LBH Kalimantan Barat menganggap jaksa memberikan cacat dakwaan terhadap Mulyanto. Ia didakwa melakukan penghasutan dan mengajak massa melakukan aksi kekerasan pada peristiwa 19 Agustus 2023 di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT Wirata III, anak perusahaan PT Duta Palma Group di Desa Sinar Baru, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Padahal, apa yang dilakukan Mulyanto saat itu adalah hanya mengoordinasikan aksi ratusan buruh PT Duta Palma Group, agar perusahaan memenuhi hak-hak normatif mereka.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Pejuang Lintas Khatulistiwa (DPC SP Pelikha) Kabupaten Sambas itu pertama kalinya duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Pontianak pada 25 Maret 2024. Dalam sidang itu, Mulyanto didakwa melanggar Pasal 160 KUHP dan 170 KUHP juncto Pasal 2 ayat 1 UU nomor 12 KUHP 1951.
Dakwaan jaksa terhadap Mulyanto merujuk pada peristiwa 19 Agustus 2023. Saat itu, sekitar 200 buruh PT Duta Palma Group Kabupaten Sambas-Bengkayang melakukan mogok kerja sekaligus aksi damai gelombang ketiga yang dimulai pada 1 Agustus 2023.
Pasalnya, tuntutan massa buruh dalam gelombang mogok pertama pada Mei dan gelombang kedua pada Juni 2023, tak kunjung digubris oleh pihak perusahaan.
Dilansir dari siaran pers Aliansi Buruh Sambas Bengkayang (ABSB) dan Lembaga Bantuan Hukum Kalimantan Barat (LBH Kalbar) yang diedarkan pada 15 Maret 2024, hak-hak buruh seperti pemotongan upah, jaminan kesehatan, pesangon, dan premi, tidak dipenuhi oleh PT Duta Palma Group selama 17 tahun hingga tulisan ini terbit.
Namun, pada 19 Agustus 2023 atau hari ke-19 aksi mogok kerja itu berlangsung, massa aksi justru dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian menggunakan peluru karet dan gas air mata.
Menurut sumber yang sama, saat itu buruh melakukan aksinya secara damai dan tertib di dalam wilayah perusahaan. Namun, ketika massa aksi dibubarkan secara paksa, situasi aksi menjadi tidak terkendali. Massa lalu berusaha mempertahankan diri mereka dan mengevakuasi buruh perempuan serta anak-anak.
Dua bulan setelah peristiwa tersebut, tepatnya pada 14 November 2023, Mulyanto ditangkap oleh aparat Polda Kalbar di Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas. Keesokan harinya, Mulyanto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penghasutan, kekerasan, dan penggunaan senjata api.
Ia disangkakan menggunakan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 170 ayat (1) tentang perusakan, dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Penggunaan Senjata Api dengan ancaman hukuman maksimal yaitu hukuman mati.
Eksepsi Mulyanto Ditolak, Cacat Dakwaan Terhadap Mulyanto
Dalam sidang kedua dengan agenda pembacaan eksepsi pada 1 April 2024, tim penasihat hukum Mulyanto menyatakan, bahwa dakwaan jaksa cacat secara formil. Salah satunya adalah kekeliruan jaksa soal tempat kejadian peristiwa pidana atau locus delicti dalam surat dakwaan terhadap Mulyanto.
Melalui hasil analisis berkas perkara yang dilakukan oleh tim kuasa hukum Mulyanto ditemukan kejanggalan. Asisten Pengabdi Bantuan Hukum (APBH) Bagian Advokasi LBH Kalbar, Ihsan Mahdi menuturkan, bahwa peristiwa 19 Agustus 2023 itu terjadi di Kabupaten Sambas. Namun, jaksa penuntut umum malah menyebut locus delicti peristiwa itu terjadi di Kabupaten Bengkayang.
Menurut Ihsan, dampak kekeliruan locus delicti dalam surat dakwaan Mulyanto sangat fatal. Maka dari itu, tim penasihat hukum Mulyanto dalam eksepsinya, menyatakan Mulyanto tidak dapat diadili di dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri (PN) Bengkayang.
