Sudah Ada Putusan MA, Haris Azhar Sebut Kedudukan Hukum Gugatan FICMA Rancu

Sudah Ada Putusan MA, Haris Azhar Sebut Kedudukan Hukum Gugatan FICMA Rancu

Haris Azhar
Haris Azhar saat menjalani pemeriksaan sebagai saksi ahli dari pihak LPKSM Yasa Nata Budi dalam sidang gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan FICMA, di PN Jakpus, Senin (15/9/2025)/Diakronik

Advokat Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar menilai gugatan Fiber Cement Manufacturers Association (FICMA) terhadap Lembaga Pelindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi memiliki kedudukan hukum yang rancu. Menurutnya, jika seseorang atau kelompok telah memenangkan gugatan uji materiil atau judicial review di tingkat Mahkamah Agung (MA), maka masalah itu sudah selesai dan tidak ada gugatan balik.

Hal itu disampaikan Haris Azhar saat dihadirkan sebagai saksi ahli dari pihak LPKSM Yasa Nata Budi dalam sidang lanjutan gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan FICMA. Sidang yang digelar pada Senin (15/9/2025) itu memasuki agenda pemeriksaan saksi ahli dari pihak penggugat maupun tergugat.

“Kalau misal ada warga atau kelompok mengajukan judicial review lalu sudah dikabulkan, ya (kasusnya) sudah selesai,” ujar Haris Azhar dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tersebut. 

Adapun gugatan uji materiil yang dimaksud Haris Azhar yaitu gugatan atas Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2021 yang dimenangkan LPKSM Yasa Nata Budi di tingkat MA pada Maret 2024 lalu. Melalui putusan ini, produk yang mengandung asbes putih atau krisotil disetujui untuk diberi label B3 sebagai material yang berbahaya.

Menurut Haris Azhar, pihak yang merasa keberatan dengan putusan MA seharusnya melapor ke Badan Pengawas (Bawas) MA, bukan malah menggugat balik seseorang atau kelompok yang berhasil memenangkan gugatan uji materiil.

“Kalau ada yang tidak puas, ya pasti saja. Kalau begitu dilaporkan saja ke badan pengawas. Misal dicurigai hakim melakukan tindak kejahatan dalam membuat putusan,” kata Haris Azhar.

Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera itu pun menekankan soal dampak yang muncul jika majelis hakim PN Jakpus mengabulkan gugatan FICMA tersebut. Selain mengancam hak konstitusi masyarakat, Haris Azhar menilai kemenangan FICMA juga mengancam kesehatan masyarakat akibat bahaya serat asbes.

“Loh kita jadi terancam dong dengan asbes-asbes yang berbahaya itu,” ucapnya.

Saat ditemui seusai sidang, Haris merasa heran dengan gugatan perbuatan melawan hukum yang dilayangkan FICMA. Pasalnya, gugatan ini tetap tidak bisa mengubah putusan MA yang telah mengabulkan gugatan uji materiil LPKSM Yasa Nata Budi.

“Kalo si penggugat (FICMA) menang, aneh. Anehnya begini, terus keputusan MA soal judicial review mau diapain? Bisa menggunakan keputusan (dari gugatan ini) untuk menghidupkan (kembali) regulasi tersebut? Nggak bisa,” kata Haris Azhar.


Simalakama Putusan MA untuk Label Bahaya Asbes

Gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan FICMA ini bermula ketika LPKSM Yasa Nata Budi memenangkan gugatan uji materiil di MA pada Maret 2024 lalu. Mereka menggugat Permendag Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia lampiran huruf B angka 5. 

Para penggugat menginginkan agar lampiran itu juga dapat melengkapi aturannya dengan menambahkan label berbahaya serta cara penggunaannya pada barang yang mengandung asbes putih atau krisotil yang beredar di masyarakat. Sebab, penggugat menilai paparan material asbes dapat menimbulkan berbagai penyakit berbahaya, seperti mesothelioma, kanker paru, asbestosis, plak pleura, dan penebalan pleura.

MA pun mengabulkan gugatan uji materiil tersebut pada 19 Maret 2024. Namun, empat bulan setelahnya, FICMA menggugat LPKSM Yasa Nata Budi dan enam pihak lainnya secara perdata atas dugaan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada 17 Juli 2024 yang teregister dengan nomor 417/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst.

Haris Azhar
LPKSM Yasa Nata Budi melakukan kampanye bahaya asbes usai mendaftarkan permohonan gugatan uji materiil ke MA atas Permendag Nomor 25 Tahun 2021 lampiran huruf B angka 5, di depan Gedung MA, Jakarta Pusat, 29 Desember 2025/Dok. LION Indonesia

FICMA menggugat tujuh pihak dan menuntut ganti rugi sebesar Rp7,9 triliun. Tujuh pihak yang digugat itu di antaranya Dhiccy Sandewa, Ajat Sudrajat, Leo Yoga Pranata, LPKSM Yasa Nata Budi, Indonesia Ban Asbestos Network (INA-BAN), Yayasan Yasa Nata Budi, dan Menteri Perdagangan Indonesia.

Dalam petitumnya, FICMA menilai para tergugat tidak mematuhi berbagai asas hukum yang berlaku serta memberikan pendiskreditan pada material asbes putih atau krisotil sebagai barang berbahaya. Sebab, menurut FICMA, asbes putih tidak termasuk ke dalam barang berbahaya jika merujuk pada Konvensi Rotterdam yang telah diratifikasi Indonesia lewat UU Nomor 13 Tahun 2013.

Namun, jika merujuk pada laporan World Health Organization (WHO) pada 27 September 2024, ditegaskan bahwa semua jenis asbestos, termasuk asbes putih atau krisotil, merupakan bahan karsinogenik atau penyebab kanker. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia itu, lebih dari 200 ribu buruh yang meninggal dunia setiap tahunnya akibat terpapar serat debu asbestos.

“Asbes adalah sekelompok serat mineral yang memiliki penggunaan komersial yang luas, baik saat ini maupun di masa lalu, namun dapat menyebabkan kematian dan gangguan kesehatan serius pada pekerja dan orang lain yang terpapar serat ini (lebih dari 200.000 kematian di seluruh dunia setiap tahunnya, disertai dengan beban kesehatan yang besar),” tulis WHO dalam laman resminya, who.int, dikutip Minggu (21/9/2025).

Kawan Redaksi

Editor: Hastomo Dwi Putra

ARTIKEL LAINNYA

Share

Temukan Artikel Anda!