Karut Marut Bahaya Asbes: Cengkraman Modal hingga Pengabaian Negara

Karut Marut Bahaya Asbes: Cengkraman Modal hingga Pengabaian Negara

Bahaya Asbes
Sosialisasi dan pelatihan Safe Removal Asbes di Cianjur, Jawa Barat/Dok. LION Indonesia

Berbagai penelitian menjelaskan segala jenis asbes mengandung zat penyebab kanker atau karsinogen. Di Indonesia, impor asbes telah dimulai sejak era 1950-an dan menyentuh angka puluhan juta dolar AS pada tahun 1990-an hingga sekarang. Apakah mungkin ada bahaya endemi dari penyakit akibat asbes di Indonesia?


Sejak dulu, penggunaan bahan baku asbestos atau asbes pada bangunan rumah di Indonesia sudah lumrah digunakan. Sebagai bahan material yang murah serta memiliki ketahanan tinggi terhadap panas (insulasi), asbes menjadi bahan bangunan pilihan yang sering digunakan masyarakat di Indonesia.

Bukan hanya sebagai campuran bahan bangunan saja, asbes juga digunakan sebagai bahan pembuatan baju tahan panas seperti milik petugas pemadam kebakaran. Sedangkan produk berupa kain asbes, biasanya digunakan sebagai lapisan tangki dan pipa pabrik yang memerlukan bahan tambahan insulasi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2024, penggunaan asbes sebagai bahan bangunan menempati posisi ketiga dalam kategori “Atap Rumah Terluas”. Posisi pertama ditempati oleh genteng (54,94 persen), posisi kedua dengan bahan seng (32,43 persen), dan posisi ketiga ditempati asbes (9,68 persen).

Dari angka tersebut, Provinsi DKI Jakarta (57,49 persen) dan Kepulauan Bangka Belitung (54,68 persen) masuk dalam posisi tertinggi sebagai daerah dengan penggunaan bahan baku asbes untuk atap perumahan.

Sayangnya, di balik sifat ketahanan dan harganya yang murah, bahan baku asbes menyimpan dampak yang sangat buruk bagi kesehatan manusia. Pada 2014, World Health Organization (WHO) mengeluarkan laporan kesehatan yang menyebut segala jenis asbes mengandung zat karsinogen atau penyebab kanker.

Laporan itu juga menyebutkan jumlah kematian akibat penyakit terkait paparan asbes atau Asbestos Related Disease (ARD) yang secara global mencapai 107.000 orang setiap tahunnya. Penyakit tersebut di antaranya asbestosis, fibrosis, kanker paru, kanker laring dan ovarium, serta mesothelioma.


Jejak Asbes di Indonesia

Sejak era 1950-an, Indonesia sudah melakukan impor asbes sebagai pasokan kebutuhan bahan bangunan dalam negeri. Dalam laporan Colonial Survey Geological 1950–1955, Indonesia tercatat melakukan impor material asbes sebanyak 229,7 ton pada 1950. 

Asbes memang telah jadi primadona pasar global sebagai bahan bangunan sejak puluhan tahun silam. Buktinya, pada 1976, lewat skema Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) 1967, Soeharto turut merangkul sekitar 46 perusahaan yang salah satunya adalah perusahaan produsen asbes terbesar di Australia bernama James Hardie.

Dikutip dari buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita seri IV (1976-1978), Antara melaporkan peresmian pabrik PT James Hardie Indonesia di Tangerang dihadiri langsung oleh Soeharto dan Perdana Menteri Australia Malcolm Fraser pada 8 Oktober 1976. Dalam pidatonya, Fraser menyebut PT James Hardie Indonesia merupakan salah satu investor asal Australia terbesar di Indonesia. 

Perusahaan produsen bahan bangunan, tangki, dan pipa berbahan asbes ini resmi beroperasi dengan mempekerjakan sekitar 200 orang pada tahun 1976. Per bulannya, PT James Hardie Indonesia dapat menghasilkan 30.000 ton bahan bangunan dan 25.000 produk pipa dan tangki berbahan asbes.

