Bukan THR, Grab Beri Insentif Lebaran, SPAI: Kami Tidak akan Terjebak

Bukan THR, Grab Beri Insentif Lebaran, SPAI: Kami Tidak akan Terjebak

Buruh Ojol Geruduk Kantor Cabang Perusahan Maxim
Puluhan masa aksi buruh ojol yang bekerja di perusahaan Maxim menggeruduk kantor cabang Maxim di kota Sukabumi, 7 Desember 2023 (Diakronik/Majalah Sedane)

DIAKRONIK.COM – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyerukan pengusaha angkutan panggilan atau aplikator untuk membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada buruh pengojek daring (ojol). Di sisi lain, buruh juga mendesak Kemenaker untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar mereka selain pembayaran THR.

Dalam konferensi pers ihwal Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2024 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, Senin (18/3/2024), Kemenaker menyebut THR bagi ojol harus dibayarkan karena status perjanjian kerja mereka adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

“Ojek online termasuk yang kami himbau untuk dibayarkan [THR], walaupun hubungan kerjanya adalah kemitraan, tetapi masuk ke dalam kategori Pekerja Waktu Tertentu,” ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker, Indah Anggoro Putri, saat jumpa pers di kantornya, Jakarta.

Menanggapi hal tersebut, aktivis serikat buruh Kokom Komalawati menyerukan kepada serikat buruh pengojek daring untuk menagih pernyataan Kemenaker yang akan mengawal kebijakan pemberian THR. Sebab, Kokom mengatakan buruh ojol tidak hanya berhak atas penerimaan THR, tetapi juga pemenuhan hak-hak dasar lainnya sebagai buruh PKWT.

“Kalau status perjanjian kerja ojol adalah PKWT, maka mereka berhak mendapatkan hak lainnya. Tidak hanya THR, tapi juga pembayaran upah sesuai ketentuan UMK [Upah Minimum Kabupaten/Kota], tunjangan, cuti, hak berserikat, dan hak-hak lainnya sebagai buruh,” papar Kokom melalui siaran Zoom, Selasa (19/3/2024).

Sejalan dengan Kokom, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lili Pujiati menegaskan bahwa kehadiran pemerintah, khususnya Kemenaker, dibutuhkan untuk menyelesaikan polemik pemberian THR bagi buruh ojol.

Oleh karena itu, ia mendesak Kemenaker agar bertindak tegas terhadap perusahaan aplikator dalam pembayaran THR. Salah satunya dengan memanggil perusahaan aplikator tersebut.

“Kami mendesak pemerintah mengirimkan surat untuk memanggil perusahaan aplikator agar memenuhi kewajiban pembayaran THR. Kami mendesak negara hadir melalui Kementerian terkait, dalam hal ini Kemenaker, untuk memenuhi kewajiban tersebut,” tegas Lili.

Menurutnya, tindakan mengirimkan surat melalui Kemenaker itu merupakan salah satu bentuk upaya serikat dalam mendesak dan mengawal pernyataan Kemenaker soal pemberian THR bagi buruh ojol.


Bukan Insentif, Tapi THR!

Sementara itu, perusahaan angkutan panggilan, Grab, telah memberikan pernyataan resmi atas himbauan Kemenaker tersebut. Chief of Public Affairs Grab, Tirza R. Munusamy menyatakan bahwa pihaknya siap memberikan insentif kepada para mitra pada hari pertama dan kedua Hari Raya Idul Fitri 2024.

“Namun dalam semangat kekeluargaan di bulan yang baik ini, Grab menyediakan insentif khusus Hari Raya Idul Fitri yang akan diberikan kepada para Mitra di hari pertama dan kedua Lebaran,” ucap Tirza R. Munusamy dalam keterangannya, Selasa (19/3/2024).

Pemberian insentif bonus alih-alih mengaburkan kewajiban perusahaan angkutan panggilan membayarkan THR. Hal ini bisa berimbas kepada hilangnya hak buruh ojol untuk memperoleh THR. Hal yang sama juga berlaku dalam hubungan perburuhan pengojek daring, dengan menyebut buruh ojol dalam hubungan kerja kemitraan.

