Merebut Kuasa Representasi, Gerakan Perlawanan Papuan Voices

Merebut Kuasa Representasi, Gerakan Perlawanan Papuan Voices

Kitorang Bukan Monyet
Kitorang Bukan Monyet (Diakronik/Syaukani Ichsan)

Barangkali banyak dari kita sudah merasa muak, jengkel, payah terhadap orang-orang Papua yang ingin merdeka. Pembicaraan tentang Papua kerap disusutkan dalam dua dikotomi antara Papua harus merdeka dan anasir integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati atau ‘NKRI Death Price’. 

Dua penyusutan tersebut mengabaikan isu-isu lain yang layak dibicarakan di Papua. Di sisi lain, frasa ‘papua merdeka’ telah menjadi stigmatisasi yang ditubuhkan pada orang-orang Papua. Bisakah kita menganggap ekspresi politik ‘Papua Merdeka’ adalah suara terbaik dari suatu kelompok yang sudah lama menanggung penderitaan tak tepermanai, satu kondisi ketidakadilan yang nyaris tak bisa dibayangkan terjadi hari-hari ini? 

Obby Kogoya, diperlakukan rasis pada 13 Juli 2016, saat ia hendak mengikuti aksi massa damai dari asrama Kamasan ke titik nol kilometer Yogyakarta. Aksi itu merupakan kegiatan untuk memperingati 47 tahun Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). 

Pada bulan Agustus tahun 2019 asrama mahasiswa Papua di Surabaya didatangi oleh rombongan pejabat kecamatan, koramil, polsekta Tambaksari, dan organisasi masyarakat (bbc.com, 23/8/2019). Penghuni asrama Papua di Surabaya diteriaki ‘monyet’. Makian itu ditujukan kepada mahasiswa Papua; sesekali asrama dilempari batu. Protes terhadap rasisme lekas menyebar ke berbagai titik. Memicu gelombang demonstrasi oleh orang-orang Papua di Jayapura, Sorong, dan Manokwari (Tirto.id, 3/6/2020). Kelak, teriakan monyet ‘dibajak’ oleh orang-orang Papua dan di luar Papua yang bersolidaritas menentang rasisme. 

Tamara Soukotta  menganggap rasisme sudah dilakukan oleh negara Indonesia melalui sikap Sukarno yang percaya, bahwa Belanda bermaksud membentuk negara boneka Papua. Pembentukan parlemen pada Februari 1961 dan Komite Nasional Papua pada Oktober 1961 itulah yang dinilai Sukarno sebagai niat Belanda untuk membentuk negara boneka. 

Sikap Sukarno mendorong ia untuk menyelamatkan Indonesia dan Papua sekaligus. Anggapan negara boneka, menurut Tamara, “Didasarkan pada asumsi bahwa orang Papua tak memiliki kapasitas untuk memerintah masyarakatnya sendiri,” (Tirto.id, 2019a). 

Sejak saat itu orang Papua diandaikan tak mampu mengurus hidupnya sendiri sehingga harus “ditolong”. Pengandaian demikian mendasari hubungan antara orang Papua dan orang Indonesia. 

Senada dengan Tamara, Ligia Judith Giay, dalam artikelnya yang berjudul “Papuans, It’s Not You, It’s Them” mengatakan tanpa tedeng aling-aling, bahwa rasisme adalah masalah orang Indonesia, bukan orang Papua (Tirto.id, 2019b). 

Cara pandang demikian oleh Ligia dinilai amat problematis. Apalagi cara pandang itu menyodorkan narasi pembangunan untuk mengatasi rasisme. Narasi pembangunan yang disebut Ligia tampaknya merujuk pada model pembangunan yang berorientasi ke stabilitas politik, dengan mobilisasi kekuatan aparatus represif, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur. 

Semua pendekatan itu tak beda jauh dengan desain pembangunan ala ‘Mafia Berkeley’ saat Orde Baru berkuasa. Pembangunan bercorak “developmentalism” seperti itu, dibayangkan Indonesia, bisa mengangkat martabat orang Papua ke taraf kehidupan yang berbeda dari monyet. 

Pembangunan akan mengantarkan orang Papua ke puncak antah-berantah di mana tiap orang Papua dihormati. Secara penuh-seluruh Ligia membantah di akhir tulisannya, 

“Biarkan saya mendahului semua kisah di atas dengan meyakinkan Anda, bahwa tidak benar pembangunan akan mengakhiri rasisme terhadap orang Papua. Yang punya masalah rasisme bukanlah orang Papua, tapi Indonesia.” 

Apa yang dibantah Ligia dalam tulisannya serupa penolakan atas mitos pembangunan sebagai solusi rasisme, sebelum narasi mitos yang demikian berdengung mengiringi kasus rasisme di Surabaya. 

Persoalan rasisme tak semata-mata muncul karena prasangka seseorang atas orang lain, melainkan satu perangkat-gagasan untuk mengontrol orang lain. Upaya kontrol melalui rasisme itu sering bertaut tangan dengan dominasi berdasarkan gender, lantas menciptakan permasalahan pelik yang dialami perempuan dan ‘mama-mama’ di Papua. Mereka menanggung penindasan berlapis sebagai orang Papua yang didiskriminasi serta perempuan yang hidup dalam struktur masyarakat patriarki. 

