Warga Jepang bisa ambil cuti patah hati, benarkah? Sebagai seorang penggemar antusias drama televisi Jepang, saya dikejutkan dengan tautan berita dari seorang kawan tentang kabar pernikahan salah satu aktris Jepang favorit saya dengan lawan mainnya dalam serial drama. Ialah Yui Aragaki (32 Tahun), yang juga model papan atas di Negeri Sakura, dengan Gen Hoshino (40 Tahun).
Gen seorang penyanyi, penulis lagu, juga aktor ternama di Negeri Matahari Terbit. Keduanya pemeran utama serial Nigeru wa Haji da ga Yaku ni Tatsu (We Married as a Job) pada 2016 dan New Year’s Movie spesial-nya yang tayang Maret 2021.
Drama serial tersebut mengisahkan Moriyama Mikuri (Yui Aragaki), seorang perempuan 25 tahun yang tengah kesulitan mencari pekerjaan, dan Tsuzaki Hiramasa (Gen Hoshino), pria lajang dan pekerja kantoran berusia 35 tahun yang hidup sendiri serta tak punya banyak waktu mengurusi urusan domestik lantaran sibuk bekerja.
Keduanya dipertemukan ketika Hiramasa membutuhkan jasa untuk melakukan pekerjaan domestik di rumahnya. Mikuri lalu datang untuk mengerjakan pekerjaan tersebut secara profesional dan dibayar dengan layak.
Merasa diuntungkan dengan kondisi tersebut, mereka lantas menikah. Mulanya pernikahan tidak dilandasi rasa cinta, melainkan nilai logis yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun, seiring berjalannya waktu, pola hubungan mereka berubah, rasa cinta tumbuh bersemi menghiasi hubungan Hiramasa dan Mikuri.
Pada 19 Mei 2021, dalam unggahan Instagram pribadinya, Gen (@iamgenhoshino) mengumumkan kabar bahagia—sekaligus mengharukan—kepada para fans dan publik ihwal pernikahannya dengan Aragaki atau akrab disapa Gakki ini. Berikut pernyataan Gen di akun media sosialnya:
“Pada semua orang yang telah mendukung saya hingga kini. Halo, saya Gen Hoshino Pertama-tama saya memohon maaf karena mengumumkan hal pribadi saat keadaan sulit seperti ini. Namun, hari ini, saya, Gen Hoshino, akan menikahi Yui Aragaki.
Sebelumnya, saya membuat pengumuman dalam keadaan jatuh sakit dan terpaksa harus berhenti bekerja sementara. Namun kali ini, saya bisa membuat pengumuman bahagia bagi semua orang yang telah mendukung saya, termasuk mereka yang khawatir waktu itu.
Saya sangat bahagia dan merasa bersyukur. Mulai detik ini, bersamanya (Yui Aragaki), saya berharap dapat melanjutkan hidup dengan tenang. Dan untuk pekerjaan yang saya tekuni kini, baik dari aktivitas di bidang musik, sebagai seorang aktor, penulis, dan lainnya, saya berharap agar bisa memperhatikan dan menjalani semuanya secara lebih baik dan lebih dalam lagi.
Terima kasih atas dukungan hangat dari teman-teman, baik dari yang jauh maupun yang dekat, selama ini. Saya berharap agar teman-teman semua bisa memberikan dukungannya dengan perasaan bahagia. Dan mulai detik ini, saya ingin terus melakukan apa yang saya anggap menarik dan menyenangkan. Mohon kerja samanya! 19 Mei 2021, Gen Hoshino.”
Kabar tersebut tentu disambut para fans dengan berbagai reaksi; ada yang menganggap mereka pasangan ideal dan cocok, tapi ada pula yang sedih karena harus merelakan idola kesayangannya dipersunting orang lain. Bagi para penggemar Gakki yang merasa “patah hati”, tentu saja mereka sulit menerima kenyataan, bahwa “The Nation’s Girlfriend”—julukan fans Yui Aragaki—akan segera menikah.
