Trunajaya Mengoyak Mataram: Intrik Jawa dan Elite Kekuasaan Kiwari

Trunajaya Mengoyak Mataram: Intrik Jawa dan Elite Kekuasaan Kiwari

Babad Mataram, sejarah Kerajaan Mataram di tanah Jawa. Sumber: Dokumentasi penulis.
Babad Mataram, sejarah Kerajaan Mataram di tanah Jawa. Sumber: Dokumentasi penulis.

Ada masa ketika Jawa bukan sekadar pulau, tapi panggung megah tempat ambisi, sumpah, dan darah saling berebut mendefinisikan takdir negeri: cermin keretakan dari dalam.

Demikian pula kisah dramatis dalam Babad Mataram Pupuh 01–08, sebuah catatan sastra sejarah yang merekam salah satu titik paling genting selama sepak terjang Jawa. 

Pada akhir abad ke-17, Mataram bukan kerajaan kecil. Ia adalah pusat kekuasaan terbesar di Jawa pada masanya. 

Namun dalam Babad, kerajaan itu digambarkan tengah berada dalam fase rapuh, dengan indikasi para pangeran berselisih, sumpah kesetiaan tergerus, dan rakyat kehilangan arah.

Lalu datanglah Trunajaya yang membuat semuanya runtuh lebih cepat. Sosok yang namanya bertiup dari Madura, tapi gaungnya mengguncang sampai lereng Merapi.

Ya, Trunajaya, si bangsawan muda dari Madura ini, memang bukan cuma menantang raja, tapi menyerbu jantung legitimasi Mataram, istana itu sendiri!

Bayangkan suatu pagi saat kabut belum bubar dari sawah, para abdi tunggang-langgang dengan kabar yang bikin udara lebih dingin dari biasanya: Trunajaya bergerak menuju pusat kekuasaan.

Dalam Babad Mataram tertulis: “Anyariyosakên kala Trunajaya ambêdhah karaton ing Mataram…” 

Diceritakan Trunajaya merusak dan mengobrak-abrik istana Mataram. Tindakan tersebut jelas mencengangkan.

Sebab, dalam dunia politik Jawa istana bukan sekadar bangunan, tapi simbol titik tengah dunia, pusat tatanan kosmos, tempat turunnya wahyu kekuasaan. 

Dengan mendudukinya, Trunajaya seperti berkata: “Aku lebih berhak atas Mataram daripada rajanya!” 

Kata “ambêdhah” merusak, menembus, menerobos, menggambarkan sesuatu yang lebih besar daripada penyerbuan. Ia adalah simbol, bahwa pusat legitimasi kerajaan sukses digugat.

Bayangkan jika situasi serupa terjadi hari ini, media sosial pasti geger, pemerintah panik, dan rakyat terbelah. Begitulah Mataram saat Trunajaya muncul!

Meski istananya megah, sebagaimana diterangkan di awal, Mataram rapuh di dalam. Para pangeran saling curiga, juga para adipati kompak membangun koalisi diam-diam. 

Sementara raja, seperti contoh banyak pemimpin sekarang ini, menghadapi dilema antara menjaga stabilitas atau mengendalikan keluarga sendiri. 

Di tengah kegentingan itu, Trunajaya tiba bukan sekadar sebagai musuh. Ia bak badai yang menghantam rumah retak, rapuh sejak dalam fondasinya. 

Trunajaya memindahkan pusat kekuasaan Mataram ke Kediri. Tindakannya benar-benar mengguncang dunia politik Jawa. 

Sebab dalam kosmologi Jawa, singgasana bukan cuma kursi, ia adalah pusat jagat, titik di mana kekuasaan duniawi bertemu dengan wahyu ilahi. Dengan mendudukinya, maka Trunajaya bukan hanya menantang raja, tapi tatanan kosmos!

Namun Trunajaya hanya pemantik. Bara utama justru menyala dari dalam istana Mataram sendiri. 

Babad menggambarkan bagaimana para pangeran saling curiga, saling menuduh, dan tidak lagi mempercayai siapa pun kecuali diri sendiri. 

