Pada 2018, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) menerbitkan riset berjudul “Dampak Gojek terhadap Perekonomian Indonesia pada Tahun 2018”. Salah satu temuannya menyebutkan, ada tiga manfaat utama yang dirasakan mitra Go-Ride, yaitu: mengatur waktu kerja, membiayai keluarga, dan memiliki waktu lebih bersama keluarga.
Di sudut lain, Wartakota menceritakan kisah seorang perempuan single parent dengan dua anak yang memutuskan resign dari perusahaan demi menjadi pengemudi ojek online (ojol). Alasannya adalah waktu kerja lebih fleksibel. “Karena saya harus mengurus anak-anak saya,” katanya.
Di rezim pasar tenaga kerja fleksibel, fleksibilitas kerja seolah menjadi jalan keluar di tengah permasalahan kondisi kerja yang buruk—sesuatu yang dialami oleh banyak buruh. Fleksibilitas seakan-akan memungkinkan seorang buruh untuk menentukan secara mandiri waktu kerja yang diinginkan.
Dengan kata lain, narasi fleksibilitas kerja “menjanjikan” kebebasan, kemandirian, keleluasaan mengatur waktu kerja, dan tidak adanya keterikatan dengan perusahaan atau pemberi kerja. Namun, apakah fleksibilitas yang “dijanjikan” rezim pasar tenaga kerja fleksibel tersebut benar-benar dirasakan pengemudi ojol?
Ojol dalam Pusaran Gig Economy
Dalam rezim pasar tenaga kerja fleksibel, ojol masuk dalam kategori pekerja gig economy. Istilah gig economy merujuk hubungan kerja yang mana buruh dan konsumen dihubungkan melalui platform digital.
Di Indonesia, isu tersebut ramai dibicarakan sejak munculnya berbagai perusahaan penyedia transportasi daring, seperti Gojek, Grab, Maxim, Uber, dan lainnya, yang belakangan populer dengan istilah “ojol”. Hal itu berarti fenomena gig economy tumbuh seiring dengan transformasi global dan masifnya penggunaan internet.
Dalam model kerjanya, gig economy terbagi menjadi dua tipe. Pertama, berbasis website yang dapat dilakukan dari mana saja. Kedua, berbasis lokasi yang dilakukan secara langsung, tapi dihubungkan melalui aplikasi seluler.
Sementara itu, jenis pekerjaannya berbentuk crowd work atau work on demand berdasarkan permintaan dan penawaran secara online. Dalam konteks ini, ojol bekerja dalam wilayah kategori berbasis lokasi, sebab karakteristik pekerjaannya harus selesai melalui interaksi tatap muka.
Merujuk artikel berjudul “Kerentanan Pekerja Transportasi Daring” di Prisma, Edisi 2, Volume 40, 2021, Fathimah Fildzah Izzati menjelaskan tiga ciri utama model kerja gig economy.
Pertama, mengutamakan berbagai model kerja yang mengedepankan fleksibilitas. Narasi fleksibilitas menjadi kata kunci karena model kerja yang diciptakan seringkali bersifat jangka pendek, kontrak kerja yang kasual, dan tidak ada keterikatan dengan perusahaan atau pemberi kerja.
Kedua, menguatnya narasi kemitraan. Dalam gig economy, kemitraan mewujud dalam status hubungan kerja yang melekat. Menguatnya propaganda kemitraan sebagai hubungan kerja, akhirnya berdampak pada kerentanan posisi buruh.
Dengan status kerja seperti itu, buruh dianggap setara dengan perusahaan atau pemberi kerja. Implikasinya, perusahaan atau pemberi kerja merasa tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak buruh selain upah.
Ketiga, sistem kerja tidak memberikan jaminan dan perlindungan apa pun kepada para buruh. Model kerja gig economy yang sifatnya jangka pendek dan kemitraan sebagai hubungan kerjanya, mendorong buruh berada dalam posisi yang lemah dan rentan.
Poin tersebut berimplikasi dengan keberadaan para buruh yang harus bekerja dalam kondisi penuh dengan ketidakpastian, serta bayang-bayang risiko yang tak ditanggung perusahaan atau pemberi kerja. Berbagai ciri itu dapat pula dibaca sebagai cara melakukan informalisasi hubungan kerja dan memperluas bentuk kerja kasual.
Dengan lain perkataan, hal tersebut menjadi modus perusahaan atau pemberi kerja dalam mengalihkan risiko kerja kepada buruh. Selain itu, siasat perusahaan atau pemberi kerja agar terhindar dari kewajiban memenuhi hak-hak buruh selain upah, misal jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
Mitos Fleksibilitas Kerja
Dalam model kerja gig economy, salah satu masalah utamanya adalah pengaburan hubungan kerja. Biang keroknya adalah propaganda logika, bahwa buruh memiliki posisi yang setara dengan pengusaha atau pemberi kerja.
Di dunia per-ojol-lan, intrik tersebut terejawantahkan dengan kesewenang-wenangan melenyapkan istilah “buruh” dan menggantinya menjadi “mitra”. Padahal, perseroan aplikator mendominasi seluruh proses kerja dan memaksa pengemudi ojol mematuhi segala keputusan yang mereka buat.
