Nyeri Sesak Dada Menur

Nyeri Sesak Dada Menur

Hantu itu bernama aparat represif negara (Diakronik/Langit)

Kendaraan roda empat berukuran lebih panjang membelah aspal basah yang tersiram hujan semalaman. Di kursi depan, pandangan Menur mampu menjangkau segala arah. Keramaian jalan lingkar hanya mewakili sedikit dari isi kepalanya yang jauh lebih semarak. 

Dia masih mengabaikan pesan dari seorang kawan yang mengajak merayakan tahun baru di rumahnya. Pun tahun baru bagi Menur sudah bagai huma, kering kerontang. Setiap kembang api tampak seperti pisau-pisau menyala yang dilucutkan tepat ke hati Menur. Perihnya berarak ke sekujur tubuh. 

Sedang orang-orang di kursi belakang makin kasak-kusuk membicarakan malam pergantian tahun nanti, dada Menur makin terimpit. Sebuah keadaan yang memaksa kepalanya memutar kembali peristiwa dua puluh tahun silam.

Ketakutan dan kebingungan malam itu ternyata lebih pekat daripada kembang api yang meletus tumpang tindih. Menur kecil, saat itu belum paham banyak soal urusan orang dewasa. Yang lekat diingatannya hanya ucapan sang ibu, Humairoh, di balik dekapan yang terasa sungkan dilepas, “Yang sabar, ya, Nduk. Yang sabar.” 

Kalimat ibunya tak bisa Menur pahami seketika itu juga. Pernyataan seperti perintah tersebut bebas masuk ke kepala begitu saja. Menur tidak paham bagaimana sabar yang diharapkan Humairoh. 

Pengertian sabar bagi Menur kala itu, hanya soal menunggu giliran melempar kereweng saat bermain engklek dengan teman sebaya. Menur akhirnya hanya mengganyang malam dengan gagu.

Satu jam sebelum kejadian, Menur sudah menyatu dengan kasur yang tak terlalu tebal dan tanpa dipan di ruang tengah rumahnya. Sesekali nyamuk yang berterbangan berusaha mendaulat tubuh gempalnya. Asap dari obat nyamuk tampak kelelahan mengejar sasarannya. Beruntung tangan Humairoh lebih cekatan mengibas mereka. 

Suara televisi dibiarkan paling rendah. Khawatir Menur terganggu. Di dalam kotak elektronik tersebut memutar konser dengan susunan band yang mengantre untuk tampil. 

Manusia yang berkumpul dalam layar terlihat seperti bintang di langit hitam; titik-titik menggerombol dan menyala sesekali karena pantulan cahaya. Manusia sebanyak itu berada ratusan kilometer dari desa Menur, Mororejo. Walau begitu, dua tempat tersebut sama-sama menantikan jam 12 malam.

Mororejo bukanlah desa yang luas nan ramai. Namun, masyarakatnya bersahaja, saling mengenal sampai keturunan-keturunan ke belakang. Tak heran jika ada satu berita, cepat saja menyebar terbawa angin bersama putik kembang sepatu. 

Lepas isya, Mororejo sudah mengantuk. Perlahan senyap. Pintu-pintu rumah sebagian sudah tertutup. Puncaknya pada jam sembilan malam, semua pintu sudung telah terkunci. Lampu-lampu di dalam rumah sudah tak gempita, berkurang cahayanya. Orang-orang sibuk menekuni nasib di dalam cungkup mereka masing- masing. Kalong dan teteguk mulai menyongsong penghidupan.

Tapi malam yang tengah berlangsung tak seperti biasanya. Malam itu adalah malam tahun baru. Mororejo pun melekan, turut bersorak sebagaimana umumnya. Namun, Menur tak biasa terjaga hingga larut malam. Jadi, tiada yang berubah dari jam tidurnya nan tetap pada malam yang masih remaja. 

