Anna Suraya merupakan seorang dokter spesialis okupasi paru sekaligus sub-spesialis toksikologi paru. Ia menempuh beban dan perjalanan panjang sebagai satu-satunya dokter toksikologi paru yang berani menaruh batu pertama istilah penyakit asbestosis pada diskursus kesehatan di Indonesia sejak 2016.
Sidang lanjutan perkara perbuatan melawan hukum yang digugat Fiber Cements Manufacturer Association (FICMA) terhadap Lembaga Pelindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi telah memasuki agenda pemeriksaan saksi ahli. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (22/9/2025) itu, pihak tergugat menghadirkan seorang dokter spesialis toksikologi paru bernama Anna Suraya.
Awalnya, tim kuasa hukum tergugat meminta Anna untuk menjelaskan pengalaman medis saat menangani pasien yang mengidap penyakit paru akibat asbes atau asbestosis dan penelitiannya tentang penyakit tersebut.
Anna menjelaskan, pertemuannya dengan beberapa pasien yang merupakan buruh pabrik atap rumah dan asbes di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, jadi awal mula risetnya dimulai. Para buruh itu mengeluhkan rasa sesak napas di dada dan batuk-batuk yang telah mereka alami bertahun-tahun kepada Anna.
Latar belakang profesi pasiennya itu memunculkan kecurigaan bagi Anna. Dokter sekaligus dosen di Universitas Binawan ini menduga, paparan material asbes menjadi penyebab utama penyakit yang dialami para buruh ini.
“Saya mulai memeriksa dan curiga ada penyakit asbes itu tahun 2016 karena banyak, di mana teman-teman pekerja pabrik atap rumah dan pabrik asbes yang mengeluhkan sesak nafas dan batuk,” ujar Anna di sidang tersebut.
Anna menjelaskan, saat itu, istilah penyakit asbestosis belum akrab di kalangan para dokter, khususnya sebagai ahli toksikologi paru di Indonesia.
Asbestosis atau Hanya Abnormalitas Paru-Paru?
Akhirnya, Anna mengunjungi berbagai rumah sakit untuk berdiskusi dengan para dokter dan ahli toksikologi paru lainnya guna mendiagnosa penyakit yang dialami para buruh pabrik itu. Tak hanya diskusi, penanganan medis terhadap pasien beruparontgen dan CT Scan pun ia lakukan bersama para dokter lainnya.
Namun, saat itu hanya Anna yang berani menyebut bahwa pasiennya mengidap penyakit asbestosis.
“Saat itu, hanya saya yang berani bilang bahwa ini asbestosis. Para dokter lain hanya mendiagnosanya sebagai abnormalitas paru-paru,” tuturnya.
Ia pun mengutarakan kekecewaannya kepada para dokter yang hanya berani mendiagnosa sebagai abnormalitas paru-paru. Padahal, kata Anna, dokter itu dilatih untuk berani menyebutkan satu nama penyakit.
Alhasil, ia menghentikan sejenak pemeriksaannya kepada para buruh pabrik itu. Di sela-sela itu, Anna membaca banyak buku dan jurnal penelitian luar negeri yang menjelaskan tentang penyakit asbestosis.
Dalam salah satu kesempatan, ia juga melakukan pertemuan dengan seorang dokter dari Jerman yang berpengalaman dalam menangani penyakit asbestosis. Dari pertemuan itu, ia berdiskusi dan mendapatkan banyak pengetahuan tentang penyakit tersebut.
Pada 2017, Anna bersama para dokter lainnya kembali memeriksa para buruh pabrik asbes asal Cibinong itu dengan metode rontgen dan CT Scan. Saat itu, Anna menemukan diagnosa barunya melalui bentuk dan pola persebaran flek dalam paru-paru yang menyerupai ciri-ciri penyakit asbestosis.
“Jadi, kalau asbestosis itu dia berbentuk mengeras. Dia mengeras dan melebar ke area bawah paru-paru seperti akar,” ujarnya.
