Klub Sepak Bola Alternatif: Sebuah Harapan dan Autokritik

Klub Sepak Bola Alternatif: Sebuah Harapan dan Autokritik

Banner klub-klub sepak bola alternatif, Diakronik.
Banner klub-klub sepak bola alternatif, Diakronik.

Dalam beberapa tahun terakhir dinamika sepak bola di Indonesia diramaikan dengan munculnya berbagai klub alternatif. Klub-klub tersebut bergerak di akar rumput dan dikelola para suporter. 

Fenomena itu bukan hanya menjadi suatu gebrakan baru, melainkan juga pertanda sekaligus respons atas situasi kekinian. Tanda-tandanya barangkali bisa kita lihat dari situasi global sepak bola arus utama di Indonesia bergulir. Lalu, apa yang membuat berbagai klub alternatif tersebut menjadi penting?


Membangun Budaya Tandingan

Dalam wawancara yang dilakukan FREEDOM: Anarchist Media, Publishing, and Bookshop, Gabriel Kuhn yang dikenal sebagai penulis, anarkis, dan eks pemain bola semi-profesional asal Austria, mengatakan sebagai olahraga rakyat, sepak bola menemukan kekuatannya saat terhubung dengan kekuatan massa dan kolektivitas. 

Baginya, dua hal tersebut bikin sepak bola lebih terjangkau sekaligus membuatnya menjadi media dalam mengakomodir kepentingan rakyat, termasuk medium dalam membangun budaya perlawanan.

“Jika anda fokus pada peran sepak bola sebagai permainan massa, maka hal itu dapat berfungsi sebagai media untuk menantang penguasa,” ucap Kuhn.

Namun, sebagai cabang olahraga yang sangat populer, sepak bola rentan ditunggangi banyak pihak (dan kepentingan). Tak terkecuali para pemodal yang membuat si kulit bundar bukan lagi sebatas olahraga rakyat, melainkan kepentingan bisnis. 

Pada titik tersebut sepak bola menjadi amat politis karena keberadaannya bergantung pada siapa yang berkuasa dan mengendalikannya, juga untuk kepentingan apa ia digunakan. 

Seperti yang pernah terjadi di Inggris, tatkala pada 2005 sekelompok fans Manchester United (MU) memutuskan membentuk klub bernama FC United of Manchester. Klub tersebut dibentuk sebagai aksi protes terhadap pengelolaan Manchester United setelah diambil alih keluarga Glazer, bohir asal Amerika Serikat yang secara sah membeli saham MU dengan cara berutang. 

Lantaran sosok keluarga Glazer sebagai pebisnis alih-alih pecinta sepak bola, ia memilih cara yang paling busuk dalam upayanya membayar utang: membebankan kepada para suporter dengan menaikan harga tiket pertandingan.

Pada tahap yang paling ekstrem, keputusan Glazer itu mencerminkan klub tidak lagi memandang suporter semata-mata sebagai pendukung, melainkan konsumen yang setiap saat bisa diperas uangnya dengan menjual mitos-mitos loyalitas. 

Tak pelak, kondisi itulah yang membuat sebagian fans kecewa. Hingga belakangan membentuk FC United of Manchester sebagai klub tandingan dari MU.

Di Indonesia, kondisi sepak bola nasional masih mencerminkan gaya tarkam alih-alih industri. Saya melihat ada beberapa faktor yang mendasarinya, dari pengelolaan sampai infrastruktur, dari paradigma hingga ekosistem. Kita pun bisa dengan mudah melihat karut-marutnya pengelolaan sepak bola nasional di bawah kendali Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). 

Namun, gelombang industrialisasi bisa saja tiba-tiba muncul seiring kepentingan pasar yang harus cermat melihat celah dalam memperluas keuntungan. Kondisinya barangkali masih abu-abu, tapi setidaknya ada gejala-gejala yang bisa dilihat sebagai prasyarat: harga tiket kian mahal, munculnya peraturan yang mengekang suporter, persekongkolan antara pemodal-manajemen klub, dan upaya menundukkan suporter melalui berbagai cara yang dilakukan para elite.

Dampaknya bisa diprediksi, bahwa upaya-upaya tersebut membentuk iklim sepak bola di Indonesia menjadi sangat ramah bagi kepentingan industri. Lainnya di saat yang sama, mendepolitisasi suporter dan menjauhkannya dari ide-ide kritis soal sepak bola.

Akhirnya, tidak sedikit orang merasa muak dengan kebijakan federasi terkait dengan pengelolaan sepak bola. Kondisi demikian yang kemudian mendorong sekelompok pendukung membentuk klub sepak bola alternatif. 

Setidaknya, hingga kini, berbagai klub alternatif bermunculan di daerah, seperti Riverside Forest FC di Bandung, Tribun Kultur FC dan Port City Wanderers dari Jakarta, Rainfall FC asal Bogor, Urbanside FC di Bekasi, dan baru-baru ini hadir Kaliburg FC di Purbalingga serta Fortress VB dari Tangerang.

Dari data yang saya baca, ada kesamaan motif yang melatarbelakangi terbentuknya berbagai klub tersebut: sebagian besar muak dengan pengelolaan sepak bola oleh PSSI dan harga menonton pertandingan kian mahal serta sulit dijangkau. Selebihnya, klub-klub itu dibentuk sebagai siasat untuk merespons berbagai isu—seringkali isu sosial—yang ada di selingkaran mereka.

Dari situlah harapan baru tentang sepak bola mulai dibangun kembali. 