“Itu yang kemudian kita anggap locus delicti dari perkara Mulyanto ini tidak tepat dalam surat dakwaan, dan itu sangat fatal. Harusnya, kalau eksepsi kita dibenarkan oleh pihak hakim, yang berwenang untuk mengadili perkara Mulyanto bukan Pengadilan Negeri Bengkayang, tapi Pengadilan Negeri Sambas,” jelas Ihsan.
Selain masalah kekeliruan locus delicti, kuasa hukum Mulyanto juga menyebut dakwaan jaksa error in persona. Pasalnya, lanjut Ihsan, Mulyanto merupakan pembela HAM yang memperjuangkan hak asasi, hak konstitusional, dan hak normatif buruh PT Duta Palma Group.
Atas dasar itu, Mulyanto seharusnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terkait aktivitas pembelaannya terhadap buruh.
“Kita juga keberatan bahwa Mulyanto tidak dipandang oleh para jaksa sebagai pembela HAM. Artinya tidak menggunakan perspektif anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), di mana dia seharusnya tidak bisa dikriminalisasi,” jelas Ihsan.
Kuasa hukum Mulyanto juga menyatakan keberatan karena kliennya tidak dihadirkan secara langsung di persidangan sejak sidang pertama digelar pada 25 Maret 2024. Diketahui, hingga sidang pembacaan putusan sela pada 23 April lalu, Mulyanto masih dihadirkan secara virtual.
Ihsan menjelaskan, Mulyanto sudah sepatutnya dihadirkan secara langsung, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 154 ayat (1) KUHAP bahwa terdakwa harus dihadirkan dalam persidangan.
Dalam situasi tertentu, persidangan memang boleh digelar secara virtual apabila situasi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan secara tatap muka. Dalam Pasal 1 ayat 12 dan ayat 16 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara Elektronik, disebutkan bahwa pertimbangan situasi yang tidak memungkinkan itu di antaranya karena jarak, bencana alam atau wabah penyakit, dan keadaan darurat yang ditentukan oleh pemerintah atau keadaan lain yang menurut majelis hakim perlu dilakukan persidangan secara online.
Namun, ketiga unsur tersebut nampaknya tidak terpenuhi. Jarak antara Rutan Negara Kelas II A Pontianak [tempat Mulyanto ditahan] dengan PN Pontianak hanya sekitar tujuh kilometer. Selain itu, wilayah hukum PN Pontianak juga tidak sedang dilanda bencana alam maupun wabah penyakit. Terakhir, pemerintah pusat maupun daerah tidak sedang menetapkan keadaan darurat, serta tidak ada penetapan khusus dari majelis hakim untuk dilakukan sidang secara online.
Adapun jika merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka persidangan yang digelar secara online itu telah melanggar hak dasar Mulyanto, termasuk hak untuk diadili di hadapan pengadilan dan memiliki kedudukan yang sama di hadapan pengadil dan badan pengadil.
Selain itu, dihadirkannya terdakwa secara langsung dalam persidangan merupakan bagian dari proses yang adil, memastikan akses yang luas antara terdakwa dan penasihat hukumnya, menghindari gangguan teknis, serta memastikan bahwa pertanyaan yang diajukan tidak memaksa terdakwa atau saksi untuk memberikan jawaban yang tidak sah sehingga berpotensi membatalkan putusan. Hal itu sebagaimana termaktub dalam Pasal 153 ayat (2) huruf b juncto Pasal 153 ayat (4) KUHAP.
“Unsur-unsur itu kan tidak kita temui dalam proses perkara Mulyanto. Atas dasar itulah kami mengajukan keberatan jika Mulyanto dihadirkan secara online. Lagipula memang di KUHP, setahu kita, di tahap pembacaan surat dakwaan, terdakwa itu harus dihadirkan secara offline,” terang Ihsan.
Namun, eksepsi Mulyanto itu ditolak oleh majelis hakim PN Pontianak dalam sidang putusan sela pada Selasa, 23 April 2024. Menurut majelis hakim, eksepsi Mulyanto tersebut sudah masuk dalam pokok perkara sehingga harus dikesampingkan. Dengan adanya putusan sela itu, proses persidangan pun tetap dilanjutkan.