Dalam sidang lanjutan perkara dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan oleh Fiber Cement Manufacturer Association (FICMA), para pihak tergugat menghadirkan seorang pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Haris Azhar sebagai saksi ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/9/2025).
Salah satu pihak tergugat, Leo Yoga Pranata, mengungkapkan pentingnya menghadirkan Haris Azhar selaku saksi ahli untuk memberikan penjelasan mengenai hak asasi manusia, guna memberikan penjelasan mengenai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) atau gugatan strategis yang melawan partisipasi publik dalam perkara yang sedang ia tempuh.
“Haris Azhar penting dihadirkan karena perlu menjelaskan SLAPP, gugatan strategis melawan partisipasi publik, yang bukan hanya (terjadi) dalam kasus lingkungan hidup, melainkan juga bisa terjadi di berbagai kasus lainnya,’’ ucap Leo.
Dalam keterangannya di persidangan, saksi ahli Haris Azhar mengemukakan bahwa praktik SLAPP merupakan upaya litigasi melalui jalur pengadilan untuk menghentikan partisipasi warga.
Lebih lanjut, Haris menyatakan adanya temuan bahwa kelompok bisnis sengaja menyerang upaya perlawanan yang dilakukan oleh warga.
“Upaya-upaya membela kepentingan warga sering dilihat sebagai ancaman oleh kelompok bisnis (yang) berkolaborasi dengan aparatur negara,” ungkap Haris.
Pendiri Lokataru Foundation itu menegaskan, praktik SLAPP menjadi seolah-olah absah karena melalui prosedur hukum.
“Tetapi sebetulnya dia menyerang kepentingan pemberdayaan yang lebih luas, yaitu soal hak asasi manusia, yang disebut sebagai public participation,” pungkasnya.
Haris menekankan, partisipasi publik merupakan hak asasi yang diakui dalam banyak perjanjian internasional dan juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
“Salah satunya dalam Pasal 25 Kovenan Hak Sipil dan Politik ayat 3 yang menyebutkan, bahwa setiap warga negara berhak berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik,” ucapnya.
Praktik SLAPP, menurutnya, juga telah menjadi perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui badan hak asasi manusia mereka, Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR).
Sebagai informasi, sebelumnya FICMA telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak 17 Juli 2024 lalu dengan nomor register 417/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst.
Dalam gugatan itu, FICMA menggugat tujuh pihak atas dugaan PMH serta menuntut ganti rugi sebesar Rp7,9 triliun.
Adapun tujuh pihak yang digugat gerbong besar industri asbes Indonesia ini yaitu:
NO. | DAFTAR NAMA TERGUGAT |
1 | Dhiccy Sandewa |
2 | Ajat Sudrajat |
3 | Leo Yoga Pranata |
4 | Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi |
5 | Indonesia Ban Asbestos Network (INA-BAN) |
6 | Yayasan Yasa Nata Budi |
7 | Menteri Perdagangan Indonesia |