Rafi Akbar, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tadulako (Untad) mungkin tak pernah mengira bahwa pada Jumat (23/8/2024) telinga kirinya akan robek hingga hampir putus gegara terkena pukulan polisi. Rafi juga tak pernah mengira dirinya akan dibuat cacat seumur hidup dan sulit mencari kerja, karena tindakan brutalitas aparat kepolisian dalam membubarkan massa aksi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tengah.
Sejak Kamis (22/8/2024) hingga Senin (26/8/2024), korban tindakan brutal aparat kepolisian bermunculan dalam aksi massa #PeringatanDarurat. Para demonstran dipukuli, ditendang, dihujani gas air mata, dan ditangkap secara membabi buta oleh polisi.
Rakyat yang semula hanya marah kepada rezim Presiden Jokowi, saat itu juga mengecam atas tindakan brutal yang dilakukan oleh institusi kepolisian. Sumpah serapah All Cops are Bastard (ACAB) dan kecaman keras dari publik, menjadi perbincangan di seluruh jagat media. Atas nama stabilitas, ratusan kepala tak segan mereka pukuli. Institusi kepolisian dianggap telah merampas hak-hak rakyat untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan.
Belum lepas sorot mata publik terhadap brutalitas polisi, Korps Bhayangkara kembali melakukan aksi brutal. Di Semarang, Jawa Tengah, Senin (26/8/2024), ratusan massa aksi #PeringatanDarurat mengalami tindak kekerasan dari aparat kepolisian. Aksi massa ini beragendakan mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU Pilkada dan mengkritik sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Jokowi di Balai Kota Semarang.
Menjelang malam, pada pukul 18.00 WIB, aparat dengan kendaraan taktisnya mulai membentuk barisan, menenteng tameng, dan alat pentungan. Mereka mengancam massa aksi untuk membubarkan diri. Alasannya, waktu penyampaian pendapat bagi rakyat sudah mencapai batas.
Sebuah protes belum bisa disebut selesai hingga rakyat memperoleh kemenangan atas tuntutannya. Kendati demikian, polisi tak pernah mau tahu dan tetap mengacu pada bandul waktu yang telah ditetapkan. Hingga akhirnya, sekali lagi, tindakan kekerasan kembali digunakan untuk membubarkan massa aksi.
Secara liar, polisi mulai menembakkan gas air mata hingga menjalar ke semua orang di sekitar lokasi. Dalam sebuah rekaman video berdurasi 42 detik yang beredar di media sosial, setidaknya ada 22 proyektil gas air mata yang ditembakkan polisi ke arah massa aksi di depan Mall Paragon Semarang. Gas air mata itu ditembakkan sejak detik ke 16 hingga detik ke 37. Artinya, polisi menembakkan sebanyak 22 gas air mata hanya dalam waktu 16 detik.
Tebalnya kepulan gas air mata menyebabkan banyak orang di sekitar lokasi merasakan sesak nafas hingga jatuh pingsan. Terlebih lagi, Jalan Pemuda di depan Mall Paragon Semarang hanya terdiri dari tiga lajur plus satu lajur kecil untuk pesepeda. Bahkan, beberapa anak kecil yang sedang mengaji–kegiatan yang tidak memiliki motif politik apapun–turut terkena efek gas air mata.
Setidaknya, puluhan massa aksi jatuh pingsan dan luka-luka, 33 orang dilarikan ke rumah sakit, dan sebanyak 32 orang ditangkap polisi. Tak hanya itu, polisi juga menghalang-halangi para pendamping hukum untuk menemui para demonstran yang ditangkap.
Pasca peristiwa itu, polisi membela diri. Dilansir dari Kompas pada Kamis (29/8/2024), Polda Jateng menyebut penembakan gas air mata dalam aksi massa di Balai Kota Semarang sudah sesuai prosedur. Bahkan, Polda Jateng menyebut gas air mata tidak berbahaya karena efeknya hanya sementara. Padahal, telah banyak penelitian yang mengulas bahaya berkepanjangan dari penggunaan senjata kimia gas air mata.
Brutalitas aparat yang mewarnai aksi #PeringatanDarurat di berbagai daerah hanyalah fenomena gunung es dari rangkaian praktik kekerasan aparat yang selama ini terjadi. Berbagai luka dan trauma yang dialami korban kekejaman aparat pada aksi protes: #ReformasiDikorupsi, Tolak Omnibus Law, Tragedi Kanjuruhan, protes warga Dago Elos Bandung, dan lainnya, masih belum sirna.
