Pedjo meradang. Dalam laporannya berkepala “Chijanat”, tanpa tedeng aling-aling di awal tulisan ia menunjuk hidung para pemodal sebagai kaum kejam.
“Kapitalisme itoe soenggoeh kedjam kepada Si Lemah. Kekedjaman itoe sampai bisa menimboelkan chijanat kepada negerinja sendiri, djika keoentoengannja ada sedikit terantjam,” demikian Pedjo berseru dalam tulisannya yang terbit di Soeara Ra’jat, Tahun ke-2, 1 April 1919.
Sumber kegusaran Pedjo adalah siasat para pemodal perkebunan gula yang enggan setuju dengan desakan pengurangan lahan tebu untuk ditanami padi.
Pihak yang mendesak kebijakan tersebut adalah Sarekat Islam (SI) dan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV).
Dua organisasi ini ngotot tanaman tebu dikurangi 50% untuk ditanami padi karena pada medio 1919, beras langka. Bahkan, kata Pedjo, perkara itu bikin banyak orang mati karena kelaparan.
Desakan bikin para pemodal kalang kabut. Mereka bersiasat melalui pion-pionnya di Majelis Tweede Kamer di Belanda supaya melarang Pemerintah Hindia Belanda mengurai tanaman tebu.
Melalui surat-surat kabar, kelas pemodal turut bermain kata. Mereka menyatakan, bumiputera bakal rugi dan makin melarat kalau tanaman tebu dikurangi.
Bagi Pedjo, hal tersebut adalah muslihat kaum kapitalis dengan mulut manisnya. Sebab, yang sesungguhnya terjadi mereka ogah tanaman tebu dikurangi karena saat itu harga gula sedang moncer-moncernya.
Perkara kelaparan terus berlanjut pada 1920. Masalah ini juga yang dibahas Indische Partij saat melangsungkan rapat besar di Empire Bioscoop Medan, sebagaimana diwartakan Sama - Rata.
Dalam laporannya, redaksi Sama - Rata mengatakan, para peserta rapat gusar dengan harga beras yang mahal.
Upaya advokasi pun dilakukan dengan mengutus dua orang untuk bertemu Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johan Paul van Limburg Stirum, di Bogor.
Sudah harga beras mahal karena langka, orang kecil hidupnya makin pedih karena statusnya sebagai buruh juga suram.
Namun, bukan berarti buruh tidak bisa melawan, sebagaimana ditegaskan Redaktur Sama - Rata, Mohamad Noer alias Amat.
“Kaoem boeroeh oemoemnja ada kaoemnja orang ketjil jang akan meroeboehkan kekoeasaannja kaoem agoeng, lebih teges ada kaoemnja orang jang akan ambil pembalasan pada kaoem jang mereka merasa tadinja ada menindis padanja,” tegas Amat dalam esai bertajuk “Hak Manoesia”, Sama - Rata, 1920, halaman 209-210.
Mati karena kelaparan, sebagaimana disampaikan Pedjo lebih dari seabad lalu, kekinian masih jadi momok setia bagi mereka yang hidup miskin.
Mungkin para pembaca pun masih ingat dengan pemberitaan buruh ojek online pada Agustus 2024, Darwin Mangudut Simanjuntak, di Kota Medan, Sumatra Utara, yang meregang nyawa karena suatu keadaan yang mirip disampaikan Pedjo.
Untuk kematian Darwin, polisi bilang, berdasarkan keterangan saksi, korban tinggal sendiri dan memiliki riwayat asam urat. Saat bekerja, korban lagi sakit dan belum makan karena tidak punya uang.
Bahkan, sebelum ambruk pingsan, untuk mengambil pesanan makanan pelanggan pun ia perlu pinjam uang ke temannya.
Tidak ada yang mau sakit. Tidak ada yang ingin meregang nyawa karena kelaparan!
Namun, apa yang dialami Darwin adalah contoh konkret bahwa para penggede tidak betul-betul mau menyelesaikan kemiskinan. Justru sebaliknya, menjadikan kemiskinan sebagai bensin meraup suara.
Demikian perlu dipertegas. Sebab, korban meregang nyawa di tengah ingar bingar pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah 2024, ketika para penguasa dan calon penguasa memekikkan pengentasan kemiskinan!
Tapi, sekali lagi, kemiskinan cuma satu dari sekian muslihat untuk meraih simpati supaya dipilih.
Pada akhirnya, orang kere tetap banyak dan si miskin harus berjuang sendiri di tengah data kemiskinan yang diributkan karena perbedaan metode penghitungannya.
Saya sempat berpikir, kenapa, ya, data statistik kemiskinan—juga pengangguran—diributkan? Apa itu bukannya malah mengaburkan persoalan sesungguhnya?
Setelah segelas-dua gelas kopi, saya berpikir jika ini lagi-lagi soal politik.
Pangkalnya, menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran adalah prestasi, sekalipun diturunkannya dengan mengutak-atik metode penghitungannya!
Tapi, akrobat yang jelas-jelas tak menyelesaikan masalah ini toh tetap berlanjut.
Lagi pula, bagi para pembesar, mengamplas citra demi keberlangsungan kekuasaan jauh lebih penting, sehingga kemiskinan tetaplah tinggal sebagai komoditas politik praktis belaka.
