Karangan adalah Kejujuran yang Kelewat Jernih

Karangan adalah Kejujuran yang Kelewat Jernih

Di Sini, Negara Empat Kali Disebut
Pohon Ilmu Pengetahuan (Diakronik/Akbar Ridwan)

Buk… buk… buk…

“Agak kencang dikit,” suruhnya sambil meloloskan rokok. Sebentar, aku mengerling ke arahnya. Bantinku hanya mampu membekam berang karena polahnya yang berlagak majikan.

Aku beranjak ke arah dapur untuk mengambil sesuatu yang ada di dekat gas melon. Benda tersebut tercampur dengan perabot lainnya dalam ember yang diselimuti kerak adukan semen dan pasir. Agak gusar juga aku mencarinya, hingga kutumpahkan beledi sampai tercecer semua perkakas yang ada di dalamnya.

Setelah mengurai alat-alat yang menumpuk dengan kaki, benda yang kucari akhirnya ketemu. Lekaslah kugenggam perkakas tersebut. Sejenak, kuseka peluh di kening sebelum kembali ke tempat semula. Dan setibanya di sana, tanpa ba juga bu, langsung kuayunkan tangan. Namun, dia segera menghalanginya. Entah kapan beranjak dari sofa kumuh itu.

“Kalau begini, hancur semua,” ujarnya seraya mengambil palu dari genggaman tanganku.

“Katanya agak kencang sedikit!” protesku.

“Goblok!!” hardiknya sejenak, “agak kencang itu maksudnya begini…” ucapnya sambil mempraktikkan. Bukkkkk…

Suara itu memang sedikit lebih keras. Ayunan tangannya begitu yakin mengenai bagian atas benda tersebut. Dan sialnya, kemenangan kini milik sejawatku. Televisi tabung itu kembali memunculkan gambar, walau warnanya kini menjadi hitam putih dan pada bagian paling atas tampak garis setebal tiga sentimeter membentang horizontal, tapi tak mengganggu pendengaran.

Sungguh mudah ditebak apa yang terjadi ketika kerumunan semut menghilang dan gambar kembali tampak. Mulutnya merekah menunjukkan gigi kelinci yang bolong di antara sela-selanya, kedua bahunya agak sedikit diangkat.

Aku yang tak mau kalah begitu saja segera mengambil rokok yang ia tinggalkan pada asbak. Kutahu hal tersebut bisa sebagai perlawanan, sebab itu batang terakhir dari bungkus yang sudah menganga, melompong kosong.

Mata sinisnya kini tertuju kepadaku, tapi tentunya aku tak ambil pusing dan memilih fokus pada sidang paripurna yang ada di kotak ukuran 14 inci. Dan kawanku ini segera menyusul duduk di teras, kakinya yang menekuk ia peluk dengan kedua tangannya. Dagunya jatuh pada tumitnya.

Setelahnya, kami fokus memperhatikan dengan saksama jalannya persidangan. Entah mengapa, rasanya seperti ada ketegangan yang menghinggapi sore hari ini. Dan situasi kemelut memuncak ketika sang pemegang palu kayu bertanya kepada peserta sidang.

Pandanganku tak teralihkan sama sekali. Jantungku berdeguk lebih cepat dari biasanya. Peluh bercucuran tak sebesar jagung. Perasaanku keruh dan seolah menjadi belingsatan ketika momen tersebut terjadi, tepat di depan mata kepalaku.

“Apakah semua sepakat rancangan undang-undang ini ditetapkan sebagai undang-undang?” tanya si pemegang palu kayu. Tanpa basa-basi, interupsi, atau perdebatan alot, para domba kompak mengucapkan kata setuju.

Dan… tokk… bukkkk… Suara ketukan palu di layar kotak terdengar seiring dengan gebrakan kawanku pada meja. Asbak plastik goyah dan terbalik. Abu dan puntung rokok berserakan. Aku hampir terpelanting ke belakang. Kagetnya bukan main.

“Berengsekkkkk,” hardiknya. Aku segan melihat reaksinya seperti itu. Dia sudah berdiri dan mondar-mandir seperti setrika. Polahnya menunjukkan betapa ia amat belingsatan, dirundung gelebah.

“Kau lihat tuh. Lihat kan?” tanyanya. Aku hanya mengangguk kecil penuh kengerian. Secepat kilat tangannya merampas rokok yang menempel pada bibirku. Diisaplah kemudian tembakau dan cengkeh yang sedikit lagi mengenai filternya, dan tanpa ditarik, asapnya segera menyamarkan ronanya.