Yang paling tragis adalah kisah Pangeran Sampang, adik raja, yang memutuskan menentang saudaranya dengan alasan takdir telah menempatkannya pada jalan yang berbeda. 

Ia berkata: “Iki wus karsanipun Hyang Suksma…”, inilah kehendak Hyang Suksma…, perkataan ini seperti pembungkus doa untuk ambisi politik, sebuah pembenaran apa pun yang ia lakukan adalah kehendak langit. 

Jika narasi semacam ini terdengar akrab di politik modern, itu karena pola pikir tersebut tidak pernah benar-benar hilang.

Intrik Elite Jawa dan Wajah Kekuasaan Kini

Dalam perebutan kekuasaan, elite selalu menemukan cara untuk membungkus ambisi mereka dengan istilah demi rakyat, demi negara, atau demi mandat sejarah.

Di Babad, konflik antarsaudara ini mencapai puncaknya ketika Pangeran Sampang dibunuh, bukan oleh musuh, tetapi pasukan kerajaan sendiri. 

Ia gugur bukan sebagai pemberontak, tapi bak simbol bagaimana kekuasaan dapat membuat darahnya sendiri terasa lebih dekat dengan bahaya daripada keluarga. 

Ketika jenazahnya tiba di istana, sang raja menangis tersedu-sedu. Narasinya menyayat: “Raja memeluk tubuh adiknya yang terluka besar di sisi kiri… darah masih mengalir.” Tragedi itu membuat istana berubah menjadi lautan duka.

Kendati demikian, duka istana serupa dalam banyak drama politik modern kini, tidak menghentikan siklus balas dendam.

Kematian Pangeran Sampang justru membuat Pangeran Selarong, kerabatnya, terbakar dendam. 

Rasa kehilangan berubah menjadi keputusan politik. Dan itu mendorong Mataram melakukan ekspedisi besar ke Balambangan, wilayah di ujung timur Jawa, yang kala itu menjadi sekutu musuh istana. 

Ekspedisi Balambangan inilah salah satu bagian paling dramatis dari Pupuh 01–08: “Ênêngêna Mataram wau kocapa kang Kinèn anglurugi marang Balambangan.

Konon pada masa itu pasukan diperintahkan menyerang ke arah Balambangan. Pertempuran darat dan laut meletus serempak, dipenuhi gambaran heroik sekaligus brutal, hingga tombak beradu bagai “rintik hujan besi”.

Teriakan pasukan Bali membelah pantai, tubuh bergelimpangan di pesisir bagaikan ilalang tebasan, serta bedil Mataram yang menyalak memecah ombak dan merobohkan perahu-perahu Bali. 

Panglima Bali, Panji Arungan, diriwayatkan berdiri tegak di atas perahu sebelum akhirnya peluru bedil menembus pelipisnya. Kepalanya jatuh ke laut, bikin moral pasukannya runtuh seketika.

Adegan-adegan ini bukan sekadar drama, tapi pengejawantahan dendam elite selalu dibayar mahal oleh rakyat biasa. 

Pasalnya, sekalipun Mataram menang, tetapi wabah menyerang pasukan. Panglima Besar Ki Tumenggung Wiraguna meninggal, ribuan prajurit sakit atau gugur, dan konflik berkepanjangan justru melemahkan negara. 

Begitu pula kini, konflik elite politik, meski terjadi di ruang tertutup dan meja perundingan, sering berimbas pada ekonomi, sosial, dan rasa aman masyarakat .

Pada akhirnya, Trunajaya tertangkap di Gunung Ngantang. Raja Anom membunuhnya dalam eksekusi singkat. 

Namun seperti banyak tokoh besar sejarah, kematiannya bukan penutup kisah, melainkan awal dari pertanyaan yang tak pernah selesai. 

Siapa Trunajaya? Pemberontak yang rakus kekuasaan atau pemimpin yang datang ketika rakyat memerlukan perubahan? Atau justru bidak dalam politik dinasti Mataram yang sudah retak dari dalam? 

