Pada 27 September tahun 2023 yang lalu, saya berkesempatan untuk bertemu dengan salah satu buruh, sebut saja Kusmawan. Ia bekerja di perusahaan rintisan (startup), bernama PT Pemuda Cari Cuan. Perusahaan ini bergerak dibidang kuliner, sambal, dan minuman segar. Hasil produksi tersebut dijual dengan jenama bernama Mangkokku.
Dilansir dari Kumparan.com, nama Gibran Rakabuming Raka, tercatat pernah menjadi Komisaris Utama sepanjang tahun 2019 hingga 2024 bersama dengan Kaesang Pangarep (Kumparan.com, 22/12/2023).
Menurut situs Makkokku.com, perusahaan ini didirikan oleh empat orang pada tahun 2019. Dua di antaranya berlatar belakang sebagai koki sekaligus pengusaha: Randy J Kartadinata dan Arnold Poernomo. Sementara, dua orang lainnya adalah anak kandung Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep.
Pada tahun 2021, Mangkokku telah memiliki gerai sebanyak 45 titik di pelbagai kota, termasuk di Kota Semarang. Di Semarang terdapat dua gerai Mangkokku yang berada di jalan MT Haryono dan Jendral S Parman.
Berdasarkan salinan perjanjian kerja Kusmawan, ia bekerja di gerai yang terletak di jalan S Parman. Kusmawan dikontrak sebagai koki dengan status perjanjian kerja buruh kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Kontrak kerja itu diteken sejak 30 Maret 2023 dan berakhir 29 September 2023; sekitar enam bulan masa kerjanya. Selama bekerja, Kusmawan mengaku mendapatkan upah di bawah dari ketentuan Upah Minimum Kota (UMK) Semarang.
Seiring berjalannya waktu, sebelum masa kontrak berakhir, sekitar bulan Juni 2023, khusus gerai di Kota Semarang, manajemen gerai melakukan pengurangan buruh alias pemecatan sepihak. Hal ini berimbas juga terhadap Kusmawan.
Manajemen gerai memberikan dua pilihan kepada Kusmawan: mengambil demosi–turun jabatan dari koki menjadi pelayan atau waiters–atau mengundurkan diri alias PHK atas kemauan sendiri.
Kedua pilihan yang ditawarkan sama-sama buntung. Tentu kedua pilihan tersebut merupakan opsi yang dirancang secara sepihak dan sewenang-wenang oleh manajemen gerai. Akhirnya, dengan terpaksa Kusmawan memilih untuk mengikuti demosi jabatan sebagaimana yang telah ditentukan. Meskipun setelahnya Kusmawan juga berakhir dengan pemutusan hubungan kerja.
Namun, Kusmawan merasa ada yang janggal. Pasalnya, manajemen gerai masih merekrut tenaga kerja baru, di tengah dalih perusahaan merugi. “Kok Mangkokku masih merekrut tenaga kerja buruh untuk bekerja?” tanyanya kepada saya.
Dalam kasus Kusmawan, saya menemukan beberapa persoalan pelanggaran hukum perburuhan. Pertama, mengenai status kontrak kerja Kuswana yang bermasalah. Lantaran, jenis pekerjaan koki merupakan pekerjaan inti dari produksi, yang seharusnya terikat perjanjian kerja tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Terlebih, Kusmawan bekerja dengan pengaturan enam hari kerja (Senin – Sabtu) selama 40 jam per minggu. Sehingga, sudah selayaknya status kerja Kusmawan beralih menjadi PKWTT dan upahnya dibayar sesuai dengan ketentuan UMK Semarang.
Persoalan kedua, sebelum perjanjian kerja Kusmawan berakhir, manajemen Mangkokku diduga mencari-cari kesalahannya, dengan menuduh Kusmawan telah melakukan tindakan indisipliner; keterlambatan dan kesalahan presensi kerja. Padahal selama Kusmawan bekerja, ia tidak pernah alpa atau melakukan kesalahan lainnya seperti keterlambatan kerja.
Kusmawan berang, lantas tuduhan itu ia coba konfirmasi. Pada saat ia meminta penjelasan ke pihak manajemen untuk mencari tahu bentuk indisipliner yang dimaksud, namun pihak manajemen tidak merespon.