Perlakuan diskriminatif terus mendorong solidaritas dalam dimensi yang jauh lebih dalam dan luas. Perilaku ugal-ugalan orang Indonesia yang rasis memupuk perlawanan-perlawanan kecil orang Papua. 

Identitas Papua sebagai gerakan pembebasan mulanya terbatas di kalangan elite kota. Gerakan berbasis identitas ini terisolasi dari kebanyakan orang-orang Papua. Wilayah Fakfak dan Serui pada tahun 1961 bersikap pro Indonesia, meski kedua daerah itu menjadi basis pemimpin nasionalis Papua. Di Fakfak identitas Papua masih hangat dikontestasikan, sedangkan penduduk Serui sudah mengambil sikap anti-Indonesia (Chauvel, 2005: 7). 

Cara pandang rasis sebagian besar orang Indonesia—atau setidaknya orang Indonesia yang memiliki akses terhadap kebijakan—sering direproduksi melalui media arus utama, tak terkecuali film. Sebagai contoh, sebut saja film “Cinta dari Wamena” tahun 2013. Film yang disutradarai Lasja Fauzia Susatyo itu menampilkan citra orang Jawa dan Jakarta sebagai penolong atas masalah-masalah yang dihadapi Lithius, seorang remaja Papua.

Salah satu premis film itu dibangun dari relasi biner antara identitas pengetahuan orang-orang Papua dan tradisi pengetahuan yang dianggap modern. Tradisi pengetahuan yang dianggap modern ditempel pada karakter pak Joko dan Daniel, dua karakter yang berasal dari Jawa dan Jakarta. Apa yang direpresentasikan dalam film itu mempengaruhi persepsi penonton tentang orang Papua. Seakan hendak berkata, bahwa orang Jawa atau Jakarta ialah orang-orang yang memiliki kunci jawaban atas persoalan yang dihadapi Lithius. 

Memang perlu kajian lebih detail untuk melihat peran film “Cinta dari Wamena dalam mereproduksi ketimpangan representasi. Tulisan ini tak hendak mendedah lebih jauh film “Cinta dari Wamena karena bukan menjadi pokok soal di sini. Namun, cukuplah dikatakan bahwa premis-premis dasar film “Cinta dari Wamena” turut menormalisasi praktik kekerasan terhadap orang Papua. Tokoh protagonis Lithius diposisikan di pusat cerita untuk mengesahkan superioritas orang Jawa dan Jakarta.

Beberapa film dokumenter Papuan Voices bercerita tentang masyarakat adat di Papua. Cerita itu, di sisi lain, membuka peluang intervensi kapital karena menunjukkan lokasi-lokasi strategis untuk perkebunan, tambang, wisata, sampai kawasan “food estate”. Dalam tulisan berjudul “The Oppositional Gaze: Black Female Spectators”, bell hooks menaruh konteks tentang orang kulit hitam di Amerika Serikat yang menonton televisi dan film arus utama. 

Mereka paham bila media arus utama adalah bagian dari sistem yang melanggengkan supremasi kulit putih; sehingga perlu, dalam kosakata bell hooks, “oppositional black gaze”. Istilah “oppositional black gaze” berangkat dari gagasan Michel Foucault tentang kekuasaan yang melahirkan resistensi, dominasi selalu beriringan dengan kemungkinan perlawanan. 

Menonton film dan media arus utama bisa memberi progres pada gerakan politis untuk keadilan (hooks, 2015a: 182). Bell hooks membuka kemungkinan bagi kita agar menyadari marginalisasi saat menonton film arus utama. Kemungkinan yang ditawarkan bell hooks inilah yang dipijak dalam tulisan ini untuk membaca film-film dokumenter di Papuan Voices. 

Dalam buku “Yearning: Race, Gender, and Cultural Politics”, bell hooks (2015: 50) menulis, bila marginalisasi bisa menjadi lokus yang memberi kemungkinan-sangat-terbuka untuk suara radikal berbicara. Ketika narasi tentang Papua dimonopoli oleh kelompok dominan dalam hal ekonomi, akses, modal sosial, Papuan Voices melakukan sebentuk transformasi mendasar. Kendati film dokumenter yang diproduksi tetap diintai untuk dipaksa bungkam, mereka berani berbicara sebagai liyan dari hegemoni kelompok dominan. 

Papuan Voices memberi ruang untuk orang Papua berbicara ketimbang hanya dibicarakan oleh penindas. Dewi Candraningrum (2021: 197) dalam tulisan berjudul “Bukankah Aku Seorang Perempuan? Saat bell hooks Menggugat Gender, Ras, dan Kelas”, mengajak kita untuk mengembangkan sikap kritis dalam menonton. Ia menyebutnya dengan istilah tatapan berlawan. Tatapan berlawan yang dipinjam dalam tulisan ini merupakan pembacaan Dewi Candraningrum atas konsep bell hooks. 