Praktik seperti itu lazim digunakan jauh sebelum Indonesia merdeka. Mengutak-atik data supaya kelihatan kerja juga bagian dari gaweannya para residen dan asisten residen era Hindia Belanda.
Mereka menyulap data, seperti hasil perkebunan atau pertanian. Tujuannya? Satu-dua di antaranya agar tidak dimutasi ke daerah “kering” atau bahkan dipulangkan ke Belanda.
Karena fakta itu, dosen saya berpesan: kalau berhadapan dengan data statistik, jangan ditelan langsung, tapi kritisi dulu!
Hemat saya, pesan yang lebih tepat disebut wejangan itu masih relevan untuk diterapkan ketika kita berhadapan dengan data statistik dari segala zaman.
Dalam sistem ekonomi pasar bebas, pengangguran harus tetap ada untuk menjaga nilai, sebagaimana teori supply-demand.
Sederhananya, kalau barang sedikit atau langka, harganya bisa mahal. Sebaliknya, jika barangnya banyak dan yang minat dikit, ya, diskon gede-gedean! Biar itu tidak terjadi, maka keseimbangan di antara keduanya perlu dijaga.
Dalam konteks tenaga kerja di Indonesia, teori itu juga berlaku. Imbasnya, gaji buruh rendah.
Bahkan, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, ada 24 dari 38 provinsi yang rata-rata upah buruhnya lebih rendah daripada upah minimum provinsi (UMP)!
Saya bukan membahas UMP-nya layak atau tidak. Kalau mau membahas konteks itu, ya, jelas tidak layak dengan pertimbangan seabrek kebutuhan.
Jadi, jangan harap juga bisa beli rumah berbekal UMP. Mungkin lain cerita kalau yang dibeli rumah curut.
Soal UMP, ini ibarat jangkar, acuan, agar pemerintah kota dan kabupaten tidak menentukan batas upah di bawah UMP.
Jadi, kalau rata-rata upah buruh di bawah UMP, artinya masih banyak pemberi kerja atau perusahaan yang menabrak aturan.
Kenapa ini bisa terjadi? Satu di antaranya karena membludaknya pengangguran. Dengan kata kasar, pemberi kerja atau perusahaan bisa bilang gini: “Kalau nggak mau gaji segini, ya, sudah. Di luar sana masih banyak yang mau.”
Terjepit dengan situasi pelik, akhirnya tiada pilihan selain menerima. Syahdan, kondisi tidak sehat ini sangat potensial membuat pihak pemberi kerja sewenang-wenang.
Dan setelah lebih dari 44 ribu buruh mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak Januari hingga Agustus 2025 ini, bukan tak mungkin ke depannya kasus kesewenang-wenangan memberikan upah rendah kian marak.
Bisa jadi pula di laporan BPS tahun depan akan lebih banyak lagi provinsi yang rata-rata upah buruhnya di bawah UMP.
Kalaupun situasi membaik, dalam ekonomi pasar bebas kayak gini, pengangguran pasti tetap ada.
Maka dari itu, pengangguran dan kemiskinan seperti kembar siam, yang sampai kapan pun tidak akan benar-benar lenyap dan selalu dijadikan komoditas politik praktis belaka.
Sebal? Sudah pasti! Kita dihadapkan dengan situasi: pengangguran sengaja dipelihara kekuasaan untuk kepentingan sistem ekonomi yang bisa memakmurkan mereka.
Lebih menjengkelkan daripada itu, bersama kemiskinan, pengangguran dipelihara untuk digunakan sebagai muslihat dalam hajat lima tahunan!
Lalu, apa yang harus dilakukan? Saya bukan juru selamat. Tapi kalau boleh berpendapat, cobalah berhimpun, ngobrol, curhat, untuk jadikan keresahan sebagai bahan bakar melakukan sesuatu.
Kumpulan gagasan dari orang-orang resah adalah senjata yang lebih tajam daripada belati, juga lebih berbahaya daripada gumpalan mesiu.
Contoh-contohnya sudah ada. Yang terdekat dari perjalanan bangsa kita, misalnya, para penggerak yang membuat Indonesia tidak lagi sebagai bangsa terjajah.
Ya, para penggerak ini berhimpun, menyatukan kegelisahan, lalu melahirkan gagasan besar: Indonesia Merdeka! Sudah itu? Gagasannya bagai bola liar yang menghantam segala penjuru yang menghalanginya.
Gagasan yang kemudian terejawantahkan dalam tulisan berbagai rupa: esai, opini, cerita pendek, pemikiran, lirik lagu, bahkan novel, yang disebar melalui surat-surat kabar, majalah, pamflet, hingga corat-coret di tembok!
Contoh lainnya, di periode 1950-an, buruh yang resah juga berhimpun, menyatukan kegelisahannya ihwal tunjangan hari raya (THR), yang kemudian diperjuangkan hingga tercapai. Akhirnya? Sampai saat ini buruh merasakan hasilnya.
Jadi, berhimpunlah, curhatlah, lahirkanlah gagasan untuk dikerjakan bersama-sama. Sepanjang itu tidak merugikan hak orang lain, lakukanlah!