Melihat fenomena ini, beberapa perusahaan di Jepang menerapkan kebijakan cuti spesial alias cuti patah hati bagi pekerja yang patah hati untuk menyembuhkan luka emosionalnya kerena sang idola menikah. Axia, sebuah perusahaan teknologi yang berbasis di Tokyo, mengumumkan pemberian cuti bagi pekerjanya yang mengidolakan Gakki dan Gen pada 20 Mei 2021. Walaupun, tidak secara gamblang dikatakan sebagai cuti patah hati.
Perusahaan lainnya, TRUSTRING juga menerapkan hal yang sama. Perusahaan ini, sudah memiliki sistem lost leave, yang mana para pekerjanya dapat mengambil cuti selama mungkin ketika artis idolanya menikah atau dalam kondisi darurat, termasuk juga cuti patah hati.
Beberapa perusahaan di Jepang telah menerapkan sistem liburan oshi, yang berarti pekerja dapat mengambil cuti 3-10 hari apabila idola favoritnya menikah atau pensiun dari karirnya. Ketentuan tersebut berlaku pula untuk para pekerja yang akan menghadiri acara konser atau meet and greet sang idola.
Pada saat pekerja mengambil hak cuti itu, perusahaan tetap membayar mereka. Sistem liburan oshi sendiri muncul karena kultur kerja di Jepang yang overwork atau lazim dikenal dengan istilah karoshi, sehingga membuat kesehatan mental di Negeri Samurai semakin memburuk.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Seperti yang telah banyak dimuat media massa, berita pernikahan para pesohor nan rupawan dan pujaan hati banyak orang kerap terjadi. Sebut saja perkawinan penyanyi Raisa Andriana dan aktor Hamish Daud pada 2017, juga penembang Isyana Sarasvati dengan Rayhan Maditra di 2020.
Kedua momen pernikahan para selebritis tersebut juga banyak menuai reaksi warga Indonesia. Bahkan, hari bahagia idolanya itu, sampai ada yang mendapuk sebagai “Hari Patah Hati Nasional”. Namun, kekecewaan masal tersebut tidak berbuah menjadi gerakan cuti patah hati.
Pertanyaannya adalah apakah para penggemar Raisa, Hamish, dan Isyana dari kalangan buruh menerima hak cuti patah hati, sebab merasa sakit hati dan mental breakdown karena sang idola menikah? Jawabannya tentu tidak!
Mendapatkan hak cuti dengan alasan sakit hati, alias cuti patah hati, karena sang pujaan menikah sama mustahilnya dengan mewujudkan imajinasi untuk menjadi kekasih atau pasangan sang idola.
Memperoleh hak cuti yang sifatnya wajib saja, seperti cuti tahunan, serta cuti hamil dan cuti haid khusus buruh perempuan, sulitnya bukan main, apalagi cuti patah hati. Padahal, secara hukum normatif sudah diakomodir dalam peraturan perundang-undangan tentang perburuhan di Indonesia.
Jika melirik pengalaman para buruh perempuan yang bekerja di pabrik garmen di Kawasan Berikat Nasional (KBN), Cakung, Jakarta Timur, maka kita akan menemukan banyak sekali masalah terkait penerapan hak maternitas. Misal, cuti hamil dan cuti haid, meski secara hukum dilindungi dan wajib dilaksanakan.
Hal tersebut bukan asumsi penulis semata. Namun, sebagaimana temuan riset Perempuan Mahardhika pada 2017 yang berkepala Pelecehan Seksual dan Pengabaian Hak Maternitas pada Buruh Garmen Kajian Kekerasan Berbasis Gender di KBN Cakung.
Salah satu temuan kajian tersebut adalah masih ada permasalahan bagi sebagian buruh perempuan yang sedang hamil. Mereka terpaksa menyembunyikan kehamilannya pada masa awal mengandung. Sebab, menyatakan kehamilan sejak dini dapat menghilangkan kesempatan perpanjangan kontrak. Sederhananya, buruh perempuan yang kedapatan hamil tak lagi bisa bekerja!