“Terus harus gimana?” tanyaku. Sebetulnya, diri ini juga geram betul melihat sidang tersebut. Marah. Berangsang sekali.

Cilaka… Ini betul-betul cilaka,” ujarnya. Sejenak ia isap kembali rokok curian dan menyentil puntungnya ke arah tembok. Baranya buyar seiring dengan asap yang keluar dari mulutnya.

“Benar-benar beleid cilaka. Inilah kenapa aku enggak pernah percaya sama politikus. Lihat saja, rakyat berbondong-bondong menolak rancangan regulasi itu, tapi nyatanya? Mereka mengesahkan dan tampak tak merasa bersalah dengan dempulan bedak di mukanya!!”

Ia diam sejenak mengatur napasnya. Aku tahu kalimatnya belum tandas, “Aku bersumpah bakal mengingat semua pimpinan sidang. Aku berikrar bakal mengingat partai-partai yang bercokol di sana, partai dan orang-orang yang mengkhianati rakyat. Aku…,”

Kembali ia berhenti sebentar dan beranjak duduk di sebelahku. Menatapku dengan yakin, “Aku mendaulat mereka sebagai musuh!” serunya seraya menunjuk televisi yang layarnya sudah kembali dikerubungi semut.

Aku paham betul kegelisahannya. Riwayat hidupnya memang pelik. Berasal dari gugus pulau timur sana, ia tumbuh sebagai petarung yang harus berani melawan ganasnya laut. Walau aku agak sebal dengan dongeng-dongeng yang kerap ia bagi, tapi aku agak menaruh hormat juga dengan pengalamannya.

Sekali tempo—entah benar atau tidak—dia bercerita pernah hampir mampus di tengah lautan saat hendak menuju pulau tetangga. Memang, dia mengakui ada misi khusus yang ingin diselesaikan. Namun, aku sendiri belum tahu pasti apa yang membuatnya berbuat nekad seperti itu, walau akhirnya putar balik juga lantaran tak izin dengan ibunya.

Kendati demikian, lantaran jalan hidupnya yang dipaksa harus terbiasa bersabar dan menerima karena fasilitas umum yang amat kurang diperhatikan negara itulah, pada gilirannya membentuk kawanku ini sebagai pribadi yang tangguh.

Satu contoh saja, listrik yang sulit diakses membuat keluarganya rela merogoh kocek lebih dalam untuk membeli perkakas listrik tenaga matahari. Karena usaha itu, belakangan ia berseloroh, sejak ada panel surya keluarganya tak lagi memberikan uang kepada negara untuk listrik. Sejurus kemudian, juga tak perlu membayar air karena sumur dan hasil penyulingan air laut dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga.

“Kau tahu bukan? Kalau yang tidak bisa dibantah bahwa semua politikus, semua pejabat, mereka adalah orang yang sepandai-pandainya berbohong,” katanya sinis. Aku kembali terjaga dari ingatan tentangnya.

“Masih ingat dengan Al-Asbun: Manfaatulngawur?” tiba-tiba dia mengungkit buku yang paling keparat di muka bumi, bagiku.

Kirikkk. Iya aku ingat buku bedebah itu,” sahutku. Sohibku ini, entah kenapa lekas bangkit dan tampak mencari sesuatu di sekitar tembok kamar kos. Dan… dan ia segera kembali dengan puntung rokok yang dibuangnya tadi.

Dipantik api, diisap kembali rokok tersebut dan lekas ia sentil lagi ke arah tembok kamar yang sama. Asapnya tak terlalu banyak. Sesudahnya, ia kembali meneruskan, “Aku tahu kau pasti kesal sebab pada bagian akhir si imam besar mengakui itu buku fiksi. Tapi… bukankah karangan adalah kumpulan kejujuran yang diutarakan dengan cara lain?”

***

Al-Asbun: Manfaatulngawur. Ya, buku itu memang amat kurang ajar, atau lebih tepatnya si penulis yang berengseknya bukan main. Selepas meminjam buku tersebut darinya, aku betul-betul meluangkan waktu untuk membaca secara serius—suatu aktivitas yang jarang sekali kulakukan.

Dari bagian pembuka yang menjabarkan filsafat kitab itu, aku langsung terkesima dengan isinya yang menurutku menohok betul. Lambat laun, tenggelamlah aku dalam buku tersebut. Menghabiskan hampir dua jam untuk membaca buku yang jumlah halamannya hanya ada 98.