Sikap kritis menaruh penonton pada posisi sebagai subjek yang berkemungkinan untuk membuka kesadaran politis saat melihat narasi dominan dalam media. Apa yang dihadirkan narasi dominan jadi pintu masuk untuk menggugat, misalnya, kenapa yang bercerita tentang Papua adalah orang Jakarta? Dari situ bolehlah tatapan berlawan berarti cara menatap yang berusaha membalikkan, melampaui, melawan representasi dari narasi dominan (Candraningrum, 2021: 197). 

Kerangka tatapan berlawan memang tidak sepenuhnya tepat untuk melihat film-film dokumenter di Papuan Voices. Perbedaan karakter film arus utama dan film dokumenter sudah sangat mencolok. Film dokumenter dekat dengan ciri kejadian nyata, kehidupan seseorang, atau suatu gambaran tentang kehidupan nyata. Meski tidak sepenuhnya tepat meletakkan konsep tatapan berlawan, toh, konsep ini mampu membuka jalan mengenai tatapan emansipatif. 

Dengan melihat film dokumenter yang dinarasikan orang Papua sendiri, penonton di luar orang Papua bisa membangun kesadaran kritis untuk membongkar stigma-stigma absurd tentang orang Papua; sehingga penonton non-Papua bisa bersolidaritas. Selain itu, film dokumenter Papuan Voices bila dilihat dengan kehendak kritis-reflektif bisa mengantar penonton untuk bercermin tentang kehidupannya, untuk menyadari bahwa keadilan memang layak diperjuangkan.

Referensi


  1. Bbc.com. 2019. Asrama Papua: Cek Fakta Kasus Bendera Merah Putih dan Makian Rasialisme di Surabaya. Diunggah pada 23 Agustus 2019, diakses pada 25 Februari 2022, dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49446765
  2. Prabowo, Haris. 2020. Kasus Rasisme & Represi seperti George Floyd Berulang di Indonesia. Diunggah pada 3 Juni 2020, diakses pada 12 Desember 2021, dari https://tirto.id/kasus-rasisme-represi-seperti-george-floyd-berulang-di-indonesia-fEB6.
  3. Soukotta, Tamara. 2019a. Kolonialisme dan Rasisme: Fondasi Sikap Indonesia terhadap Papua. Diunggah pada 28 Agustus 2019, diakses pada 12 Desember 2021, dari https://tirto.id/kolonialisme-dan-rasisme-fondasi-sikap-indonesia-terhadap-papua-eg6e.
  4. Giay, J, Ligia. 2019b. Papuans, It’s Not You, It’s Them. Diunggah pada 20 Agustus 2019, diakses pada 12 Desember 2021, dari https://tirto.id/papuans-its-not-you-its-them-egA8
  5. Chauvel, Richard. 2005. Policy Studies 14, Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation. Washington DC: the East-West Center Washington.
  6. Susatyo, Lasja (sutradara). 2013. Cinta dari Wamena. Jakarta: Tanakhis Films.
  7. hooks, bell. 2015a. Black Looks: Race and Representation. New York: Routledge.
  8. _______. 2015b. Yearning: Race, Gender, and Cultural Politics. New York: Routledge.
  9. Candraningrum, Dewi. 2021. Bukankah Aku Seorang Perempuan? Saat bell hooks Menggugat Gender, Ras, dan Kelas. Dalam Larasati D.L., dan Noviani, Ratna (ed), Melintas Perbedaan Suara Perempuan, Agensi, dan Politik Solidaritas. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hal. 191-214.
  10. Tanpa nama (Sutradara tidak diketahui). 2016. Suara Mama Fin. Papua: Papuan Voices. Diunggah pada 25 Agustus 2020, diakses pada 10 Desember 2021, dari https://www.youtube.com/watch?v=3jvN-Fs0TP8&t=186s 
  11. Ema (sutradara). Tahun produksi tidak diketahui. Kisah Ema. Papua: Papuan Voices. Diunggah pada 7 September 2020, diakses pada 10 Desember 2021, dari https://www.youtube.com/watch?v=mBbv4IgOQ3w. 
  12. Wandita, G., Yolanda, S., Saragih, S., Mambrasar, Z., Kafiar, M., Gebze, B., Daby, P., dan Molony, T. 2019. I am Here: Voices of Papuan Women in the Face of Unrelenting Violence. Asia Justice and Rights (AJAR) bekerja sama dengan Advocacy Institute for Women’s Care, KPKC Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, ELSHAM Papua, dan Yayasan Humi Inane Wamena. 
Editor: Syaukani Ichsan

ARTIKEL LAINNYA

Iyashikei: Upaya Pemulihan Jepang atas Tragedi Kolektif
Kerentanan Buruh Gig Economy: Menjadi Ojol Tidak Fleksibel dan Eksploitatif
Politik Oligarki Perpanjangan Jabatan Kepala Desa dan Kekuasaan di Pedesaan
Melacak Situs Resistensi dalam Film Suara Mama Fin (2016) dan Kisah Ema (2020)

Temukan Artikel Anda!