Beberapa waktu belakangan, di lini masa media sosial saya—terutama Instagram dan Facebook—muncul secara tidak sengaja hasil unggahan ulang dari akun yang saya ikuti. Kejadian itu terjadi pada 11 April 2022 lalu. Tepatnya ketika momentum aksi protes bertajuk: “Reformasi Dikorupsi”.
Salah satu konten yang menarik adalah potret demonstrasi mahasiswa di Purwokerto, Jawa Tengah, yang merespons naiknya harga-harga bahan pokok, BBM, dan isu penundaan pemilu atau yang sebenarnya perpanjangan masa jabatan presiden.
Menurut saya, unjuk rasa saat itu patut diapresiasi di tengah represi negara yang menggila dan menjadi-jadi. Namun, dalam satu momen, saya mengamati secara saksama unggahan tersebut.
Aktivitas itu ternyata berbuntut panjang, sebab ada hal yang mengganggu pikiran hingga semalaman. Bayangkan! Perkara yang mengganggu beririsan dengan cara menyampaikan tuntutan yang terdapat dalam foto.
Seperti demo-demo yang sudah-sudah, terdapat spanduk panjang yang di bagian belakang dicat sekenanya—ciri khas banner mahasiswa yang demonya tak dibiayai. Dalam potret tersebut terbaca jelas tuntutan yang dibawa atau diangkat.
Antara lain: “PPN NAIK, Kaum LDR makin Panik”, “RAPAT ISINYA TIDUR, Begitu Bangun Minta PEMILU DIUNDUR, BAPAK NGELINDUR”, dan “BAPAK KALAU CAPEK ISTIRAHAT, JANGAN BUAT RAKYAT MELARAT”.
Ada pula: “PADAHAL ALLAH MENJANJIKAN SURGA, KENAPA ENGKAU MEMILIH 3 PERIODE”, “DARIPADA BBM NAIK, MENDING AYANG YG NAIK”, “INFO SLOT GACOR MASEH, LUMAYAN NGGO TUKU 500X PERTAMAX”, “HARGA MINYAK KAYA HARGA MI-CHAT, MAHAL”.
Konten tersebut ditutup dengan potret dua pemuda tersenyum—satu sambil membawa es teh dan sisanya membawa selembaran bercetak 3000.
Lantas, saya membatin, apa yang diharapkan dari mahasiswa yang turun ke jalan dengan papan tuntutan yang nir-tuntutan?
Aksi-aksi mahasiswa hari ini, tampaknya sedang mengalami degradasi kualitas, dari parlemen jalanan menjadi ajang mencari popularitas semata. Tentu bukan tanpa alasan demonstrasi disebut sebagai parlemen jalanan. Sebab, kemunculannya sebagai antitesis dari kegagalan sistem perwakilan di suatu negara.
Dalam sistem perwakilan seperti yang dianut Indonesia, setiap orang yang menjadi dewan di parlemen merupakan perwakilan dari konstituennya. Satu calon berebut simpatik dan suara dengan calon lain di daerah pemilihannya agar dapat kursi di parlemen.
Akan tetapi, di negara yang baik, seharusnya para dewan di parlemen sering bikin “kegaduhan” untuk mengadvokasikan tujuan para konstituennya. Nahas, di Indonesia, gedung parlemen sunyi dan senyap, yang ada sesama konstituen malah gaduh. Lebih sial lagi, orang-orang yang duduk di kursi dewan itu ngantukan dan sering alpa.
Kondisi demikian bikin saluran suara publik di parlemen jadi mandek. Dampak lainnya—sebelum membahas parlemen serta popularitas jalanan—adalah para konstituen memilih media sosial untuk menyalurkan unek-uneknya. Akan tetapi, apesnya mereka dihantui Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang lebih lentur dari tubuhnya Monkey D. Luffy.
Situasi lain, para wakil rakyat kerap menebar citra di media sosial dengan berlaga sebagai pendengar yang baik, menampung aspirasi, dan cara-cara busuk lainnya, apalagi menjelang pemilu seperti sekarang ini. Aksi-aksi tersebut terkesan memiliki tujuan supaya bisa “memutihkan” kinerja-kinerja mereka yang menghitam.
Sebab rakyat merupakan kekuasaan yang lebih berkuasa dari penguasa itu sendiri, maka mereka lebih memilih cara atau jalan ninja sendiri yang bernama parlemen jalanan. Namun, tidak semua rakyat bisa turun ke jalan atau menjadi partisipan aktif dalam parlemen jalanan.