Meskipun belum mendapatkan klarifikasi dari pihak manajemen, Kusmawan tetap mencoba mencari cara lain untuk mendapatkan penjelasan. Hingga kemudian ia mendapatkan kabar, bahwa terjadi kesalahan input presensi dan absensi yang dilakukan oleh HRD.
Kesalahan input ini merupakan persoalan ketiga dalam kasus Kusmawan. Sebab kesalahan input yang dilakukan oleh manajemen, mengakibatkan hilangnya pendapatan hidup seseorang dan mengakibatkan kerugian material terhadap kusmawan. Manajemen gerai dapat dijerat sanksi pidana sebagaimana pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 263:
“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak atau dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan dipidana penjara paling lama 6 tahun.”
Secara eksplisit presensi dan absensi kerja merupakan sebuah dokumen yang mencatat kehadiran kerja, namun kehadiran kerja Kusmawan dimanipulasi oleh manajemen yang berimbas pada hilangnya hak atau menimbulkan kerugian bagi Kusmawan. Lantaran, manajemen tersebut telah terbukti melakukan tindakan memanipulasi presensi kerja, maka seharusnya mereka dipidana penjara paling lama enam tahun.
Namun, apalah daya bagi Kusmawan untuk melanjutkan persoalan ini ke ranah hukum. Bagi Kusmawan hal itu membutuhkan modal yang besar. Pasalnya, Kusmawan harus menyiapkan sejumlah uang untuk membayar pengacara demi memenangkan gugatan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). Sementara itu, dapat dipastikan Kusmawan tidak akan mampu membayar pengacara. Sebab nilai perkara gugatan Kusmawan lebih kecil dari pada biaya jasa menyewa pengacara.
Katakanlah persoalan uang selesai. Kusmawan telah mendapatkan pengacara. Perselisihan lalu diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Kini, Kusmawan akan berhadapan dengan dua persoalan besar: waktu dan anak presiden.
Kasus perselisihan perburuhan yang diselesaikan melalui jalur hukum atau pengadilan, belum tentu dalam satu tahun bisa selesai. Putusan hakim di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial, masih bisa diajukan banding atau kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA). Proses perselisihan hubungan industrial melalui jalur hukum memakan waktu dan melelahkan; juga tidak ada jaminan kemenangan bagi para buruh. Dengan kata lain, memasuki jalur pengadilan sama saja buruh sedang menggali kuburannya sendiri.
Di sisi lain, memasuki jalur hukum sama artinya Kusmawan mengambil posisi berhadapan dengan pemilik Mangkokku; Gibran dan Kaesang yang merupakan anak kandung Presiden Jokowi. Dapat dibayangkan betapa beratnya jalan yang ditempuh oleh Kusmawan. Karena itu Kusmawan memutuskan untuk tidak memilih jalur hukum yang sangat berbelit-belit itu.
Persoalan keempat mengenai tahapan pemberian sanksi. Jika memang Kusmawan terbukti melakukan kesalahan kategori indisipliner, seharusnya mekanisme yang ditempuh oleh manajemen gerai adalah memberikan Surat Peringatan (SP) terlebih dahulu, sebagaimana yang tertuang di dalam perjanjian kerja. Namun, sebaliknya manajemen Mangkokku langsung melakukan pemecatan sepihak sebelum perjanjian kerja berakhir di tanggal 29 September 2023.
“Saya di PHK sepihak dengan alasan telah melakukan tindakan indisipliner, padahal saya sendiri tidak pernah melakukan kesalahan,” jelas Kusmawan melalui sambungan ponsel kepada saya.
Imbas dari PHK sepihak tersebut, Kusmawan tidak mendapatkan hak kompensasi yang semestinya ia dapatkan.
Persoalan kelima, mengenai mekanisme demosi terhadap Kusmawan. Manajemen Mangkokku secara ugal-ugalan memberikan pilihan demosi kepada Kusmawan tanpa melalui proses evaluasi kinerja terlebih dahulu.
