari 1965, halaman II.

Buku

  • Geoffrey B. Robinson, Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966, terjemahan Gatot Triwara (Depok: Komunitas Bambu, 2018), halaman 120.
  • Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, terjemahan Th. Sumarthana (Jakarta: Sinar Harapan, 1999), halaman 58.
  • Kapitsa M.S dan Maletin N.P, Soekarno Biografi Politik, terjemahan B. Soegiharto (Bandung: Ultimus, 2017), halaman 225.
  • Max Lane, Unfinished Nation Ingatan Revolusi, Aksi Massa, dan Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Djaman Baroe, 2014), halaman 72-74.
  • Tribuana Said dan D. S. Moeljanto, Perlawanan Pers Indonesia (BPS) Terhadap Gerakan PKI (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), halaman 26.
Editor: Hastomo Dwi Putra

ARTIKEL LAINNYA

Gerakan PRD di Nganjuk Setelah Peristiwa Kudatuli 1996
Pergerakan Sekerdja
Kaoem Modal Menangis Lantaran Crisis, Kaoem Boeroeh Ta’ Maoe Mengemis dan Teroes Berbaris!
Cheran dan Dentang Lonceng Perlawanan Perempuan

Temukan Artikel Anda!