Babak impor Indonesia dengan bahan baku asbes telah berlangsung cukup lama dengan harmonis. Tidak terlalu berlebihan untuk menyebut Indonesia saat itu doyan mengimpor bahan baku asbes. Bahkan, mengutip Asbestos in Asia (2015), Indonesia pernah dinobatkan sebagai negara pengimpor asbes terbesar urutan ke-8 di Asia pada 1999-2004. 

Mengutip World Integrated Trade Solution (WITS), pada 1990 total impor asbes Indonesia menyentuh angka 28,5 juta ton dengan nilai impor sebesar USD 13,5 juta. Jumlah ini naik drastis pada tahun 2004 yang menyentuh angka 64,5 juta ton dengan nilai impor sebesar USD 19,4 juta.

Seperempat abad lebih kemudian, nilai impor bahan baku asbes pada 2019 semakin meluap hingga menyentuh 122,1 juta ton atau senilai USD 58,09 juta. Lalu terlihat menurun pada 2024 menjadi 84,2 juta ton atau senilai USD 48,04 juta. Walau terlihat menurun pada 2024, Indonesia masih berada pada urutan nomor dua di dunia sebagai importir terbesar bahan baku asbes.

Sejak impor masif pada 1970-an saat PT James Hardie memulai praktik produksi asbes di Indonesia, hingga kini nilai impor Indonesia terhadap bahan baku asbes tidak terlihat akan mereda ataupun dihentikan untuk dikaji ulang. Padahal, di balik penggunaan massalnya, tersimpan bahaya yang sangat buruk bagi kesehatan manusia.

Bahaya Asbes
Sosialisasi dan pelatihan Safe Removal Asbes di Cianjur, Jawa Barat/Dok. LION Indonesia

Asbestos dan Bahayanya bagi Manusia

Selain mengandung karsinogen, mineral asbes juga bersifat radioaktif. Thamrin & Akhadi (2004), dalam artikel Dampak Radiologis Pelepasan Serat Asbes, mengatakan dalam bentuk mineral tambang, asbes mengandung zat radiologis alamiah yakni 238U dan 232Th yang juga berbahaya bagi tubuh manusia.

Lebih lanjut, Thamrin & Akhadi (2004) mengatakan, sifatnya yang tahan lama membuat pecahan serat asbes dapat bertahan dalam waktu lama di dalam tubuh. Debu halus yang dihasilkan dari pecahan asbes, membentuk serat-serat mikroskopis yang juga membuatnya bertahan lama di udara, dan menempel pada pakaian dan kulit tubuh manusia. 

Jalur masuk debu serat asbes tidak hanya melalui pernapasan. Serat asbes juga dapat masuk melalui pori-pori untuk menetap dalam waktu lama hingga kemudian menyebabkan kerusakan organ pada tubuh manusia secara perlahan. 

Ade Dwi Lestari dkk. (2023) dalam artikel Occupational Asbestos Related Diseases in Indonesia: A Call for Urgent Action and Awareness menyebutkan bahwa sejak pertama kali seseorang terpapar serat debu asbes, butuh waktu 10-70 tahun hingga penyakit muncul di dalam tubuh. Lebih lanjut, tingkat keganasannya akan terjadi pada rentang usia paparan 20-50 tahun.

Seorang buruh asbes mengangkat poster bertuliskan “Nyawa Lebih Berharga daripada Laba!” dalam rangka memperingati International Workers’ Memorial Day (IWMD) 2020/Dok. LION Indonesia

Diakronik menemui Ade Dwi Lestari, seorang dokter Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) sekaligus pengajar di Universitas Trisakti pada Jumat (28/11/2025). Ia mengatakan, penyakit yang disebabkan karena paparan serat debu asbes tidak bisa disembuhkan. Hal ini lantaran serat debu yang tertinggal di dalam tubuh tidak bisa larut dan akan menetap dalam jangka waktu yang lama.