Kondisi tersebut terang bukan tanpa sebab. Demikian dikatakan, lantaran banyak rakyat masih memikirkan perut. Alih-alih membicarakan politik atau kekuasaan, mereka akan disibukkan dengan kebutuhan mengentaskan rasa laparnya.
Biasanya mahasiswa memiliki inisiatif besar untuk mengambil peran itu. Caranya dengan motivasi yang beragam. Stimulan paling besar adalah waktu luang yang sangat atau lebih besar dari kelas pekerja atau kelompok petani.
Di saat itulah, bagi mahasiswa yang tidak punya motivasi perubahan dalam parlemen jalanan, malah menjadikan gelanggang tersebut sebagai “makanan” untuk media sosialnya. Dan, apabila ngempani media sosial sebagai motivasi utama, hal itu terang keliru.
Mahasiswa seperti itu hanya mencari viralitas sebagai tujuan ikut unjuk rasa. Gayung bersambut. Pasalnya, prediksi Urbandigital terkait konten yang akan menjadi tren pada 2022 di Instagram salah satunya sosial aktivisme.
Artikel karya Le Compte dan Klug yang berkepala “‘It’s Viral’ – A Study of the Behaviors, Practices, and Motivations of TikTok Social Activists”, juga menyebutkan TikTok merupakan sebuah wadah yang mudah menyebarkan pesan dengan usaha lebih sedikit.
Itulah alasannya mengapa konten di TikTok lebih mudah viral. Di sisi lain, sangan memungkinkan apabila hal itu pula yang digunakan oleh mahasiswa-mahasiswa nan kebelet tenar melalui jalur aktivisme sosial.
Syahdan, teknologi kini sudah mempermudah seseorang yang ingin viral atau terkenal. Sayangnya, beberapa mahasiswa yang ingin tampak edgy di media sosial, salah dalam menyikapinya.
Membuat papan tuntutan dengan kalimat yang mudah dipahami dan lucu merupakan satu dan lain hal yang sebisa mungkin dimunculkan. Parlemen jalanan, selain wadah rakyat dalam menyikapi kenihilan perwakilannya di parlemen, tentu memiliki fungsi lain.
Salah satunya menyebarkan isu dan memberikan pemahaman kepada kelompok masyarakat yang belum memiliki kesempatan untuk bergabung. Hal tersebut bertujuan untuk mendulang solidaritas ketika terjadi kekerasan terhadap parlemen jalanan—setidaknya itu.
Contoh tuntutan yang tertera di awal tulisan ini, alih-alih ingin mendapatkan simpati dari kelompok masyarakat, justru malah memberitahu kepada dunia mahasiswa yang terlibat unjuk rasa saat itu bodoh. Lebih-lebih dengan imajinasi dan analogi mesum. Belum lagi muatan tuntutan yang cacat logika, meskipun tidak semua.
Mari kita bahas yang bisa dianggap paling urgent. Pertama, “BAPAK KALAU CAPEK ISTIRAHAT, JANGAN BUAT RAKYAT MELARAT”. Wahai para mahasiswa, ada satu lelucon menarik yang dapat menjadi pembelajaran, sebelum menyampaikan keresahan.
Baik legislatif maupun eksekutif, pembagian waktu kerja mereka selama lima tahun: dua tahun pertama untuk balik modal, satu tahun berikutnya tampak bekerja, dan sisanya buat mengumpulkan modal lagi untuk pemilu berikutnya.
Jadi, lima tahun kerja mereka itu memang lebih banyak alpanya. Oleh karena itu, jangan disuruh istirahat! Namun, kalaupun mereka kerja, otomatis menyengsarakan rakyat. Contohnya? Omnibus law.
Kedua, “PADAHAL ALLAH MENJANJIKAN SURGA, KENAPA ENGKAU MEMILIH 3 PERIODE”. Pertanyaannya, apa relasi antarpremis tersebut? Apa kaitannya janji Allah dengan tiga periode? Lalu, bagaimana cara menarik kesimpulan dari kedua premis itu?
Ketiga, “DARIPADA BBM NAIK, MENDING AYANG YG NAIK”. Sudah jelas ini merupakan pernyataan mesum tanpa perlu dijelaskan. Nahasnya, hal semacam itu dipamerkan di ruang publik, mengenakan almamater pula!