Hal tersebut bisa dilihat melalui, misal, proses pengambilan keputusan untuk segala hal yang berkaitan dengan kepentingan pekerjaan. Pada titik ini, para ojol yang berstatus mitra, tidak memiliki hak untuk menentukan pilihannya dalam merumuskan kebijakan.
Kebijakan terkait penentuan tarif, kontrak, dan mekanisme kerja dalam kemitraan dirumuskan dan diputuskan secara sepihak oleh aplikator. Driver hanya diminta menyetujui kebijakan tersebut tanpa diberikan ruang untuk merumuskan bersama.
Selain tidak memiliki kuasa menentukan kebijakan, buruh ojol juga bekerja di bawah rangkaian kontrol dan pengawasan yang dilakukan aplikator. Hal tersebut dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari keterikatan dengan akun, mekanisme algoritma, hingga keberadaan satuan tugas yang dipelihara aplikator.
Fungsi kontrol dan pengawasan, oleh perusahaan, dilakukan untuk mendisiplinkan driver, sehingga membuat mereka harus mematuhi kebijakan yang dibuat aplikator.
Kontrol melalui algoritma, contohnya, dilakukan dengan menguasai data-data dari akun para driver. Data tersebut nantinya dapat diolah untuk mengikat driver dalam relasi kerja, memberi perintah kerja, memotong pendapatan, sampai menghukum ojol. Pada saat yang sama, data bisa digunakan untuk kepentingan bisnis yang akan memberikan keuntungan bagi aplikator.
Aplikator melakukan kontrol bukan hanya dari sistem algoritma, tapi juga terhadap manusia atau driver-nya itu sendiri. Caranya, membentuk satuan tugas yang bertujuan mengamankan bisnis dari potensi gangguan dan konflik, sekaligus mendisiplinkan driver untuk tetap mematuhi segala kebijakan yang dibuat sepihak oleh aplikator.
Di tengah kondisi kerja yang demikian, narasi fleksibilitas tidak lebih dari sekadar mitos belaka. Driver ojol memang dimungkinkan untuk mengatur waktu kerja secara mandiri. Namun, selain untuk memenuhi kebutuhan, ia secara tidak langsung dipaksa mengambil pesanan.
Kondisi tersebut memaksa para ojol bergulat dengan jam kerja panjang, bertaruh dari satu aplikasi ke aplikasi lain, bahkan meregang nyawa di jalanan. Semuanya terjadi dalam kondisi buruh mengemban status sebagai mitra!
Kemitraan Palsu
Lantaran aplikator secara sepihak mengambil keputusan penting, memonopoli data, dan mengontrol para ojol, maka keuntungan kemitraan yang digembar-gemborkan dalam fleksibilitas kerja gig economy hanya omong kosong. Jika mengacu ke regulasi yang ada dan mengatur soal kemitraan, maka bisa dikatakan bertentangan.
Hal tersebut bisa dilihat di Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Di beleid itu, hubungan kemitraan ditandai dengan beberapa prinsip: saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.
Akan tetapi, dalam relasi kemitraan antara ojol dan aplikator, kenyataannya yang terjadi tidak demikian. Namun, perlu diingat, UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah tidak mengatur secara spesifik ihwal hubungan kerja ojol dengan aplikator atau gig economy.
Regulasi lain yang mengatur ojol adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat. Dari judulnya, kita tahu yang diatur baru ojol roda dua.
Pasal 15 ayat (1) beleid tersebut mengatur hubungan perusahaan aplikasi dan pengemudi merupakan kemitraan. Ayat berikutnya di pasal yang sama menyatakan, pengaturan kemitraan diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, menjadi pertanyaan, peraturan perundang-undangan mana yang dimaksud.
Jika merujuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, relasi antara ojol dan aplikator dianggap bukan sebagai hubungan kerja. Alasannya, unsur pekerjaan, upah, dan perintah datangnya bukan dari perusahaan, tapi konsumen.
Implikasinya, situasi tersebut kerap dijadikan dalih oleh perusahaan untuk tidak memenuhi hak-hak normatif buruh, seperti asuransi kesehatan dan upah minimum.
Kembali ke Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019, diatur pula soal formula penghitungan biaya jasa. Pasal 11 peraturan tersebut menyatakan formula biaya jasa merujuk biaya langsung dan tidak langsung.
Biaya langsung terdiri atas: penyusutan kendaraan, bunga modal, pengemudi, asuransi, pajak kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, ban, pemeliharaan dan perbaikan, penyusutan telepon seluler, pulsa atau kuota internet, dan profit mitra. Sementara biaya tidak langsung berupa jasa penyewaan aplikasi.
Menjadi pertanyaan, apakah aplikator menyusun tarif sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat? Jika iya, apakah buruh ojol dilibatkan?
Hal tersebut perlu didudukkan bersama karena biaya langsung yang dimaksud dalam formula biaya jasa, mayoritas hanya diketahui para ojol. Apabila ketentuan tarif tidak melibatkan ojol, kian teranglah kemitraannya palsu belaka, dan tak ubahnya sebagai siasat perusahaan aplikator untuk menghindari kewajiban memberikan hak-hak buruh kepada drive ojol.