Sejumlah buruh PT San Xiong Steel Indonesia yang tergabung dalam Serikat Buruh San Xiong (SBSX) mendirikan tenda perjuangan di depan pabrik tempatnya bekerja di Jalan Lintas Sumatera, Kecamatan Katibung, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung.
Aksi tersebut merupakan bentuk protes terhadap pihak manajemen PT San Xiong Steel Indonesia, di bawah kuasa Finny Fong, yang menutup pabrik dan tidak membayarkan upah buruh yang jatuh tempo pada April 2025.
“Kami sudah mendirikan tenda juang di depan gerbang PT San Xiong Steel Indonesia sejak tanggal 27 Mei 2025,” kata Ketua SBSX, Hadi Solihin, saat dihubungi Diakronik melalui pesan elektronik, Jumat, 30 Mei 2025.
Dalam aksi tersebut, para buruh menuntut perusahaan untuk memberikan kejelasan terkait status kerja mereka yang dirumahkan imbas dari penutupan pabrik. Selain itu, mereka menuntut upah dan jaminan sosial yang tidak dibayarkan perusahaan.
“Kami juga menuntut perusahaan membayarkan upah bulan April 2025 yang seharusnya dibayarkan paling lambat tanggal tujuh setiap bulannya,” ucap Hadi, “Serta membayarkan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan yang sudah tidak aktif karena belum dibayarkan oleh perusahaan.”
Buruh Korban Dualisme Manajemen
Berdasarkan rilis pers Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia – Konfederasi Serikat Nasional (FPSBI-KSN), permasalahan bermula karena konflik internal yang terjadi di dalam manajemen PT San Xiong Steel Indonesia.
Pada 27 Maret 2025, ada dualisme manajemen yang melibatkan pihak Chen Ji Hong alias Akuang, dengan pihak Finny Fong. Kedua pihak tersebut berselisih terkait kepemilikan PT San Xiong Steel Indonesia.
Seperti dikutip Daswati.id, pihak Finny Fong mengklaim kepemilikan resmi PT San Xiong Steel Indonesia berdasarkan Akta Nomor 11 tanggal 26 September 2024.
Finny Fong melalui kuasa hukumnya, Aristoteles Siahaan, menjelaskan akta tersebut merupakan pembaruan dari Akta Nomor 4 bertanggal 18 Maret 2024, yang menyebut Finny Fong menggantikan posisi Chen Ji Hong sebagai direktur karena telah menjual sahamnya kepada Finny Fong.
Dalam keterangan yang dikutip Tribun Lampung, mereka juga mengaku telah mengambil alih perusahaan dari pihak Chen Ji Hong alias Akuang melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Meski demikian, Hadi mengaku para buruh tak mengetahui secara detail konflik yang terjadi antara Chen Ji Hong dan Finny Fong itu. Mereka mengatakan tidak memihak kepada salah satu dari dua manajemen yang sedang berselisih itu.
Namun, menurut Hadi, konflik manajemen turut berdampak kepada buruh. Pasalnya, pengambilalihan manajemen oleh pihak Finny Fong dari Chen Ji Hong juga disertai dengan penutupan pabrik secara sepihak.
“Akhirnya ada sekitar 335 buruh yang terdampak dari konflik internal manajemen tersebut,” ungkapnya.
Ia mengatakan, tak pernah ada sosialisasi dan penetapan yang jelas dari pihak manajemen Finny Fong, yang mengklaim sebagai manajemen baru, sebelum melakukan penutupan pabrik. Para buruh kemudian dirumahkan sejak pabrik ditutup.
“Dengan menutup perusahaan dan merumahkan buruhnya yang dilakukan oleh pihak PT San Xiong Steel Indonesia, menjadi pertanyaan besar soal kejelasan produksi kembali, serta juga tidak ada kejelasan bagi buruh dan keluarganya,” terangnya.
Hadi sangat menyayangkan hal itu terjadi. Sebab, menurutnya, selama ini para buruh telah berkontribusi dalam menopang PT San Xiong Steel Indonesia menjadi perusahaan besar.
“Seharusnya konflik antar manajemen tersebut tidaklah mengorbankan buruhnya, karena para buruh adalah karyawan perusahaan,” ucapnya. “Jadi, siapa pun nanti yang menjadi pemilik sah PT San Xiong Steel Indonesia, maka dialah yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang terjadi.”
Upah dan Jaminan Sosial Tak Kunjung Dibayar
Perihal upah Maret yang seharusnya jatuh tempo pada 7 April 2025, Hadi mengatakan hingga kini belum ada titik terang.
Ia menceritakan, sebelumnya para buruh juga pernah melakukan aksi demonstrasi dan audiensi di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Lampung Selatan dan Kantor Bupati Lampung Selatan pada Jumat (25/4/2025) dan Senin (19/5/2025).
Namun, kata Ketua SBSX itu, usaha yang dilakukan belum membuahkan hasil. Padahal, kata Hadi, dalam audiensi bersama Disnakertrans Lampung Selatan, disebutkan upah buruh yang belum dibayar jadi tanggung jawab manajemen baru di bawah pimpinan Finny Pong.
“Itu padahal ada notulanya. Disebutkan itu jadi tanggung jawab manajemen baru karena mereka yang punya wewenang atas perusahaan,” ungkap Hadi. “Tapi, kenyataannya itu tidak berjalan. Alasannya karena rekening perusahaan katanya telah diblokir,” lanjutnya.
Hadi juga mengungkapkan, BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan yang dimiliki buruh telah dinonaktifkan sejak 2 Mei 2025. Hal ini lantaran jaminan sosial mereka tak pernah dibayarkan perusahaan.
“Jadi, BPJS Ketenagakerjaan kami sudah tiga bulan tidak dibayarkan, sedangkan BPJS Kesehatan sudah empat bulan. Padahal, gaji kami dipotong, tapi ternyata BPJS kami tidak dibayarkan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Hadi mengatakan, SBSX akan terus melakukan aksi di depan pabrik sampai perusahaan memenuhi hak-hak para buruh. “Karena bukan buruhnya yang mogok kerja, tapi perusahaannya yang mogok beroperasi,” pungkasnya.