Oleh: Setiati Surasto
Dimuat Harian Rakjat Edisi Rabu, 9 November 1960 halaman 3-4.
“Buruh wanita muda di perusahaan perkebunan Sumatra Utara menerima upah 80% dari buruh laki2 dewasa. Buruh wanita jang suaminja bekerdja diberi upah sama dengan buruh wanita muda,” demikianlah laporan jang diberikan oleh wakil buruh wanita perkebunan dalam Kongres ke-III SOBSI jang baru lalu.
“Buruh wanita di perusahaan2 tekstil menerima upah jang pada umumnja kurang dari buruh laki2. Mereka mengerdjakan pekerdjaan2 jang tarifnja ditetapkan lebih rendah,” utusan Serikat Buruh Tekstil dan Pakaian mendjelaskan dalam uraiannja.
“Buruh wanita di perusahaan2 rokok disamping upahnja jang sangat rendah dibanding dengan pekerdja2 di lain perusahaan, mengalami diskriminasi dalam upah dan djaminan sosial.”
“Pegawai2 wanita di djawatan2 pemerintah gadjihnja diatur dalam PGPN, setjara resmi tidak mengalami diskriminasi dibidang upah. Akan tetapi dalam menghadapi kenaikan pangkat dan memangku djabatan2 jang penting atau jang bertanggung djawab, pegawai wanita selalu dikalahkan dari tjalon2 prija, walaupun masa kerdja dan ketjakapannja sama, hanja oleh karena pegawai wanita itu bersuami atau mempunjai keluarga.”
Demikianlah laporan2 jg. dikemukakan oleh utusan2 buruh dan pegawai wanita dalam Kongres ke-III SOBSI di Solo pada bulan Agustus jl. Utusan2 ini jang mewakili beratus2 dan beribu2 buruh wanita dengan tandas mengadjukan soal2 jang dihadapi kaum buruh wanita pada dewasa ini, dan serta usul2nja jang kongkrit.
Disamping perbedaan upah jang dialami diberbagai tjabang kerdja seperti diperkebunan, perusahaan beras, tekstil, rokok, diperusahaan industri ringan, seperti pabrik gelas, pabrik limun dan lain2, mereka itu mengemukakan soal tempat penitipan baji dan anak jang dibutuhkan tidak sadja oleh buruh2 wanita diperusahaan partikelir, tetapi djuga oleh pegawai2 wanita.
Soal ketiga jg. banjak mendapatkan perhatian ialah pelaksanaan Undang2 Kerdja no. 1 tahun 1951 tentang pelaksanaan hak tjuti hamil dan melahirkan anak. Pada waktu ini penggunaan hak tersebut banjak mengalami kesulitan, sehingga peraturan2 jang mengatur pelaksanaannja lebih banjak merupakan pembatasan2 daripada mengatur bagaimana pekerdja wanita dapat menggunakan undang2 tersebut semaksimal2nja.
Konvensi no. 100 dari ILO (Organisasi Perburuhan Internasional dari PBB), jang isinja menjatakan adanja pengupahan sama untuk pekerdjaan sama antara buruh wanita dan laki2, dua tahun jang lalu telah diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakjat dan Pemerintah Indonesia. Akan tetapi hingga kini belum dikeluarkan peraturan pelaksanaannja, sehingga pekerdja dan pengusaha tidak ada pedoman apa jang harus dilakukan untuk merobah sesuatu peraturan pengupahan supaja sesuai dengan Konvensi no. 100 tersebut.
Pengertian upah jang sama belum diberi difinisi jang djelas dan tepat. Apakah upah pokok jang sama, apakah upah ditambah dengan penghasilan2 lainnja? Ini semua belum dirumuskan. Djuga mengenai pekerdjaan jang sama, belum diketahui apa jang dimaksudkan. Sementara itu pengusaha2 dan madjikan jang berwenang untuk menetapkan upah pada hakekatnja masih menggunakan tafsiran dan pengertian jang lama mengenai pengupahan sama, jaitu dilihat dari satu lapangan kerdja, satu matjam kerdja dan samanja produksi jang dihasilkan.
Dengan demikian maka tiada banjak pekerdjaan jang sama, atau semua matjam pekerdjaan ada perbedaannja satu sama lain, ada penilaian jang lain pula, sehingga madjikan dengan mudah dapat menetapkan upah jang berbeda pula. Sedangkan sangsi dalam melaksanakan upah sama untuk pekerdjaan jang sama belum ada.
Hanja dengan perdjoangan buruh wanita jang gigih dibawah pimpinan serikat buruhnja, buruh wanita dapat mengurangi perbedaan2 jang berlaku dibidang upah dan pemberian djaminan sosial.