Ia pun melaporkan temuannya itu ke Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Anna menyebut seorang dokter dari Kemnaker merespons temuan itu dengan kaget dan memutuskan akan mempelajarinya.
“2016 saya menemukan dari 20 pekerja ditemukan 10 (penyakit asbestosis). Waktu itu pembuktian ini kami ajukan ke Kemnaker. Lalu mereka jawab, ‘wah ini penyakit baru’,” ujarnya.
Pertemuan itu kemudian menjadi salah satu cikal bakal lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja. Dalam aturan ini, penyakit akibat material asbestos masuk ke dalam dua jenis klasifikasi.
Pertama, pada klasifikasi jenis II tentang Penyakit Berdasarkan Sistem Target Organ huruf A, jenis penyakit saluran pernapasan. Kedua, pada klasifikasi jenis III tentang Penyakit Kanker Akibat Kerja.
Minimnya pengetahuan soal asbestosis yang terjadi dalam diskursus kesehatan Indonesia, membuat Anna memutuskan untuk menempuh pendidikan doktoral di Jerman. Tujuannya yakni untuk meraih gelar toksikologi paru yang fokus pada penelitian penyakit asbestosis.
Selama menjalani studi doktoral di Jerman, ia melakukan penelitian untuk disertasinya di RS Persahabatan, Jakarta Timur. Di sana, ia melakukan pemeriksaan kepada pasien yang mengidap penyakit kanker paru.
Anna menjelaskan, para dokter dan profesor di rumah sakit itu terkejut dengan hasil temuannya. Bersama-sama, mereka menemukan jenis penyakit kanker paru yang disebabkan oleh material asbes.
“Di RS Persahabatan, profesor-profesor di rumah sakit itu kaget. Kita kaget menemukan kanker paru, idiomatik paru bahwa itu terkait asbes,” ujarnya.

Dokter Anna Bantah David Bernstein
Berbeda dengan toksikolog asal Swiss, David Bernstein, saksi ahli yang dihadirkan FICMA di sidang lanjutan pada (15/9/2025) lalu, Anna dan para dokter di RS Persahabatan menguji penelitiannya dengan subjek manusia.
“Kami tidak menemukan di tikus, kucing. Kami menemukan pada manusia,” ujarnya.
Di persidangan saat itu, Bernstein mengaku telah melakukan penelitian selama puluhan tahun dengan subjek penelitian tikus putih untuk membuktikan bahwa asbes putih atau krisotil tidak berbahaya bagi paru-paru manusia.
Ia mengatakan bahwa panjang serat krisotil yang masuk ke dalam tubuh tidak melebihi sel makrofag pada paru-paru manusia. Ia menyebut serat krisotil hanya memiliki panjang sekitar 5 mikron.
“Jadi ketika kita menghirup udara, akan masuk partikel yang ukurannya 10 mikron. Sedangkan ukuran makrofag dalam paru-paru kita adalah 10-20 mikron,” ujar Bernstein, pada persidangan Senin (15/9/2025) lalu.
Saat ditemui Diakronik.com seusai sidang, Anna setuju dengan perbedaan ukuran antara serat krisotil dan makrofag yang disampaikan Bernstein. Namun, menurutnya, kesimpulan Bernstein bahwa serat krisotil tidak berbahaya karena perbedaan ukuran, ialah sebuah kesalahan.
“Iya memang seperti itu, kalau kita nelennya satu ya ditelen sama makrofag. Kalau asbesnya tiap hari ada terus, jangankan nelen asbes, nelen nasi aja kalau kebanyakan diabetes,” ucap Anna.
Ia menilai, melogikakan cara kerja tubuh seperti pendapat Bernstein itu merupakan sebuah kesalahan. Sebab, makrofag dalam paru manusia yang terus menelan krisotil punya batas sampai akhirnya paru-paru mengalami pengerasan.
“Kalau asbes putih, makrofag bisa menelan. Tapi seperti makan nasi. Paru itu mengeras karena terus terusan sering menelan asbes putih,” ujarnya.