Sayangnya, telinga Menur menangkap banyak mulut saling sahut di luar rumah. Ludah mereka gemercik berusaha memelankan suara, padahal nihil hasilnya. Menur mulai terjaga, meraba-raba tubuh di sebelahnya. Humairoh absen di sana. Dia mulai memanggil-manggil ibunya dan masih belum tahu apa yang terjadi.

“Buk, ibuk…”

Humairoh datang sempoyongan. Suara tarikan napasnya berat tertahan. Jelas memang ada yang ditahan. Menur masih melanjutkan panggilannya dengan lemah.

Suttt… Iya, ibuk di sini. Tidur lagi, suttt…” pelan Humairoh menenangkan Menur. Menaruh badan bergabung di sebelahnya. Mengelus rambut Menur yang ikal menjuntai sembarangan. 

Menur kini mendongak ke atas, mencari motor yang biasa terparkir tepat di depan pintu bagian dalam, di atas kasur yang ditidurinya. Namun, dia tak melihat motor bercokol di sana, lantas Menur bertanya pada Humairoh.

“Bapak mana, Buk?” pertanyaan itu polos saja.

Suttt… Tidur lagi, bapak belum pulang. Sebentar lagi pulang,” ujarnya dengan suara sumbang, masih ada yang tertahan di kerongkongannya. 

Humairoh sedang berbohong. Bapaknya tak akan pulang sebentar lagi. Dia tahu betul sebuah masalah baru saja terjadi. Humairoh menarik napas dalam-dalam, embusannya memuat kemarahan yang merah, serta gelisah yang basah. Matanya memanas.

Humairoh mencoba konsentrasi lagi pada Menur. Tangan kirinya menyangga kepala yang terasa memberat. Tangan kanannya menepuk-nepuk halus paha Menur. Sesuatu yang menimbulkan rasa aman, sekaligus pertanda untuk Menur jika ia masih berada di sisinya. 

Anak kecil akan segera pulas lagi bila sudah begitu. Tepukan tangan Humairoh melemah seiring orang yang berkumpul di depan rumahnya berlipat. Kini, mata itu tak lagi mampu menahan panas. Pupilnya adalah kompor yang apinya lantang menyala. Air mata Humairoh akhirnya mendidih. Meletup keluar bersama kembang api pertama yang menandakan pergantian tahun.

Menur terhenyak dalam baringnya. Geliat anak itu membuat Humairoh buru-buru menepis air yang merayap di pipinya. Berkedip-kedip cepat takut ketahuan. Menur kembali mendongak, tapi belum jua tampak motor yang dia cari.

“Bapak masih belum pulang, Buk?”

“Yang sabar, ya, Nduk. Yang sabar, ya…” kali ini dada Humairoh tak kuasa lagi menahan gejolaknya. Dia mulai menangis lagi. Hatinya pepat melihat Menur mencari dan menanyakan bapaknya terus-menerus. 

Menur mengeriap, tak tahu kenapa ibunya menangis begitu terus terang. Air mata Humairoh besar-besar, sehingga pantulan Menur yang mengubah arah tidurnya menghadap tembok bisa terlihat. Menur mulai mencerna, ada sesuatu yang terjadi. Dan itu melibatkan bapaknya. Menur menangis lewat sekali kedipan.

Sebenarnya, nasib Wanto malam itu hanya apes. Hampir saban malam dia keluar menemui kawan-kawannya di desa seberang. Ada sebuah warung yang pada malam hari memberi tempat untuk para lelaki duduk bersila menekuni kartu-kartu. 

Tempat yang dimaksud sekotak saja seperti pos ronda, sedikit tersembunyi, tapi tidak jauh di belakang warung. Tak pula terlalu tampak jika dilihat dari depan. Bila orang berjalan sekali lalu, yang terlihat hanya sebuah warung dari triplek dengan satu lampu kuning kecil menyorot malas di pojokan. Cicak di sana sama malasnya menunggu laron yang berputar-putar mengelilingi cahaya.