Lebih lanjut, pengajar sekaligus ahli Penyakit Akibat Kerja (PAK) ini mengatakan, memang rata-rata penyakit dalam kategori PAK itu tidak bisa disembuhkan, termasuk yang disebabkan asbes. Proses perawatan yang dapat dilakukan hanyalah upaya untuk meredakan gejala sakit. 

WHO dan gelondongan penelitian ilmiah ahli medis telah panjang lebar mengatakan seberapa bahayanya segala jenis asbes. Sifat ketahanannya membuat serat debu yang dihasilkan tidak bisa larut oleh zat asam tubuh. Sialnya, situasi ini tidak dibarengi dengan perhatian serta pengawasan khusus oleh pemerintah.

Belum ada upaya konkret dari pemerintah untuk mengatasi situasi ini. Padahal, WHO dan ILO pada 2016 telah merilis laporan yang menyatakan bahwa lebih dari 200.000 buruh secara global, setiap tahunnya mati karena kanker akibat paparan asbes.

Angka itu mewakili 70 persen dari seluruh kasus kematian akibat kanker yang berkaitan dengan pekerjaan. Artinya, paparan asbes menduduki posisi dominan sebagai sumber kanker yang mematikan bagi buruh.

“Asbes adalah sekelompok serat mineral yang memiliki penggunaan komersial yang luas, baik saat ini maupun di masa lalu, namun dapat menyebabkan kematian dan gangguan kesehatan serius pada pekerja dan orang lain yang terpapar serat ini (lebih dari 200.000 kematian di seluruh dunia setiap tahunnya, disertai dengan beban kesehatan yang besar),” tulis WHO dalam laman resminya.


Minimnya Diskursus ARD Akibat Kelalaian Negara

Bukan tidak mungkin ada potensi bahaya laten endemi ARD di Indonesia. Bahan mentahnya telah diimpor besar-besaran sejak lama. Berbagai pabrik pengolahan bahan baku asbes juga masih beroperasi hingga kini. Tidak adanya keseriusan negara untuk andil memperhatikan bahaya asbes hadir sebagai faktor masalah utama.

Menurut Ade Dwi Lestari, peran serta perhatian negara pada fenomena bahaya asbes masih sangat minim. Hal ini terlihat pada tidak adanya standarisasi pemantauan medis terhadap buruh yang berhubungan langsung dengan paparan asbes.

“Pemantauan medis terhadap pekerja yang terpapar asbes belum terstandarisasi,” ujar Ade dalam paparannya saat workshop pelatihan daring berjudul “Resiko Kesehatan Penggunaan Asbes” pada Kamis (22/10/2025).

Pada 2016, Ade menemukan sebanyak 10 dari 20 orang yang positif terkena ARD. Sepuluh orang itu sama-sama telah bekerja selama puluhan tahun di pabrik pengolahan produk asbes dan mengeluhkan batuk-batuk yang tak kunjung sembuh.

Tidak adanya standarisasi ini jadi kondisi laten yang membuat Indonesia berpotensi memiliki endemi ARD. Sebab, aturan detail tata cara diagnosa PAK baru muncul dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 pada tahun 2022 tentang Pelayanan Kesehatan PAK. Aturan ini muncul di waktu yang amat telat jika melihat jejak sejarah peredaran asbes di Indonesia.

Keterlambatan pemerintah akhirnya berdampak pada proses pengecekan medis bagi pasien ARD dari hulu sampai hilir. Hal ini membuat para dokter kebingungan dalam penanganan medis untuk pasien pengidap ARD.

Bahaya Asbes
Partikel mineral asbes dalam bentuk mikroskopis/Sumber: Wikimedia Commons

Pada konsekuensi lebih lanjut, diskursus kesehatan terkait ARD menjadi sangat minim di Indonesia. Kata Ade, tak jarang dokter sering luput sehingga terjadi misdiagnosis dengan memvonis penyakit TBC atau tuberkulosis pada pasien ARD. 