Buruh perempuan yang menyembunyikan status kehamilannya tetap mengerjakan beban kerja yang sama dengan buruh perempuan tidak hamil. Pun kerja tambahan pemenuhan target produksi dan kerja lembur yang seringkali tidak wajib, tapi dipaksakan oleh perusahaan.
Kondisi tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan ibu dan janinnya. Resiko terburuknya? Buruh perempuan hamil terancam mengalami keguguran.
Situasi serupa juga terjadi pada buruh perempuan yang seharusnya mendapatkan cuti menstruasi setiap bulannya. Alih-alih memberikan hak cuti, perusahaan justru memberikan iming-iming berupa penggantian uang bagi buruh perempuan yang masuk kerja.
Sebagaimana diketahui, memaksakan bekerja dalam keadaan menstruasi dapat memengaruhi kondisi fisik. Lebih parahnya lagi, ada pula perusahaan yang mempersulit proses cuti haid; buruh perempuan harus menyertakan surat keterangan dokter sebagai syarat mengambil cuti.
Dengan demikian, perusahaan seakan-akan menganggap siklus menstruasi yang dialami setiap perempuan adalah suatu penyakit yang berbahaya. Sehingga, dibutuhkan surat sakit untuk menerima permohonan cuti haid. Pola pikir ini jelas keliru! Padahal, datang bulan merupakan siklus alamiah seorang perempuan dan bukanlah penyakit berbahaya.
Setali tiga uang dengan pekerja manufaktur, para pekerja media dan industri digital yang dianggap khalayak memiliki waktu kerja fleksibel dan tidak mengikuti jam kantoran, justru seringkali bekerja dalam situasi yang sangat intens melebihi pekerja yang punya jadwal pasti.
Kekinian, mereka menghadapi iklim kerja yang sangat kompetitif, individual, dan berintensitas tinggi. Akibatnya, mereka sulit membentuk serikat pekerja yang mempunyai daya tawar kuat dan bisa mendorong pemenuhan hak-hak dasar perburuhan, termasuk hak untuk mendapatkan cuti.
Sejauh ini, pengaturan tentang cuti mengalami pelucutan setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kini telah diganti menjadi UU No 6/2003. Pengaturan mengenai cuti tahunan diatur dalam Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
“Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.”
UU Cipta Kerja juga meniadakan pengaturan tegas mengenai istirahat panjang dan pengaturan lembur. Hal tersebut seluruhnya dikembalikan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
World Health Organization (WHO), menyatakan, bekerja dalam waktu lama menimbulkan risiko kesehatan yang membunuh ratusan ribu orang setiap tahunnya, sebagaimana hasil studi WHO yang terbit pada Senin, 17 Mei 2021, di Journal Environment International.
Studi global WHO dan International Labour Organization (ILO), menemukan pada 2016 terdapat 488 juta orang terpapar risiko bekerja dengan jam kerja yang panjang. Secara keseluruhan, lebih dari 745.000 orang meninggal tahun itu, sebab terlalu banyak bekerja yang mengakibatkan stroke dan penyakit jantung.
Hasil studi ini turut menunjukkan, orang yang bekerja lebih dari 54 jam seminggu berisiko besar meninggal karena terlalu banyak bekerja. Setidaknya jam kerja panjang telah membunuh tiga perempat juta orang setiap tahun.
Kesulitan memperoleh hak cuti merupakan potret krisis yang sedang terjadi hari ini. Tenaga para buruh kian dieksploitasi untuk meningkatkan laba dan keuntungan majikan. Tak peduli apa pun kondisi yang tengah dialami para buruh. Malahan, kelas pekerja di Indonesia harus berusaha sampai hampir mati untuk sekadar menikmati hak cuti dan berhenti sejenak dari pekerjaannya.
Catatan: Artikel ini sebelumnya terbit di Trimurti.id. Diakronik.com sedikit melakukan editorial kembali. Publikasi ulang sudah mendapatkan izin dari penulis dan Trimurti.id.