Merespons soal kebijakan Grab tersebut, seorang buruh ojol perempuan yang bekerja pada perusahaan angkutan panggilan Maxim, Sanaz menilai pemberian insentif tidak sama dengan pemberian THR. Menurutnya, insentif justru mendorong para buruh ojol untuk bekerja saat Hari Raya.

“Kalau bonus insentif itu kan kami disuruh bekerja secara tidak langsung di Hari Lebaran untuk dapat upah lebih besar, padahal kami harusnya libur. Kami tetap maumya THR,” tegasnya melalui siaran Zoom.

Senada, Lili Pujianti juga menolak pemberian THR digantikan dengan bonus insentif. Pasalnya, keduanya memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.

“Kami menolak bonus insentif. Hal itu juga telah kami serukan di berbagai media. Kami tidak akan terjebak soal pemberian insentif itu. Kita ingin ketika Hari Lebaran off [libur]. Sekali lagi, kami tidak mau terjebak untuk mengambil insentif, dimana kami harus tetap bekerja di Hari Lebaran untuk mendapatkan upah lebih besar, karena itu kami mau mengawal pernyataan Kemenaker untuk mendapatkan THR itu,” tegas Lili.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Serikat Pengemudi Angkutan Roda Dua (Serdadu) Triono mengungkapkan bahwa selama ini hak-hak buruh ojol kerap kali diabaikan oleh aplikator dan negara, termasuk soal pembayaran THR.

Oleh karena itu, Triono menyatakan bahwa organisasinya dalam waktu dekat akan menggelar aksi massa mendesak Kemenaker memanggil perusahaan angkutan panggilan. Hal ini dilakukan agar Kemenaker mendesak perusahaan tersebut untuk segera membayarkan THR buruh pengojek daring.

“Kami akan melakukan gerakan aksi massa, supaya kita tetap mendapatkan hak-hak dasar kita sebagai buruh pengojek daring. THR hanya salah satunya saja, karena ada banyak hak-hak dasar kami tidak dipenuhi selama ini oleh aplikator dan negara.”

Sebelumnya, Kemenaker telah menerbitkan Surat Edaran (SE) bernomor M/2/HK.04.00/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2024 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. SE tersebut diteken oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pada 15 Maret 2023. 

Dalam SE tersebut, ditegaskan bahwa perusahaan memiliki kewajiban membayarkan THR kepada buruh yang dipekerjakannya dengan status kerja di antaranya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/kontrak), Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT/Tetap), status kerja harian lepas, dan buruh yang bekerja dengan satuan hasil.

Berdasarkan penghitungan THR yang diatur dalam SE tersebut, pengojek daring yang merupakan PKWT berhak mendapatkan THR sebesar satu kali upah, dengan catatan telah bekerja lebih dari 12 bulan masa kerjanya. Sementara bagi buruh pengojek daring dengan masa kerja kurang dari 12 bulan, pemberian THR dihitung secara proporsional. 

Selanjutnya, bagi buruh yang bekerja dengan status perjanjian kerja sebagai harian lepas dan satuan hasil, dihitung dengan tata cara yang berbeda. Penghitungan THR bagi buruh dengan status kerja jenis ini merujuk pada butir keempat huruf a yang berbunyi: pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan atau lebih, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.

Pada butir keempat lainnya, yakni huruf b mengatakan: bahwa pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 (dua belas) bulan, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

Sedangkan untuk buruh yang bekerja berdasarkan satuan hasil merujuk pada butir Surat Edaran Kemenaker tahun 2024 pada butir kelima, yang berbunyi: bagi pekerja/buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan satuan hasil, maka upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum hari raya.

Editor: Hastomo Dwi Putra

ARTIKEL LAINNYA

Hari HAM Sedunia, Buruh Desak Pemerintah Ratifikasi Konvensi ILO 190
Diskusi BPJS PBI Buruh-Ojol Banten: Minimnya Informasi dan Akibat Status Kemitraan
Survei Komite Hidup Layak: 76% Rumah Tangga Buruh Terjerat Utang karena Politik Upah Murah
Aliansi Dobbrak Buruh-Ojol Advokasi BPJS PBI Serahkan Berkas Permohonan ke Dishub Banten 

Temukan Artikel Anda!