Sebut Serat Asbes Tak Berbahaya, Saksi Ahli FICMA Akui Terima Sponsor Riset dari Perusahaan

Sebut Serat Asbes Tak Berbahaya, Saksi Ahli FICMA Akui Terima Sponsor Riset dari Perusahaan

FICMA
Penerjemah saksi ahli yang dihadirkan FICMA mengucapkan sumpah dalam sidang lanjutan gugatan perbuatan melawan hukum yang menjerat Ajat dkk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/9/2025)/Diakronik

Sidang lanjutan perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan Fiber Cement Manufacturers Association (FICMA) terhadap Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi digelar dengan agenda pemeriksaan saksi ahli dari pihak penggugat maupun tergugat. Dalam sidang ini, konsultan toksikologi asal Swiss yang dihadirkan FICMA, David M. Bernstein, mengakui bahwa risetnya yang menyatakan serat krisotil tidak berbahaya bagi tubuh manusia dibiayai oleh perusahaan asbes.

Awalnya, tim kuasa hukum LPKSM Yasa Nata Budi sebagai pihak tergugat mencecar pertanyaan kepada Bernstein, dari mana suntikan dana yang membiayai proses risetnya itu berasal.

“Saya seorang konsultan, saya melakukan penelitian apapun. Ada dua pihak yang membiayai ini, perusahaan krisotil dan perusahaan by product dari mineral,” jawab Bernstein saat ditanya tim kuasa hukum LPKSM Yasa Nata Budi dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin (15/9/2025).

Bernstein mengaku telah melakukan riset tentang serat asbes selama 40 sampai 50 tahun. Selama riset yang dibiayai perusahaan asbes itu, ia menyimpulkan bahwa material krisotil bukan barang yang berbahaya bagi tubuh manusia.

Dalam risetnya yang berjudul “The Health Effects of Chrysotile: Current Perspective Based Upon Recent Data” yang terbit pada 2006 silam, Bernstein mengatakan bahwa makrofag (sel darah putih dari sistem imun) di dalam paru-paru dapat memicu lingkungan asam dengan kadar pH sekitar 4,5.

Menurutnya, panjang serat krisotil tidak melebihi sel makrofag pada paru-paru manusia. Ia menyebut serat krisotil memiliki panjang sekitar 5 mikron.

“Jadi ketika kita menghirup udara, akan masuk partikel yang ukurannya 10 mikron. Sedangkan ukuran makrofag dalam paru-paru kita adalah 10-20 mikron,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata dia, krisotil tidak berbahaya karena serat tersebut akan mudah larut terkena zat asam di dalam paru-paru manusia.

Setelah Bernstein menjelaskan temuan risetnya itu, tim kuasa hukum tergugat kembali mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.

“Krisotil aman tetapi kenapa 70 negara melarang itu? Ahli (Bernstein) berasal dari negara mana?” ujar tim kuasa hukum tergugat.

Bernstein tak banyak bicara soal pertanyaan tersebut. Ia menjawab, keputusan 70 negara itu merupakan hal politis yang bukan dalam koridornya.

“Itu adalah keputusan politis, saya hanya melaporkan dari sisi keilmuan,” ujarnya.

Tim kuasa hukum tergugat terus mencecar Bernstein. Saat ditanyai apakah Swiss, negara asalnya, juga melarang peredaran krisotil, Bernstein menjawab “Iya”. 

Jawaban itu mengundang gelak tawa peserta di ruang persidangan. Kemudian, tim kuasa hukum tergugat lanjut kembali menanyai Bernstein.

“Mengapa World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan krisotil sebagai barang karsinogenik (zat pemicu pertumbuhan sel kanker)?”

Bernstein menjawab, pertanyaan itu berada di luar wewenangnya sebagai seorang ilmuwan toksikologi.

“Saya tidak bisa menjawab karena saya tidak terlibat dalam keputusan (WHO) itu. Yang saya paparkan di sini hanya dari hasil studi saya saja,” ujarnya.

Dalam persidangan ini, majelis hakim juga sempat bertanya kepada Bernstein mengenai metodologi penelitiannya terhadap krisotil.

“Ada gak (sampel bahan uji coba) penelitian Anda pakai produk dari Indonesia?”

Bernstein mengatakan, “Belum pernah”. Ia melanjutnya, sampel bahan krisotil yang selama ini ia gunakan bermerek Calidria, milik Union Carbide Corporation asal King City, California. 


Menang di MA, Berujung Jerat Perdata

Gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan FICMA terhadap LPKSM Yasa Nata Budi ini bermula ketika tiga aktivis K3, yaitu Ajat Sudrajat, Leo Yoga Prananata, dan Dhiccy Sandewa, memenangkan gugatan uji materiil di Mahkamah Agung (MA) pada Maret 2024 lalu. Mereka menggugat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendag) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia lampiran huruf B angka 5. 

Para penggugat menginginkan agar lampiran itu juga dapat melengkapi aturannya dengan menambahkan label simbol berbahaya serta cara penggunaannya pada barang yang mengandung asbes putih atau krisotil yang beredar di masyarakat.

Selain itu, para penggugat menyebutkan berbagai penyakit berbahaya yang dapat ditimbulkan paparan material asbestos, seperti mesothelioma, kanker paru, asbestosis, plak pleura, dan penebalan pleura.

Kemudian pada 19 Maret 2024, MA mengabulkan gugatan uji materiil tersebut. Namun, empat bulan setelah putusan MA tersebut, FICMA lewat Victory Law Firm menggugat tujuh pihak secara perdata atas dugaan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada 17 Juli 2024.

Dalam gugatan yang teregister dengan nomor 417/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst itu, FICMA menggugat tujuh pihak dan menuntut ganti rugi sebesar Rp7,9 triliun. Tujuh pihak yang digugat itu di antaranya Dhiccy Sandewa, Ajat Sudrajat, Leo Yoga Pranata, LPKSM Yasa Nata Budi, Indonesia Ban Asbestos Network (INA-BAN), Yayasan Yasa Nata Budi, dan Menteri Perdagangan Indonesia

Beberapa hal pokok dalam gugatan tersebut menerangkan bahwa pihak tergugat, yang sebelumnya telah melakukan gugatan uji materiil ke MA, tidak mematuhi berbagai asas hukum yang berlaku serta memberikan pendiskreditan kepada material asbes putih atau krisotil sebagai barang berbahaya.

Selain itu, menurut FICMA, asbes putih tidak termasuk ke dalam barang berbahaya jika merujuk pada Konvensi Rotterdam yang telah diratifikasi Indonesia lewat UU Nomor 13 Tahun 2013.

Namun, jika merujuk pada laporan World Health Organization (WHO) pada 27 September 2024, ditegaskan bahwa semua jenis asbestos, termasuk asbes putih atau krisotil, merupakan bahan karsinogenik atau penyebab kanker. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia itu, lebih dari 200 ribu buruh yang meninggal dunia setiap tahunnya akibat terpapar serat debu asbestos.

“Asbes adalah sekelompok serat mineral yang memiliki penggunaan komersial yang luas, baik saat ini maupun di masa lalu, namun dapat menyebabkan kematian dan gangguan kesehatan serius pada pekerja dan orang lain yang terpapar serat ini (lebih dari 200.000 kematian di seluruh dunia setiap tahunnya, disertai dengan beban kesehatan yang besar),” tulis WHO dalam laman resminya, who.int, dikutip Rabu (17/9/2025).

Kawan Redaksi

Editor: Hastomo Dwi Putra

ARTIKEL LAINNYA

Share

Temukan Artikel Anda!