Pada bab-bab berikutnya, orang yang mengklaim sebagai imam besar ini, dengan gamblang menceritakan bagaimana negara bersiasat untuk menipu rakyat. Kata imam yang menurutku tak besar-besar amat, negara telah merampok rakyatnya melalui skema pajak sebagai salah satu modus operandi.

Menurutnya, mewajibkan pajak adalah kejahatan yang dilegalkan melalui perundang-undangan. Bahkan, bagi orang yang menolak diperdayai kiat bulus itu, mereka malah yang dituduh berbuat kejahatan karena melanggar aturan.

“Kenapa bisa demikian? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena yang punya kuasalah yang menentukan klasifikasi jahat dan baik, benar dan salah,” ujar imam besar busuk ini. Bodohnya, aku menganggukkan kepala saat membaca bagian itu.

Berikutnya, si penulis juga membidik pendidikan. Kata pemikirannya yang menurutku agak dangkal ini, negara sengaja menciptakan pendidikan yang mengerangkeng pelajar tanpa sepenuhnya disadari. Caranya, imbuh dia, dengan menyusun kurikulum yang sebetulnya tak sesuai dengan kehidupan rakyat banyak.

Ia mencontohkan, bagaimana bisa keluarga nelayan mesti belajar bercocok tanam dan sebaliknya, anak yang tumbuh di wilayah agraris harus belajar membuat biduk. Menurut pikirannya yang pongah itu, hal-hal demikian adalah bentuk pembodohan.

“Pendidikan itu semestinya disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Bukan penyeragaman. Untuk sejarah, negara pasti hanya memuat versi mereka sendiri. Pada bagian ini, negara lupa kalau sejarah adalah milik semua orang,” tulisnya.

Awalnya, aku memang sepakat dengan pendapatnya itu. Namun belakangan, aku berpikir ulang karena sejawatku yang sekalipun tumbuh dalam keluarga nelayan, tetapi juga bertani pala. Meski… ya, harus diakui aku keliru karena si imam besar sontoloyo ini, menyebut kalau pendidikan seharusnya disesuaikan dengan kondisi lingkungan.

Dan jengkelnya, ketika aku berada di lembar 98 yang menceritakan tentang si imam besar, pada paragraf ketiga alias terakhir dia mengakui bahwa apa yang tertuang pada buku tersebut adalah contoh karangan yang bersandar pada imajinasi, alias fiksi. Bajingan tengik, batinku.

Geram betul aku saat tiba di bagian itu. Aku merasa ada yang tidak adil. Berengsek amat, pikirku. Kala itu—lebih tepatnya dua hari yang lalu—lekaslah aku merangsek menuju kamar kawanku, kulemparlah buku tersebut ke mukanya yang sedang terlelap, dan ia langsung gelagapan saat imam besarnya kembali.

“Kau paham bukan, kalau karangan adalah kejujuran yang kelewat jernih? Jika ada kebohongan, bahkan jauh lebih bisa dimaklumi daripada kelancungan politikus, para pejabat,” ujarku dan lekas membanting daun pintu kamarnya.

***

Alih-alih menikmati mentari yang kian tua hari ini, kami sama termenung menghadapi kenyataan yang bukan getir lagi, melainkan sudah terncampur dengan anyir yang busuknya bukan main.

Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda, atau sekadar melempar hardikan keakraban. Kami bergeming, seakan-akan menanggung kinerja bobrok orang-orang yang tadi muncul dalam layar kotak.

Bila sudah seperti ini, aku hanya merindukan rumah—tempat sebaik-baiknya istirahat. Di sudung beratap jerami salah satu desa di Subang, Jawa Barat, aku tumbuh sebagai anak dalam lingkungan penggila dangdut, mabuk, pelacuran, dan ibadah.

Hal-hal tersebut seperti siklus di desaku. Biasanya, anak-anak muda lebih dulu terjerembab dalam periode yang disebut kiai sebagai masa kegelapan, sebelum akhirnya kembali berserah kepada-Nya.

Demikian adanya, sebab setiap anak yang sudah mengenal cinta, mereka akan menjadi seperti pemenang perlombaan bergengsi bilamana sudah bersetubuh dengan pasangannya. Jika ada pemuda dan pemudi yang masih belum merasakan bagaimana nikmatnya bersetubuh, maka bersiaplah menjadi bahan lelucon para sejawatnya.

Jika tak punya cinta, maka terjerumuslah pada oplosan yang banyak dijajakan di pinggir jalan saban bulan menerang. Apabila sudah setengah mabuk dan berahi tak bisa dibendung, berbegaslah ke bilik-bilik yang beratap terpal seadaanya.