“Jadi sering under diagnosis atau misdiagnosis dengan TBC, yang paling sering dengan TBC, karena lokasinya kan TBC di atas (paru), ini asbes sebenarnya di bawah (paru),” ujarnya. 

Ade melanjutkan, biasanya pasien pengidap TBC baru akan sembuh setelah menjalani 6-9 bulan perawatan intensif. Seharusnya, dokter patut curiga jika 9 bulan lebih perawatan pasien tidak kunjung sembuh. Namun, keharusan itu berbenturan dengan kenyataan bahwa kapasitas pengetahuan ARD di kalangan dokter yang masih minim. 

“Nah ini misalnya gambaran TBC nya ga sembuh-sembuh nih, kok masih ada? terus jangan-jangan (ada penyakit) lain. Ga mungkin berhenti pengobatan. Baru berpikir ke arah ‘oh iya mungkin jangan-jangan ada hal lain (misalnya ARD)’ bukan hanya TBC yang murni,” ujar Ade.

Diakronik sempat menanyakan apakah ada data terkait fenomena misdiagnosis yang kerap dialami para pasien ARD di Indonesia. Namun, Ade menerangkan, data itu belum ada.

Tidak adanya data misdiagnosis pada fenomena penyakit ARD membuat ketegangan yang lain. Ade melanjutkan, bukan tidak mungkin ada banyak masyarakat di Indonesia yang sedang mengidap ARD namun tidak terdeteksi.

Mengutip dari Anna Suraya, dkk. (2020) dalam artikel Asbestos-Related Lung Cancer: A Hospital-Based Case-Control Study in Indonesia, WHO memprediksi kasus penyakit kanker paru akibat paparan asbes pada 2017 sebanyak 1.000 dan kasus kanker mesothelioma sebanyak 400 di Indonesia.


Mengapa Indonesia Belum Melarang Asbestos

Hak rakyat atas kesehatan dan lingkungan yang sehat sebetulnya sudah dijamin oleh negara dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal ini jadi cukup mengherankan, karena pada kenyataannya pemerintah tidak benar-benar serius memperhatikan fenomena bahaya asbes bagi kesehatan masyarakat.

Beberapa aturan turunan di Indonesia juga sudah dengan jelas menyatakan segala jenis asbes sebagai bahan yang mengandung zat berbahaya. Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, pada Lampiran I aturan ini, segala jenis asbestos sudah masuk ke dalam daftar Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dipergunakan.

Bukan hanya itu, limbah yang dihasilkan dari produksi pengolahan asbes pun juga masuk dalam kategori bahan B3 yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan sesuai dengan lampiran IX pada PP 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tata cara teknis pemrosesan semua limbah yang masuk dalam kategori B3 ini  kemudian diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah B3.

Diakronik menemui salah seorang korban PAK akibat asbes bernama Kuswoyo pada Minggu 30 November 2025. Pada kenyataannya, ia menuturkan, salah satu pabrik asbes yang berjarak kurang dari satu kilometer dari rumah tinggalnya di Cibinong, Kabupaten Bogor, masih membuang limbah ke bantaran sungai sekitar. 

Kalau untuk kasus PAK karena asbes, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2019 sudah mengaturnya. Asbestos dianggap sebagai penyakit yang menyerang saluran pernapasan karena pembentukan jaringan parut. Pada tahap yang ekstrem, asbes juga masuk dalam kategori penyakit kanker dalam PAK.

Anehnya, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia, masih belum mengatur asbes putih atau krisotil sebagai bahan B3 yang patut diberikan label berbahaya.

Aturan ini pun sempat digugat ke Mahkamah Agung (MA) oleh sejumlah aktivis K3, di antaranya Ajat Sudrajat, Dhiccy Sadewa, dan Leo Yoga Pranata bersama LPKSM Yasa Nata Budi pada 27 Desember 2023. Hasilnya, pada 19 Maret 2024, MA mengabulkan gugatan uji materiil atas aturan tersebut.