Berdasarkan Laporan Tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Tahun 2023, terkait kasus pelanggaran HAM, Polri menjadi pihak yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM. Total pengaduan yang masuk mencapai 2.753 di sepanjang tahun 2023 yang diterima Komnas HAM. Sementara, dari total tersebut sebanyak 771 aduan merupakan laporan pelanggaran HAM yang melibatkan institusi kepolisian. Sedangkan, sebanyak 537 aduan lainnya merupakan laporan yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah. Bagaimana mungkin sebuah institusi negara yang mengemban fungsi melindungi rakyat justru menjadi ancaman bagi rakyat itu sendiri?
Daftar kasus tindakan brutal polisi terhadap rakyat selama ini telah berjibun diwartakan. Namun, jauh panggang dari api, polisi tidak pernah berbenah diri maupun memberi pertanggungjawaban kepada korban. Maka, tak ada daftar alasan yang masuk akal mengapa rakyat harus diam dan membiarkan dirinya dilukai atau dibunuh oleh polisi; secara sistematis dibunuh oleh negara.
Bagi rakyat miskin yang hidup di perkotaan, aksi massa #PeringatanDarurat merupakan wadah untuk meluapkan kemarahannya kepada Rezim Jokowi dan keluarganya, serta elite-elite partai politik yang hidup dengan guyuran harta melimpah. Mereka mengotak-atik hukum untuk terus melakukan akumulasi kekayaan melalui kekuasaan.
Penguasa yang ugal-ugalan memang masalah serius bagi hajat hidup orang banyak. Namun, anjing penjaga kekuasaan yang ringan tangan tak kalah genting untuk dilawan. Baik penguasa maupun polisi, keduanya sama-sama menganggap rakyat mudah dibodohi dan telah beradaptasi dengan kebodohan itu.
Tak Ada Aturan soal Batasan Waktu Demonstrasi
Alasan utama polisi menyerang massa aksi di Semarang dan di berbagai wilayah adalah karena waktu menyampaikan pendapat telah melampaui batas waktu yang ditetapkan. Aturan soal batas waktu penyampaian pendapat tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a Perkap Nomor 9 Tahun 2008, disebutkan bahwa penyampaian pendapat di tempat terbuka hanya dapat dilaksanakan antara pukul 06.00 WIB hingga 18.00 waktu setempat. Selanjutnya, pada Pasal 21 ayat (4), disebutkan bahwa penyampaian pendapat yang mengganggu ketertiban umum dilakukan penindakan secara persuasif untuk menghentikan kegiatan dan apabila gagal, dilanjutkan dengan upaya paksa secara proporsional.
Sebelum membahas soal “upaya paksa yang proporsional”, perlu untuk dibedah asal muasal butir aturan soal batas waktu penyampaian pendapat tersebut. Sebagai peraturan teknis, Perkap Nomor 9 Tahun 2008 mengacu pada beberapa undang-undang yang secara konseptual membahas soal HAM dan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat. Salah satunya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Jika ditelisik lebih dalam, pertama, tidak ada butir aturan di dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 yang mengatur batasan waktu bagi warga negara untuk menyampaikan pendapat. Secara normatif, beberapa butir aturan memang membatasi massa aksi untuk mematuhi ketertiban umum. Namun, tidak ada hubungannya antara massa aksi yang melakukan demonstrasi hingga malam hari dengan terganggunya ketertiban umum.
Bahkan, pada bagian penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf b, disebutkan bahwa koordinasi antara Polri dengan penanggung jawab unjuk rasa dilakukan setelah kepolisian menerima surat pemberitahuan penyampaian pendapat untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mengganggu terlaksananya penyampaian pendapat di muka umum secara aman, tertib, dan damai, terutama penyelenggaraan pada malam hari.
Artinya, tidak ada dalih bagi polisi untuk membubarkan massa aksi pada malam hari. Dalam konteks aksi massa #PeringatanDarurat kemarin pun, massa aksi tidak bergerak secara membabi buta dan mengganggu ketertiban umum, seperti menyerang pejalan kaki dan pengguna jalan, menjarah pusat perbelanjaan, maupun merusak transportasi publik. Satu-satunya aktor yang mengganggu ketertiban umum adalah pemangku kebijakan yang membajak konstitusi dengan menyingkirkan kepentingan rakyat.