Keenam, perihal kontrak kerja baku atau klausula baku yang membuat hilangnya Hak Asasi Manusia (HAM) yang seharusnya dipenuhi oleh manajemen Mangkokku. Hal ini ditunjukkan dalam perjanjian kerja Mangkokku pada Pasal 3 angka 2, yang menerangkan, bahwa Mangkokku tidak mempunyai kewajiban memberikan apapun termasuk pemberian pesangon atau kompensasi PHK terhadap buruh–dalam hal ini termasuk Kusmawan. Padahal sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan yang mempekerjakan buruh, wajib memberikan kompensasi atau pesangon sesuai dengan mandat dari Undang-undang Ketenagakerjaan ketika terjadinya PHK karena alasan efisiensi.
Masalah ketujuh, berkaitan dengan ketentuan dalam dokumen perjanjian kerja pada Pasal 4 angka 3 yang mengatakan, pada kondisi tertentu perusahaan boleh mempekerjakan Kusmawan, walaupun pada hari libur. Artinya, Mangkokku berpotensi melanggar hak libur buruh.
Kedelapan, perihal manajemen Mangkokku yang melakukan pemecatan sebelum berakhirnya masa kontrak kerja Kusmawan. Hal ini dilakukan oleh manajemen gerai untuk menghindari pembayaran kompensasi. Dalam perjanjian kerja sangat terlihat itikad buruk Mangkokku untuk menghindari pembayaran kompensasi Kusmawan dengan dalih semaunya manajemen. Sekali lagi, tidak satu bukti apapun yang menunjukkan kalau Kusmawan telah melakukan tindakan indisipliner kerja.
Perjanjian kerja perusahaan Mangkokku secara terang-terangan mempreteli hak-hak buruh di tempat kerja. Rancangan kontrak kerja yang dibuat oleh manajemen perusahaan hanya menguntungkan perusahaan.
Mendulang Keuntungan dari UU Cilaka Rezim Bapak
Perusahaan Mangkokku pernah mendapatkan sokongan pendanaan setelah periode pandemik Covid-19, dengan total 101 miliar dari tiga investor, yaitu: Alpha JWC Ventures, Emtek Group, dan Cakra Ventures (Katadata.com, 12/12/2022). Suntikan pendanaan ini tidak terlepas dari pengaruh sosok anak Presiden di balik usaha rintisan Mangkokku. Sehingga dengan gesit Mangkokku tumbuh berjamur di kota-kota besar Indonesia dan mungkin saja mendapatkan keuntungan yang fantastis.
Pada masa pandemik Covid-19 dan sebelum mendapat suntikan pendanaan dari tiga perusahaan, total penjualan mangkokku dalam sehari bisa mencapai 600 mangkok, dengan kisaran harga per porsi mulai dari Rp 20.000 – Rp 89.000. setelah periode pandemik perolehan keuntungan Mangkokku mengalami peningkatan.
Sejak bisnis Mangkokku dirintis pada 2019 silam, perusahaan anak presiden ini telah meraup keuntungan paling sedikit sebesar 600 juta per tiga bulan. Keuntungan tersebut dianggap masih sangat minim. Dalam sebuah wawancara di podcast berjudul: “Bermula Bikin Sambal Hingga Bisnis Bareng Anak Presiden!”, salah satu Co-Founder, Randy J Kartadinata menceritakan kisah perjalanan Mangkokku,
“Dalam urusan permodalan, kita tipenya potong tahu [pembagian sama rata]. Dulu itu kita per orang modal 150 juta, jadi 600 juta total yang di modali empat orang [termasuk Gibran dan Kaesang], lalu kita rintis [Gerai] di Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, DKI Jakarta. Jadi pas itu, 600 juta penghasilan laba Mangkokku, kita putar terus jadi profit.”
Gurita bisnis Mangkokku berhasil berekspansi dan telah memiliki 54 gerai yang tersebar di 16 kota Indonesia. Keberhasilan ini tidak bisa dilepaskan dari peran kedua anak presiden, yang juga ikut memberikan faktor pengaruh. Di sisi lain, faktor suntikan pendanaan tiga korporasi turut serta memberikan kontribusi terhadap pembesaran bisnis Mangkokku.