Mengenai tuntutan buruh wanita jang urgent lainnja jaitu tentang tempat penitipan anak dan baji di tempat2 kerdja, ataupun ditempat lainnja. Jang penting ialah, bahwa kaum ibu jang berkerdja, dengan hati jang lega dan rela dapat meninggalkan atau menitipkan anak bajinja, sehingga ia dengan tenang dapat bekerdja.
Makin banjak wanita dan ibu jang bekerdja diluar rumah tangga, makin besar kebutuhan akan tempat penitipan anak dan baji. Djika dulu salah seorang saudara atau adik wanita ditetapkan untuk tinggal dirumah, sedangkan ibu bekerdja, namun sekarang gadis2 itupun mempunjai hasrat untuk bekerdja, untuk mentjari nafkah sendiri dan tidak dalam kedudukan jang tergantung kepada saudara atau orang tua.
Pembantu rumahtangga jang dulu dapat dianggap anggota keluarga jang rendah kedudukannja, dibajar dengan murah sadja, pada waktu sekarang ini tidak dapat berlaku lagi. Pembantu rumahtangga mempunjai pengertian tentang harga tenaga kerdjanja, dan mengerti pula, bahwa lapangan kerdja tidak terbatas pada keluarga jang diikuti sadja.
Demikianlah, maka hak bekerdja bagi wanita jang mulai digunakan dengan baik, hak kerdja jang akan memberikan kedudukan jang zelfatadig (independen—red) kepada wanita, mendjumpai kesulitan2 jang fondamentil, jaitu tentang pemeliharaan dan keselamatan anak2nja.
Hak bekerdja bagi wanita dengan perlindungan bagi ibu dan anak sehingga hak tersebut betul2 dapat digunakan dengan maksimal dapat didjumpai di negeri2 sosialis dan di negeri2 demokrasi rakjat, seperti dapat kita saksiskan di Uni Sovjet, di RRT, dll.
Banjak pengalaman jang dikemukakan utusan2 wanita dalam Kongres SOBSI, bagaimana kaum ibu jang bekerdja tidak mendapatkan konduite jang baik oleh karena sering terlambat datang, sering tidak masuk, sering pulang lebih dulu, itu semua oleh karena adanja soal2 tentang anak, anak jang sakit, anak jang harus diantar kesekolah, pembantu jang tidak datang dan lain sebagainja. Tidak kurang pahit pula pengalaman pekerdja dan pegawai wanita, jang sering harus menelan sindiran teman2nja sekantor, sewaktu datang terlambat atau pulang lebih dulu.
Apa jang harus diperbuat oleh kaum wanita dalam mengatasi masalah2 tersebut diatas? Dalam serikatburuh2, persoalan jang menjangkut madjikan, pengusaha dan kepala2 djawatan dapat diperdjoangkan. Akan tetapi soal ini sebenarnja menjangkut pula masalah wanita pada keseluruhannja.
Perbedaan dalam upah dan djaminan sosial serta djabatan2, adalah bentuk2 jang njata dari diskriminasi jang masih terdjadi di tanah air kita. Hak sama jang mendjadi tudjuan wanita Indonesia, jang tertjantum dalam Undang2 Dasar Republik Indonesia setjara garis besarnja dalam praktek sehari2 masih mengalami kerentanan2. Oleh karena itu maka perdjoangan untuk hak sama dilapangan upah ini harus dilakukan oleh semua kaum wanita, baik jang berada dilingkungan perburuhan, dipertanian dan dilain2 bidang.
Demikian pula halnja dengan hak untuk mendapatkan djaminan sosial seperti tempat penitipan anak. Sebab apa artinja ada hak untuk bekerdja, djika dalam prakteknja hak tersebut tidak dapat dijalankan, oleh karena dihalangi, oleh karena tidak adanja djaminan bagi anak jang ditinggalkan.
Kaum buruh wanita dan kaum buruh wanita dari semua golongan hendaknja mengadakan kerdjasama jang erat untuk dapat mentjapai tudjuannja, jaitu hilangnja diskriminasi dalam segala bidang dan dalam bentuk apapun.
Catatan: Redaksi Diakronik.com menuliskan kembali esai Setiati Surasto yang dimuat Harian Rakjat tanpa mengubah penggunaan kata dan struktur kalimat. Pemuatan ulang sebagai bagian kerja-kerja kliping yang kami lakukan.
Dalam esai Setiati, kita dapat mengetahui isu perempuan terkait upah layak, diskriminasi, fasilitas penitipan anak di tempat kerja, cuti hamil dan melahirkan, serta kedudukan dan upah layak bagi pekerja rumah tangga merupakan isu penting yang sudah diperjuangkan sejak lama. Namun, hingga saat ini, isu-isu tersebut masih menjadi momok bagi perempuan Indonesia yang harus dilawan!