Kedua, Perkap Nomor 9 Tahun 2008 juga tidak menjelaskan soal penggunaan kekuatan aparat untuk membubarkan massa aksi, seperti aturan soal batas penggunaan gas air mata. Penggunaan gas air mata kepada manusia memang berbahaya. Namun, polisi tetap menghendaki penggunaan senjata kimia tersebut dengan dasar hukum Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Dalam aturan tersebut, dijelaskan bahwa gas air mata merupakan tahap kelima dari penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Namun, tidak dijelaskan lebih rinci mengenai situasi ancaman yang membuat polisi melakukan tindakan tahap kelima tersebut. Tidak dijelaskan pula mengenai batas penggunaan gas air mata oleh polisi kepada massa aksi.
Ketiga, kendati diperbolehkan untuk menggunakan gas air mata dalam suasana tertentu, beleid tersebut tetap mengatur dengan jelas bahwa aparat dilarang melakukan tindakan spontanitas dan emosional, seperti mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul. Namun, semua praktik ini nyatanya telah dilakukan oleh aparat kepolisian.
Polisi Jadi Musuh Alami Kelompok Marginal
Aksi demonstrasi merupakan hak konstitusional warga negara untuk dapat menyampaikan pendapat di muka umum, sebagaimana dilindungi dalam UUD 1945 hingga Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Namun, dengan tidak adanya dasar aturan yang mengatur pembatasan waktu unjuk rasa, mengindikasikan bahwa aparat kepolisian menggunakan dalih ketertiban umum sebagai alasan untuk menggunakan kekerasan. Polisi justru acapkali membubarkan dan menuduh demonstran sebagai pelaku pelanggaran hukum.
Barangkali, ini pula yang membuat sebagian dari massa aksi nyinyir dengan kelakuan mahasiswa yang berbirit-birit pulang ketika massa aksi yang lain masih bertahan. Sebab, batas waktu aksi massa telah menjadi penanda bahwa “situasi aman” akan segera berakhir. Selanjutnya, aparat polisi akan membubarkan aksi massa dengan cara pemukulan dan penangkapan. Artinya, kondisi teror dan kekerasan yang terjadi dalam pembubaran massa aksi merupakan hasil ciptaan aparat kepolisian itu sendiri.
Penangkapan sewenang-wenang telah menjadi praktik yang lumrah dilakukan oleh aparat kepolisian. Penggunaan kekerasan oleh polisi dalam menangani ancaman gangguan keamanan seakan-akan dilegalkan oleh hukum. Sementara, aparat kepolisian, dari tingkat bawah hingga petinggi, tetap hidup nyaman. Semua dikarenakan adanya praktik impunitas hukum dan tidak berfungsinya lembaga penegak hukum lainnya.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, tak ayal polisi akan tetap menjadi musuh alami bagi kelompok marginal dan para aktivis yang telah lama menyebut mereka sebagai instrumen penindas. Olok-olok All Cops are Bastard (ACAB) dan Fuck the Police selama ini semakin terasa dekat dan mengiringi setiap perjuangan menuju perubahan sosial.
Kutukan ACAB dan Fuck the Police tentunya tidak mengarah pada polisi hanya dalam kerangka populis, bahwa solusi dari brutalitas aparat adalah reformasi kepolisian: mendesak institusi kepolisian untuk meredam tindakan brutalnya. Namun, patut diingat bahwa kepolisian bukanlah bagian dari komunitas masyarakat yang akan menciptakan keadilan. Mereka adalah bagian dari instrumen kekuasaan yang selama ini bertindak untuk menjaga jalannya kekuasaan.
Sebagai instrumen kekuasaan, aparat kepolisian mengorganisir dirinya dengan baik, bersenjata lengkap, dan menghabiskan setiap hari untuk berlatih. Mereka selalu menganggap kekacauan akan terjadi esok hari. Bagi mereka, ketakutan akan pemberontakan berada di atas semua hal lainnya, bahkan memusnahkan pikiran mereka sendiri.
Oleh karena itu, kita masih bisa melihat seorang polisi mengangkat kepalanya sambil mengatakan bahwa mereka diperbolehkan melakukan kekerasan atas nama undang-undang. Dalam kondisi seperti ini, pilihan bagi rakyat hanya logika oposisi biner, yaitu: kebebasan atau tirani, solidaritas atau penindasan, dan perlawanan atau kematian.