Limbah asbes yang berserakan di dekat pemukiman warga/Dok. LION Indonesia

Menurut kuasa hukum LPKSM Yasa Nata Budi, Dadan Januar, uji materiil itu mereka lakukan karena adanya bentuk pengabaian hierarki peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Kemendag lewat lampiran huruf B angka 5 pada Permendag 25/2021.  

“Dari sisi hierarki perundang-undangan, Permendag dan Permen Industri itu sejajar, tetapi mereka tidak melihat UU (Undang-Undang) seperti yang sudah disebutkan tadi yang menyatakan bahwa asbes adalah B3. Hierarki perundang-undangan itu diabaikan,” jelas Dadan ketika ditemui Diakronik, Kamis (27/11/25).

Gugatan uji materil mereka memang dikabulkan saat itu oleh hakim MA. Tetapi, hingga kini, perintah untuk merevisi lampiran pada Permendag itu belum juga dilakukan oleh Kemendag. 

Bahaya Asbes
LION Indonesia melakukan kampanye bahaya asbes usai mendaftarkan permohonan hak uji materil ke MA mengenai Permohonan Pengujian Permendag Nomor 25 Tahun 2021 lampiran huruf B angka 5, di depan Gedung MA, Jakarta Pusat, 29 Desember 2025/Dok. LION Indonesia

Dadan menilai, sejak saat dimenangkannya uji materil pada 2024, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa krisotil yang beredar tanpa label sampai sekarang merupakan barang ilegal.

Menurut Dadan, dalam kacamata hukum kondisi ini diberi nama fiktif negatif atau sikap diam yang dilakukan Kemendag atas perintah hukum yang diberikan MA. 

Dengan begitu, jika lebih dari empat bulan sejak putusan MA diketuk tetapi Kemendag belum juga melakukan tindakan berupa perubahan aturan, maka seharusnya secara otomatis perubahan dalam aturan itu sudah berlaku.

“Konsekuensinya, kalau tidak (kunjung) dilaksanakan itu kan seharusnya dieksekusi. Cara eksekusinya itu yang memang masih belum ada (aturannya) di kita (Indonesia),” ujar Dadan.

Kompleksitas masalah hukum itu, lanjut Dadan, merupakan buah dari adanya kepentingan bisnis tertentu. Hal ini dikarenakan Kemendag menjadi pihak yang mengatur sistematika produksi perdagangan barang.

“Kepentingannya adalah bisnis karena Permendag yang mengatur soal peredaran dan penjualan. Permendag terkait peredaran itu harus jelas, apakah peraturan ini mengatur seseorang atau subjek hukum untuk menjual atau memproduksi asbes,” ujar Dadan.

Pada kenyataannya, impor asbes Indonesia pada 2024 juga masih menyentuh angka puluhan juta ton dengan nilai puluhan juta dolar AS. Disusul dengan keterangan BPS pada 2024 mengenai jumlah penggunaan atap rumah yang menyatakan asbes masih ada di posisi ke-3 terbanyak secara nasional dengan angka 9,68 persen.

Lapisan masalahnya cukup tebal, berbagai hal saling bertumpuk dan membentuk simpul kerumitannya sendiri. Di balik sifat ketahanan dan harga yang murah, terdapat resiko yang amat besar bagi kesehatan manusia. Bukan tidak mungkin Indonesia menyimpan jejak laten potensi endemi ARD di tengah minimnya perhatian negara.


Tulisan ini merupakan bagian pertama dalam serial liputan mendalam berjudul Ancaman Endemi Di Balik Bayang-Bayang Asbestos. Serial ini mengurai berbagai permasalahan terkait bahaya material asbes dan menghubungkannya pada kemungkinan endemi dari penyakit akibat asbes atau Asbestos Related Disease (ARD) di Indonesia.

Kawan Redaksi

Editor: Hastomo Dwi Putra

ARTIKEL LAINNYA

Share

Temukan Artikel Anda!