Namun, siapa yang tahu bahwa di balik ekspansi bisnis Mangkokku yang menggurita dan hidangan lezat yang disajikan untuk para pembeli, Mangkokku menyimpan persoalan hukum perburuhan di dalamnya. Setidaknya, terdapat tiga hal yang melandasi argumentasi saya.
Pertama Mangkokku mempekerjakan buruh dengan status perjanjian kontrak pendek dengan durasi kurang dari satu tahun dan berulang. Padahal status kerja Kusmawan merupakan jenis pekerjaan inti dari produksi, bukan penunjang.
Kedua, Kusmawan dan mungkin juga buruh lainnya, dibayar dengan upah di bawah ketentuan UMK Kota Semarang. Ketiga, perjanjian kerja yang dibuat kualitasnya lebih rendah dari Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku. Terbukti dengan tidak adanya pemberian kompensasi setelah berakhirnya masa kerja terhadap Kusmawan.
Ketiga persoalan di atas tidak bisa dilepaskan dari berlakunya UU Cilaka atau Cipta Kerja yang dikeluarkan oleh “Sang Ayah” dari Gibran Rakabuming Raka. Kita masih mengingat, bahwa pada tahun 2020 rezim pemerintahan Jokowi mendorong pemberlakuan undang-undang ini. Secara garis besar UU Cilaka bertujuan untuk memberikan dukungan, menjamin, dan melindungi investasi, serta lapangan pekerjaan. Dengan tujuan tersebut, maka yang menjadi korban adalah buruh.
Jargon menyejahterakan rakyat, bisa dibilang merupakan tipu muslihat “Sang Ayah” terhadap jutaan buruh Indonesia. Justru, UU Cilaka lahir untuk merampas semua hak-hak dasar buruh serta melanggengkan praktik fleksibilitas hubungan kerja hingga fleksibilitas upah.
Sebagaimana yang kita tahu, sejak UU Cilaka diwacanakan hingga diberlakukan, respon penolakan dan perlawanan datang dari pelbagai organisasi masyarakat sipil. Bahkan, ribuan buruh turun juga ikut turun ke jalan hingga upaya melakukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, meski mendapatkan kecaman, pemerintah Indonesia tetap bebal menjalankan Undang-Undang “Pro-Investasi” tersebut. Terlebih, warisan “Sang Ayah” melalui UU Cilaka merupakan produk hukum yang melanggengkan upaya perampasan hak-hak dasar buruh dengan memangkas nominal pesangon buruh di dalamnya.
Mungkin Gibran dan Kaesang tidak akan pernah mengenal Kusmawan sebagai buruh Mangkokku. Namun, dapat dipastikan Gibran menikmati keuntungan dari ratusan buruh yang dieksploitasi oleh manajemen gerai Mangkokku.
Sejalan dengan dengan semangat perampasan hak UU Cilaka, tata kelola Mangkokku, alih-alih juga menunjukkan hal yang sama; manajemen gerai tidak perlu mengeluarkan duit untuk membayarkan kompensasi PHK terhadap buruhnya dan hak-hak lainnya.
Saya pikir, peristiwa Kusmawan bukanlah satu-satunya yang terjadi pada kehidupan kita hari ini. Praktik pelanggaran perburuhan yang dialami oleh Kusmawan, kerap terjadi di sektor industri lainnya. Namun, cerita Kusmawan menjadi penanda, bahwa bisnis Mangkokku didesain untuk memenuhi kebutuhan perut kelas menengah ke atas dan mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia buruh yang bekerja.
Saya ingin menutupi tulisan ini dan hendak mengingatkan pembaca tentang kolaborasi bapak dan anak. Boleh dikatakan telah terjalin kerja sama yang apik antara “Sang Ayah” dan anaknya untuk mendulang keuntungan dengan cara merampok hak-hak buruh; “Sang Anak” mendirikan perusahaan Mangkokku dengan mempekerjakan buruh murah, sementara “Sang Ayah” membuat Undang-Undang Cilaka untuk melegalkan perampokan hak-hak buruh dan kebijakan politik upah murah. Maka, keluarga ini berhasil membuat Kusmawan hingga jutaan buruh di luar sana kehilangan hak-hak dasar mereka sebagai manusia serta jaminan hidup yang layak.