Melalui klub alternatif, para suporter—yang dalam struktur merupakan pemilik klub—dapat menjadikan agenda-agenda klub sebagai wadah dalam bereksperimen. Sebagaimana alternatif, berbagai klub itu bisa menjadi ruang untuk menjalankan ide dan gagasan yang mereka punya, mengkampanyekan nilai-nilai yang dipercaya, dan menciptakan lingkungan yang inklusif. 

Dengan begitu, saya kira klub alternatif bisa menjadi medium dalam membangun budaya tandingan atau setidak-tidaknya mengembalikan lagi wacana kritis dalam obrolan soal sepakbola. 

Dan pada saat yang sama, merupakan bentuk penolakan para suporter atas tindakan yang sifatnya menjinakkan dan menundukkan, sekaligus upaya merebut kontrol dan mengorganisir diri dari sepak bola arus utama yang kian tergerus gejala-gejala industrialisasi.

Memang agak sulit membayangkan ide-ide revolusioner dilakukan lewat agenda-agenda klub sepak bola. Akan tetapi, upaya mengorganisir diri dengan membentuk klub alternatif, bagi saya, merupakan langkah awal untuk menciptakan kembali ruang dalam membicarakan wacana, memproduksi gagasan, dan menjalin perkawanan.

Di tengah karut-marut pengelolaan sepak bola arus utama oleh PSSI, saya menaruh harapan besar pada geliat sepak bola alternatif di akar rumput. Karena alasan itulah, bagaimanapun bentuknya, inisiasi kecil semacam ini memang perlu diapresiasi, dan kalau tidak berlebihan, juga patut dirayakan.


Tumbuhlah Serupa Gulma, tapi Mulailah dengan Mengoreksi Diri

Meski kita sering kali punya bayangan yang ideal tentang harapan, tapi kenyataannya jelas tak sesederhana itu. Saya senang menyadari ada banyak orang punya kesadaran dan semangat yang sama untuk menyiasati keresahan terhadap kondisi sepak bola di Indonesia saat ini. Membentuk klub sepak bola alternatif adalah salah satu caranya.

Namun, berbagai klub sepak bola alternatif yang bermunculan tidak lantas membuat situasi berubah sepenuhnya. Pasalnya, berbagai klub tersebut muncul secara simultan, tapi belum terorganisir dengan baik. 

Klub alternatif yang ada saat ini masih berfokus pada dirinya masing-masing, alih-alih membentuk satu kekuatan yang bisa melawan status quo. Kondisi inilah yang kemudian membuat klub sepak bola alternatif belum bisa berbuat banyak.

Dalam gerakan yang membutuhkan basis massa, berjalan sendiri-sendiri justru tidak akan membuat kita ke mana-mana. Pondasi yang dibangun rentan untuk tidak bertahan lama. Kesadaran soal ini sekiranya alpa dalam narasi pengorganisiran klub sepak bola alternatif, sehingga banyaknya klub yang muncul tidak berarti membentuk suatu kekuatan tertentu.

Pada titik itu, klub sepak bola alternatif mesti berbenah. Siapa saja yang punya akses dalam mengelola klub alternatif harus sadar pentingnya berjejaring dengan banyak kelompok, baik sesama klub sepak bola alternatif maupun kelompok-kelompok lain di luar kancah si kulit bundar. 

Cara-cara tersebut penting dilakukan dengan tujuan setidaknya membangun jaringan, memperbaiki ekosistem gerakan klub alternatif, sekaligus menciptakan ruang yang inklusif.

Demikian diperlukan, sebab apabila klub alternatif hanya fokus pada dirinya sendiri, saya khawatir kondisi itu bakal mengantarkan kita pada perkara lama: masing-masing klub akan menciptakan identitas, citra, dan fanatisme semu—yang dibela berlebihan dengan sikap yang tak berdasar. Hal-hal tersebut akhirnya justru menjerumuskan kita pada kehancuran berikutnya.

Itu berkaitan dengan bagaimana pemahaman atas kehadiran klub alternatif dibangun. Saat ini, ada banyak jargon dan narasi yang dibentuk, tapi nyaris tidak diiringi dengan pemahaman kritis tentang mengapa perlu membangun klub alternatif. 

Pemahaman tersebut mesti diletakan pada kerangka dalam membangun budaya tanding. Tanpa pemahaman seperti itu, kita rentan terjebak pada situasi mengambang: menganggap agenda klub alternatif sebatas fun football; atau menyuarakan berbagai persoalan, tapi berjarak dengan isunya; atau kita tidak tahu kepada siapa kita berhak marah.

Karena itulah, klub alternatif mesti memiliki imajinasi yang luas sekaligus politis. Tujuannya untuk membentuk suatu agenda yang relevan dengan nilai-nilai alternatif, juga mengakumulasi kemarahan kita kepada siapa saja yang membuat kebahagiaan kita atas sepak bola tak lagi sama dan hancur lebur.

Tanpa hal-hal demikian, tidak sulit untuk mengatakan, bahwa geliat klub sepak bola alternatif hanya menjadi jargon belaka.


Catatan redaksi: Artikel ini pernah terbit di Sediksi.com pada 29 Maret 2024 dengan judul “Geliat Sepakbola Alternatif: Sebuah Harapan dan Otokritik”. Diterbitkan ulang untuk tujuan distribusi pengetahuan.

Editor: Akbar Ridwan

ARTIKEL LAINNYA

Brutalitas Negara dan Sejumlah Alasan Mengapa Polisi Dibenci
Menuju Negara Leviathan dalam Selubung Demokrasi: Wacana Penambahan Kodam dan RUU Penyiaran
Rumah Kaca Dago Elos, Keadilan Membusuk
Tidak Ada Beda Buruh Pabrik dan Kantoran

Temukan Artikel Anda!