Teratak yang hanya sekotak itu dikelilingi kebun lebat. Sepanjang mata memandang hanya gelap yang tertangkap. Kerikan binatang-binatang malam jadi suara latar. Penerangan tempatnya sederhana; lampu putih 5 watt. Akan tetapi, di atas tikar yang lengket dengan lantai semen dingin itu tak pernah sepi barang-barang.

Kaki-kaki hitam dan berbulu bersila di antara kulit-kulit kacang dan kuaci yang tersebar rata. Botol-botol ciu berada pada jangkauan masing-masing orang. Bungkus rokok berbagai merek tergeletak berhadap-hadapan. 

Wanto menggayuh salah satu bungkus rokok yang paling dekat, membuka dan mengambil satu batang. Matanya mencari-cari sebuah korek yang seharusnya memang ada.

Setelah batang rokok menyala, mata Wanto kembali pada lima kartu yang berada di genggamannya. Dahinya mengernyit pertanda sedang berpikir. Tangan kirinya mengarahkan rokok ke ujung bibir. Disesapnya rokok itu dalam-dalam, lalu asap diembuskan lewat mulut dan sisanya dari hidung. 

Susunan kartu dipindahkan ke tangan kirinya. Kini menjadi satu tempat dengan rokok yang dibiarkan meranggas. Sebelah tangannya yang kosong menarik satu kartu, dihempaskannya ke tengah-tengah lingkaran. Lalu, badannya didorong ke belakang, menyamankan posisi.

Giliran temannya menjawab lemparan kartu Wanto. Namun, sebelum kartu lain jatuh ke tengah-tengah gelanggang, suara sirine mobil polisi tiba-tiba sudah menguasai udara di sekitar mereka. Dua mobil patroli terparkir di depan warung, entah sejak kapan. 

Cicak yang lama diam, buru-buru menaruh badan di sudut yang sempit dan gelap lainnya. Delapan orang di gubuk belakang mengacau mencari langkah yang konstan untuk segera kabur, termasuk Wanto.

Sontak kejar-kejaran terjadi begiu saja. Tiga polisi mengejar orang-orang yang masuk ke kebun gulita itu. Dua lainnya berjaga di mobil. Semak-semak tersibak dengan paksa. Suara cicitan hewan yang mungkin terinjak-injak langkah orang-orang itu, bising menyemarakkan malam. 

Dalam hitam sepanjang mata memandang itu, tak banyak yang bisa terlihat. Polisi makin beringas mengejar, dan kini sudah menembakkan peluru peringatan. DOR! DOR! Dua pelor menembus angin. 

Wanto yang mendengarnya tambah lari belingsatan. Kakinya tak memedulikan duri tanaman rambat dan batu yang menembus kulit. Dadanya memompa darah sangat cepat. Sekali tiga uang dengan badannya yang terperosok ke jurang dangkal karena kayu besar lapuk menghadang kakinya. Wanto terguling, menerkam apa saja yang ada, dan suara “krek” berulang-ulang terdengar. Entah bersumber dari tulangnya atau ranting-ranting yang patah, muskil dibedakan.

Dalam dekapan tumbuhan sulur dan daun-daun kering, Wanto tak kuasa bangkit. Badannya terasa berat dan ada rasa perih yang luar biasa di bagian betis kirinya. Matanya setengah tertutup, sirine mobil aparat masih samar dia dengar. 

Dalam kesadaran satu-dua itu, bayangan Menur tertawa bersama handai tolannya di teras rumah memenuhi kelopak mata Wanto. Berganti-gantian dengan gambaran Humairoh yang terlihat sibuk mencuci piring di dapur, dengan wajan di atas kompor yang memangku iwak. Aroma ikan goreng menembus masa, perlahan mengantar Wanto tidur semakin dalam bersama darah dari betis kirinya yang mengucur keluar.

Saat Wanto pertama kali sadar, dia sudah berada di ruangan yang kecil dan pesing. Kepalanya masih berat dan makin pusing. Kakinya dibebat hampir separuh, nyeri sekali ketika dia coba gerakan. Wanto berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. 