Bikin malunya tidak tanggung-tanggung. Semoga tidak muncul narasi tindakan represif terhadap aktivis, apabila mahasiswa yang membawa dan membuat poster kayak gitu didepak dari kampus.
Keempat, “HARGA MINYAK KAYA HARGA MI-CHAT, MAHAL”. Tulisan poster tersebut jelas bikin dahi mengernyit. Apakah tidak ada analogi lain untuk barang mahal atau mewah selain MiChat?
Misal, harga mobil. Dengan begitu, ada dasar di balik kalimat itu: bahwa yang punya minyak goreng terbatas pada orang-orang mampu, sebagaimana kalangan yang bisa membeli kendaraan roda empat.
Lagi pula, mengapa papan tuntutan atau poster harus merujuk pada aplikasi yang diidentikkan banyak orang Indonesia sebagai tempat transaksi prostitusi daring? Tampaknya, si pembuat dan si pembawa poster secara sukarela memberitahu khalayak, bahwa keduanya lebih sering menyelami MiChat daripada isu, buku, atau lainnya.
Jika demikian, maka wajar aktivitas tersebut melahirkan sekelompok mahasiswa yang kering wacana, bahasa, dan metafora. Pendapat itu berlaku juga untuk pembuat dan pembawa poster: “INFO SLOT GACOR MASEH, LUMAYAN NGGO TUKU 500X PERTAMAX”!
Kasus papan tuntutan mahasiswa yang demikian, tentu melecehkan sakralitas parlemen jalanan. Sebab, ketika sudah direkonstruksi menjadi panggung mencari popularitas, maka unjuk rasa yang diselenggarakan dapat dipandang remeh penguasa. Kondisi tersebut terlihat ketika mahasiswa diundang stasiun televisi dan berdebat dengan orang-orang yang menjadi tameng partai politik.
Kebanyakan dari mereka yang kini menjadi tameng partai penguasa dan anggota dewan, dulunya merupakan aktivis era 1998. Bedanya, saat menjadi aktivis mereka tidak mencari popularitas.
Kita perlu menyadari, aktivis berbeda dengan anggota dewan. Para legislator di parlemen mencari popularitas, sementara aktivis mendulang lebih banyak solidaritas. Terang itulah yang perlu diilhami, bukan sebaliknya!
Saya berpendapat, gerakan bukan ajang keren-kerenan karena dipukul aparat itu sakit, menggunakan pasta gigi di bawah mata lumayan semriwing, dan aksi demonstrasi yang dibubarkan oleh aparat itu memalukan.
Di samping itu, ada pula satu adagium kocak yang jarang terealisasi dan terlampau heroik. Bunyinya seperti ini: sampai tuntutan dipenuhi atau sampai menang. Biasanya tulisan tersebut untuk menjelaskan waktu aksi, pernah terjadi?
Jadi, wahai para mahasiswa, pergunakanlah parlemen jalanan sebagaimana mestinya. Popularitas dalam gerakan nomor kesejuta.
Memang betul, mayoritas dari kita mengenal Che Guevara bukan dari pemikirannya. Kebanyakan dari kita mengenal dari wajahnya di poster, sticker–sticker, atau orang yang secara sukarela membuat tato wajah sang revolusioner itu di tubuhnya. Namun, sebelum itu semua, Che Guevara lebih dulu terkenal karena keberhasilannya melakukan revolusi di Kuba—tidak sendiri tentu saja.
Sementara kini, banyak mahasiswa yang ingin terkenal, tapi entah apa pemikirannya, apa ikhtiar gerakannya. Kalaupun tenar, malah karena kebodohan atau menjilat penguasa seperti yang dilakukan golongan di Cipayung Plus itu.
Perlu kiranya diingat agar jangan sampai rakyat menstigma yang tidak-tidak pada kalian: mahasiswa. Jika terjadi, maka akan menjadi kerugian besar, terutama bagi mereka yang benar-benar berjuang untuk rakyat di parlemen jalanan.
Bilamana demonstrasi tetap digelar dengan membawa spanduk atau tuntutan seperti yang saya contohkan dalam catatan ini, bukannya mendapatkan solidaritas, yang ada hanyalah umpatan, cacian, bahkan tuduhan ditunggangi. Minimalisirlah hal-hal yang dapat mengurangi masyarakat untuk bersolidaritas pada kalian!