Masyarakat Jawa memiliki kecenderungan tidak melihat tokoh sejarah sebatas hitam-putih. Babad tidak menobatkannya sebagai pahlawan, juga tidak menistakannya. 

Trunajaya dijelaskan sebagai tokoh yang digerakkan ambisi, momentum, dan ketidaksempurnaan manusia. 

Dalam konteks sekarang, ia seperti figur politik yang dituduh makar oleh penguasa, dipuji pembaru oleh pendukungnya, dan tetap meninggalkan jejak besar meski tewas lebih cepat.

Kisah Pupuh 01–08 menyampaikan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada rangkaian perang. 

Ia mengungkap pola universal yang berulang dalam sejarah bangsa mana pun: kekuasaan runtuh bukan karena musuh luar, tetapi luka dari dalam.

Politik dinasti mudah berubah menjadi tragedi, narasi dapat mengangkat atau menjatuhkan kekuasaan, elite berperang, rakyat yang menanggung akibatnya, dan ambisi yang dibungkus sumpah suci tetaplah ambisi. 

Mataram, seperti banyak negara di masa kini, tidak jatuh dalam sekali pukul. Ia retak perlahan karena konflik internal, oleh kesetiaan yang memudar, juga perebutan legitimasi dan narasi yang saling menegasikan. 

Trunajaya bukanlah satu-satunya penyebab keruntuhan itu. Ia hanya datang pada waktu yang tepat atau salah ketika istana sudah terlalu rapuh untuk menahan satu pukulan lagi.

Ketika kita membaca kisah tersebut hari ini di tengah riuhnya debat politik, gugatan legitimasi, dan perbincangan hangat tentang dinasti kekuasaan, kita jadi paham sejarah tidak pernah benar-benar berlalu. 

Sejarah bergetar di dasar zaman, menunggu untuk dikenali kembali!

Trunajaya mungkin tumbang di Gunung Ngantang, Pangeran Sampang gugur oleh saudaranya, dan Balambangan telah lama menjadi bagian sejarah, tetapi pelajaran dari mereka tetap hidup.

Pelajaran yang menegaskan, kekuasaan adalah bangunan rapuh dan sejarah selalu mengingat tangan siapa yang pertama kali menggetarkannya.

Itulah yang membikin cerita dalam Babad Mataram Pupuh 01–08 bukan hanya kisah lama, tapi pengingat untuk kita hari ini. 

Indonesia memang sudah meninggalkan zaman kerajaan, tapi pola masalahnya sering mirip, mulai dari perebutan pengaruh, politik keluarga, saling curiga para pemimpin, hingga rakyat yang ikut merasakan dampaknya.

Kisah Mataram jua menunjukkan negara bisa melemah bukan karena musuh dari luar, tetapi lantaran retak di dalam, juga ambisi, persaingan, dan sikap saling tidak percaya.

Itu juga berlaku bagi Indonesia sekarang. Dan camkan baik-baik: kekuatan pemerintah bukan hanya ditentukan siapa yang berkuasa.

Lebih dari itu, oleh kemampuan para pemimpin menjaga kepercayaan, mengutamakan rakyat, dan tidak membiarkan kepentingan pribadi atau keluarga menjadi lebih penting dari kepentingan bangsa! 

Babad ini pula mengingatkan kita, jika retakan kecil dibiarkan, ia mampu berkembang menjadi masalah besar yang mengguncang pemerintahan mana pun.

Seperti yang ditulis para leluhur: “Negara ambruk dudu amarga badai saka njaba, nanging amarga retak sing ora dirawat saka njero.

Sumber

  • Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1998), Wawacan Babad Mataram III (Terjemahan dari Bahasa Sunda), Jakarta: Depdikbud.
  • Dirjaatmaja, R., (1904), Babad Mataram (Jilid 1: Pupuh 01–08), In Yayasan Sastra Lestari.
  • Kisah Trunojoyo Makar ke Mataram tahun 1800, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, diakses 4 Desember 2025.

Kawan Redaksi

Editor: Akbar Ridwan

ARTIKEL LAINNYA

Share

Temukan Artikel Anda!