Di sana, bersemayam cinta lima menit—itu sudah paling lama karena para bunga latar tak mengizinkan pelanggannya memakai ramuan atau tisu yang mampu memperlama durasi. Bodohnya, semua pelanggan menuruti dan merasa tertantang jika bidadari syahwat berbisik manja, “Masa harus pakai bantuan, enggak kuat, ya?”

Sementara orkes adalah selaknat-laknatnya hiburan, kata kiai. Pasalnya, setiap acara dangdutan selesai, besok paginya pasti berserakan sampah-sampah plastik bekas minuman oplosan. Sedang disemak-semak tak jauh dari panggung, kardus-kardus dibiarkan begitu saja, atau kejanggalan akan ilalang yang rebah berbentuk pola. Sesekali, kondom bekas juga ditemukan.

Dan bagiku, cinta tak ubahnya seperti pare yang sudah busuk. Aku betul-betul mengalami masa-masa kelam yang semestinya tidak terjadi. Singkatnya, dahulu seseorang yang pernah menjadi kekasihku saban malam Minggu malah berbagi ranjang dengan temanku sendiri.

Belakangan aku mengetahui itu karena mengendus ada yang tidak beres. Sebab, tiap kali pelesiran denganku pada Sabtu malam, bekas pacarku ini selalu minta dipulangkan sebelum pukul sembilan.

Terang saja, untuk remaja di desaku itu bukanlah waktu yang tepat. Pasalnya, jam-jam sesudah itu malah disebut sebagai waktu yang paling pas untuk mabuk cinta. Nahasnya, dia mengalami itu dengan temanku sendiri, bukan denganku.

Sesudahnya? Terlemparlah aku di daerah perantauan ini. Aku melanjutkan kuliah di Magelang, Jawa Tengah. Dan sialnya, harus bertemu dengan orang yang kini menjadi sahabatku. Seseorang yang berasal dari kepulauan timur sana.

Terkadang, banyak kejadian lucu juga yang dilewati bersamanya, seperti ketika aku hampir kena pentungan Muladi—anak bapak kos—yang merantau ke ibu kota sebagai aparat negara.

Kejadian belum lama itu membikin kami terpingkal-pingkal selama perjalanan pulang ke Magelang. Kami tentu tak habis pikir, Mul yang selalu kami suruh membeli rokok dan kopi itu kini berlagak seperti orang jago. Dengan seragam yang dikenakannya, dia memang tampak gagah, walau tak bisa menghilangkan sejarah hidupnya yang pernah menjadi kacung.

Meski sempat terbesit kami akan diusir, tapi nyatanya itu belum terjadi—paling tidak sampai sekarang, hari di mana orang yang mengaku wakil rakyat itu malah mengkhianati rakyat.

Dalam batin, sebetulnya aku juga tak tahu kenapa belum juga ada teguran dari pemilik kos. Mungkin saja, anaknya belum mengadu, atau apabila sudah, barangkali bapaknya tak ingin ambil pusing.

***

Krutuk… krutuk… krutuk…

Tiba-tiba suara aneh itu terdengar. Seketika aku kembali terjaga dari lamunanku. Tak berselang lama, bunyi yang nadanya mirip kembali masuk ke dalam telingaku.

“Apa, ya, itu?” tanyaku.

“He he he… aku lapar. Beli makan dong,” katanya dengan muka melas menunjukkan gigi kelincinya yang jelek itu.

Kirikkkkk… lupa kau sekarang tanggal berapa?’

“Lima Oktober. Terus?”

“Oke. Ayo lekas pergi.”

Dia tampak keheranan, “Ke mana?”

“Goblok! Ke ladang singkong dan empang kangkung milik Mbah Pudi. Ini tanggal ganjil, lupa kau?”

Ronanya semringah. Mulutnya merekah, “He he he… iya aku ingat. Tiap tanggal ganjil kita membantu memanen singkong dan kangkung Mbah Pudi. Kalau genap, mengamankan ubi dan papaya Mbah Rizal.”

“Mencuri goblok.”

“Hmm… kau yang goblok!! Susah banget diajak bersiasat dikit.”

“Heh… diajarin siapa kau?” hardikku.

“Mencontoh politikus.”


Sebelumnya: Tidak Semua Pendongeng Harus Kau Percayai

Editor: Redaksi Diakronik

ARTIKEL LAINNYA

Sowo, Si Hitam dan Kekerasan di Tempat Kerja
Tidak Semua Pendongeng Harus Kau Percayai
Sepeda Politik
Nyeri Sesak Dada Menur

Temukan Artikel Anda!