Anna melanjutkan, paru-paru akan terlihat mengalami pengerasan saat diuji dengan metode High Resolution Computed Tomography (HRCT).
“Bentuk pengerasannya nanti diolah (oleh) ahli radiologi. Nanti diolah apakah pengerasannya lembut, keras, dan sebagainya,” tuturnya.
Metode HRCT diperlukan untuk mendeteksi sel kanker pada tubuh manusia sebelum ia bertumbuh besar, karena metode ini dapat memperlihatkan organ dalam tubuh manusia dengan lebih detail.
“Kanker itu benjolan (semula) kecil-kecil yang membesar baru dia bisa dirontgen. Jadi ini yang jadi sulit,” jelasnya.
Anna juga mengingatkan kepada negara untuk menaruh perhatian lebih terkait penyakit asbestosis. Sebab, menurutnya, Indonesia sangat terlambat dan kalah jauh dari sisi pengetahuan dan alat medis terkait pendeteksian asbestosis.
“Kalau kita tidak sama sama meng-address kanker paru akan jadi (tren) penyakit pertama di Indonesia,” ujarnya.

Duduk Perkara FICMA Gugat LPKSM Yasa Nata Budi
Gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan FICMA ini bermula ketika LPKSM Yasa Nata Budi memenangkan gugatan uji materiil di MA pada Maret 2024 lalu. Mereka menggugat Permendag Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia lampiran huruf B angka 5.
Para penggugat menginginkan agar lampiran itu juga dapat melengkapi aturannya dengan menambahkan label berbahaya serta cara penggunaannya pada barang yang mengandung asbes putih atau krisotil yang beredar di masyarakat. Sebab, penggugat menilai paparan material asbes dapat menimbulkan berbagai penyakit berbahaya, seperti mesothelioma, kanker paru, asbestosis, plak pleura, dan penebalan pleura.
MA pun mengabulkan gugatan uji materiil tersebut pada 19 Maret 2024. Namun, empat bulan setelahnya, FICMA menggugat LPKSM Yasa Nata Budi dan enam pihak lainnya secara perdata atas dugaan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada 17 Juli 2024 yang teregister dengan nomor 417/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst.
FICMA menggugat tujuh pihak dan menuntut ganti rugi sebesar Rp7,9 triliun. Tujuh pihak yang digugat itu di antaranya Dhiccy Sandewa, Ajat Sudrajat, Leo Yoga Pranata, LPKSM Yasa Nata Budi, Indonesia Ban Asbestos Network (INA-BAN), Yayasan Yasa Nata Budi, dan Menteri Perdagangan Indonesia.
Dalam petitumnya, FICMA menilai para tergugat tidak mematuhi berbagai asas hukum yang berlaku serta memberikan pendiskreditan pada material asbes putih atau krisotil sebagai barang berbahaya. Sebab, menurut FICMA, asbes putih tidak termasuk ke dalam barang berbahaya jika merujuk pada Konvensi Rotterdam yang telah diratifikasi Indonesia lewat UU Nomor 13 Tahun 2013.
Namun, jika merujuk pada laporan World Health Organization (WHO) pada 27 September 2024, ditegaskan bahwa semua jenis asbestos, termasuk asbes putih atau krisotil, merupakan bahan karsinogenik atau penyebab kanker. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia itu, lebih dari 200 ribu buruh yang meninggal dunia setiap tahunnya akibat terpapar serat debu asbestos.
“Asbes adalah sekelompok serat mineral yang memiliki penggunaan komersial yang luas, baik saat ini maupun di masa lalu, namun dapat menyebabkan kematian dan gangguan kesehatan serius pada pekerja dan orang lain yang terpapar serat ini (lebih dari 200.000 kematian di seluruh dunia setiap tahunnya, disertai dengan beban kesehatan yang besar),” tulis WHO dalam laman resminya, who.int, dikutip Sabtu (27/9/2025).