Luka Menganga 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan: Tangis Keluarga Korban untuk Komnas HAM

Luka Menganga 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan: Tangis Keluarga Korban untuk Komnas HAM

3 Tahun Tragedi Kanjuruhan
Sejumlah keluarga korban memanjatkan doa untuk 135 korban tewas dalam rangka memperingati 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan di depan Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (1/10/2025)/Diakronik

Tangis itu pecah ketika Lutfiati meluapkan kemarahannya dalam Aksi Peringatan 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan di depan Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).


Perjalanan 16 jam dari Malang ke Jakarta bukanlah waktu yang lama bagi enam keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Namun, waktu tempuh itu tidak pernah sebanding dengan tiga tahun keadilan yang tak kunjung datang sejak peristiwa berdarah pada malam 1 Oktober 2022 silam. 

Tiga tahun lalu, tragedi pembunuhan massal terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur terjadi. Sebanyak 135 orang tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka akibat gas air mata yang ditembakan oleh aparat kepolisian.

Peristiwa terkelam dalam sejarah sepak bola Indonesia itu menyisakan ketidakadilan bagi para keluarga korban.

Tangis Lutfiati pecah kala meluapkan kemarahannya saat Aksi Peringatan 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan di depan Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).

Poster peringatan 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan terpampang di depan Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025)/Diakronik

Lelah menempuh perjalanan selama 16 jam dari Malang, Jawa Timur, tak membuat semangat Lutfiati redup. Ia mendesak Komnas HAM segera melakukan penyelidikan pro yustisia untuk mengusut tuntas kasus yang menewaskan suami dan dua orang anaknya pada 1 Oktober 2022 silam.

Dalam peristiwa berdarah itu, suami Lutfiati, Muchamad Arifin (45), dan anak laki-lakinya, Mochammad Rifky Aditya (13), menjadi korban yang tewas. Menyusul kematian dua orang kesayangannya itu, Lutfiati kembali kehilangan anaknya, Cahaya Meida Salsabila (12), adik dari Rifky, yang meninggal dunia akibat trauma usai ditinggalkan ayah dan kakaknya.

Bersama massa aksi yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan (JSKK), Lutfiati menyuarakan kemarahannya dengan lantang.

“Suami dan anak saya melihat sepak bola itu membawa harapan. Tapi mereka, yang biadab-biadab itu, membunuh anak saya, suami saya. Apa mereka tidak punya hati?” ucap Lutfiati sambil menunjuk barisan polisi di depan gerbang Komnas HAM.

“Apa mereka itu binatang? Mereka bukan membunuh, tapi membantai, membantai 135 nyawa lebih,” imbuhnya.

Sambil menangis tersedu, Lutfiati menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintah Indonesia. Ia menilai penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan semestinya.

Salah satu keluarga korban, Lutfiati, tak kuasa menahan tangis saat berorasi dalam Aksi Peringatan 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan di depan Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025)/Diakronik

“Saya gak dendam, memang itu sudah takdir dari Allah. Tapi saya tidak terima, saya tidak ikhlas dengan cara kematiannya (suami dan anaknya) yang telah dibantai,” tegas Lutfiati dengan nada marah.

Seraya menggenggam mikrofon, Lufiati sesekali mengusap air mata. Seketika orasinya berhenti. Ia tak mampu lagi menahan rasa pedih.

Perasaan haru menyelimuti massa aksi yang tak lebih dari 50 orang itu. Isak tangis terdengar di antara kerumunan massa. Beberapa orang yang hadir turut menitikan air mata.

Dukungan kekuatan keluarga korban lainnya, membangikitkan kembali suara lantang Lutfiati. Ia meluapkan kemarahan atas ketidakadilan yang didapatnya kepada puluhan aparat kepolisian yang berjaga di depan gerbang Komnas HAM.

“Mereka bukan manusia. Mereka tidak punya hati nurani. Saya kehilangan suami dan kedua anak saya, Mbak. Di mana keadilan ini, Mbak? Saya cuma cari keadilan. Keadilan,” sambung Lutfiati, menutup orasinya karena tak sanggup menahan tangis.

Foto almarhum suami dan kedua anak Lutfiati yang menjadi korban tewas dalam Tragedi Kanjuruhan, ditampilkan saat aksi Peringatan 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan di depan Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025)/Diakronik

Kilas Balik Tragedi Kanjuruhan

Tragedi Kanjuruhan terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada malam 1 Oktober 2022. Dalam insiden ini, tercatat sebanyak 135 orang meninggal dunia dan lebih dari 500 orang mengalami luka-luka.

Peristiwa itu terjadi usai laga Arema FC melawan Persebaya diwarnai dengan aksi kekerasan oleh aparat TNI dan Polri terhadap Aremania, suporter Arema FC.

Berdasarkan rekaman video yang tersebar di media sosial, aparat TNI dan Polri memukul dan menendang Aremania yang turun ke lapangan. Aparat kepolisian juga menembakkan gas air mata ke arah lapangan dan tribun penonton.

Gas air mata yang ditembakan menimbulkan kepanikan, sehingga membuat penonton berlarian menuju pintu keluar. Dalam kondisi sesak napas, koridor pintu keluar yang sempit, dan tangga yang menurun, membuat ratusan orang kekurangan oksigen dan terinjak-injak, hingga mengakibatkan korban tewas.

Keluarga korban dan massa JSKK melakukan aksi simbolik tabur bunga di atas 135 nama korban tewas dalam Tragedi Kanjuruhan di depan Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025)/Diakronik

Usai tragedi itu menjadi sorotan publik, pihak kepolisian menetapkan enam tersangka yang terdiri dari tiga pihak swasta dan tiga lainnya berasal dari unsur kepolisian.

Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris divonis setengah tahun penjara, sedangkan Petugas Keamanan (Security Officer) pertandingan Arema FC versus Persebaya Suko Sutrisno, divonis satu tahun penjara. 

Kedua terdakwa itu, dianggap lalai dalam menjalankan tugas, lantaran tidak melakukan verifikasi keamanan stadion terlebih dahulu dan membiarkan penonton melebihi kapasitas stadion yang hanya mampu menampung 38.000 orang.

Sementara itu, dari unsur kepolisian, mantan Komandan Kompi (Danki) Satu Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan divonis setengah tahun penjara. Adapun mantan Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi dan mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, keduanya masing-masing divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Namun, vonis bebas itu dibatalkan melalui putusan hakim Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi. AKP Bambang lalu divonis dua tahun penjara, sedangkan Kompol Wahyu divonis dua tahun enam bulan penjara.

Lutfiati dan keluarga korban lainnya tak kuasa menahan tangis usai doa bersama dan tabur bunga dalam rangka peringatan 3 tahun Tragedi Kanjuruhan di depan Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025)/Diakronik

Tak hanya itu, MA juga memperberat hukuman Abdul Haris, dari semula setengah tahun menjadi dua tahun penjara.

Sementara itu, satu tersangka lainnya dari pihak swasta, Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, hingga kini belum pernah dibawa ke pengadilan lantaran Polda Jawa Timur tak kunjung melengkapi berkas perkaranya.

Kawan Redaksi

Editor: Syaukani Ichsan
Reporter: Hastomo Dwi Putra

ARTIKEL LAINNYA

Share

Temukan Artikel Anda!