Alih-alih berhasil, ingatannya justru menebal pada dua sosok manusia yang setiap hari digandrunginya: Menur dan Humairoh. Kini, hatinya penuh sesal. Kosong dan terasa sangat hampa. Betapa dia merasa bersalah.

Humairoh yang malam itu tenang menunggui Menur tidur, dikagetkan dengan seorang pria yang datang mengetuk pintu tergopoh-gopoh.

“Wanto, Yu…” ia berhenti sejenak mengatur napas yang tersengal-sengal, “Wanto dicekel polisiii!” 

“Apa maksudmu?”

“Ada grebegan di warung Mbok Urip. Orang yang judi dan mabuk-mabukan di sana tunggang-langgang. Wanto salah satunya…”

“Ngomongmu jangan ngawur!”

“Asli, Yu, di kampung saya sudah ramai. Nasib sial! Cuma Wanto yang tertangkap. Kami juga ndak mengira”

“Sekarang Wanto di mana?” 

“Polres, Yu.”

“Gustiii… bojoku!”

Percakapan tersebut membangunkan Mororejo. Tak ayal tetangga di kanan-kiri Humairoh langsung keluar rumah memastikan apa yang terjadi. Sebentar saja rumah Humairoh sudah ramai orang. Pertanyaan yang sama dilontarkan berulang-ulang: Ada apa? Apa yang terjadi? Wanto kenapa? Humairoh, anakmu mana?

Humairoh kebingungan mengambil sikap. Malam itu rumahnya seperti runtuh. Tiang yang menjadi penyanggah sudah ambruk. Materialnya terasa menindih Humairoh.

Kejadian tersebut sangat jarang terjadi di Mororejo atau desa-desa sebelahnya. Polisi tidak selera mengurusi tindak kriminal di desa kecil begitu, kalau tak karena ada orang yang mengadu dan membayarnya. 

Dendam di hati Humairoh membulat. Tega sekali orang-orang, kenapa tak dibiarkan saja mereka berjudi sampai azan subuh bersahutan seperti yang sudah-sudah? Saban hari Wanto tak pernah absen mencabik-cabik hati Humairoh dengan tingkah lakunya. Ditambah yang begini ini, Humairoh ingin mati saja. Namun, pikiran tersebut segera menguap saat mendengar Menur yang tidur di kasur tak terlalu tebal dan tanpa dipan mulai memanggilnya.

Lubang yang diterabas mobil membuat goyangan landai, sehingga berhasil membawa Menur kembali pada kenyataan di depannya; ramai dan macet kendaraan di jalan raya menuju Mororejo. Dia butuh sepuluh tahun setelah malam itu untuk bisa melengkapi puzzle di kepalanya. 

Menur dewasa tidak suka menanyakan kejadian tempo dulu. Humairoh selalu sedih mengingat saat-saat itu. Wanto dipenjara selama satu tahun enam bulan. Setiap jumat, Humairoh menjenguk Wanto. Meninggalkan Menur yang dititipkan kepada kerabat, sebab Wanto tak mengizinkan Humairoh membawanya. 

Melihat Wanto pincang dan hanya sarapan nasi tempe rebus sudah cukup menusuk-nusuk hati Humairoh. Menur tak mau membuka luka tersebut. Sekarang, kala kembang api yang meriah dan warna-warni itu memenuhi langit, film yang berputar di mata Menur hanya suara tembakan pistol polisi. Sesuatu nan membuat Menur mengingat Humairoh, yang bahkan, tak cukup bisa membesarkan hatinya sendiri.

“Mbak Menur turun di depan gapura itu, ya?” kata sopir di samping Menur, mengisi senyap di dalam mobil.

“Benar, Pak.”

Editor: Akbar Ridwan

Kata Kunci:

ARTIKEL LAINNYA

Sowo, Si Hitam dan Kekerasan di Tempat Kerja
Karangan adalah Kejujuran yang Kelewat Jernih
Tidak Semua Pendongeng Harus Kau Percayai
Sepeda Politik

Temukan Artikel Anda!