Pongah adalah satu kata yang tepat untuk menggambarkan sikap elite yang menantang Rakyat-nya, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, belum lama ini.
Gayung bersambut. Tantangan berbalas dengan gerudukan.
Pembatalan sumber kemarahan Rakyat, kenaikan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2), dan permintaan maaf Sudewo selaku bupati (elite), tidak meredam amarah.
Martabat yang hendak diusik memang wajib diperjuangkan.
Dan itulah yang dilakukan Rakyat Pati, ketika martabatnya sebagai manusia dilecehkan dengan kepongahan elite yang menganggap Rakyat, para orang-orang biasa yang dipandang kecil, tak punya kuasa melawan kekuasaan.
Kekuasaan, di bidang politik dan ekonomi, memanglah cukup membikin mereka yang mendudukinya buta, juga pikun, sehingga lupa seorang manusia yang dianggap paling tak berdaya sekalipun masih bisa melawan.
Kebutaan dan kepikunan tersebut seakan-akan menjadi watak yang diwariskan setiap kekuasaan.
Dalam politik praktis (jabatan), kekuasaan dipandang sebagai jalan untuk memuluskan kepentingan, baik kelompok maupun individu.
Dampaknya, negara yang diwakili para penguasa itu, hadir sebagai tukang ukur tanpa menimbang tiap-tiap makhluk hidup yang ada di atasnya.
Mereka mengukur tiap-tiap jengkal yang bisa memuluskan kepentingannya, sehingga lahirlah kebijakan yang sembrono, kebijakan yang jauh dari kata bijak karena asas yang digunakan hanya sebatas: yang penting tidak menyalahi aturan.
Jikalau aturannya tidak ada atau ada namun bertentangan dengan kepentingannya, maka tercetuslah gagasan yang mereka pandang brilian: buat aturannya atau ubah sesuai kepentingannya.
Mental asal tidak menyalahi aturan tersebut juga menjadi penyakit akut dalam kekuasaan di bidang ekonomi. Para penguasa di bidang ini, bos, atasan, dan sejenisnya, kerap menerapkan muslihat yang sama.
Kesamaan pun tidak terbatas pada muslihat yang digunakan, melainkan juga pihak yang menjadi korban: Rakyat biasa, orang-orang yang kerap dipandang remeh.
Berhimpun, Melawan Kemudian
Peristiwa yang terjadi di Pati adalah konsekuensi wajar. Sebab, dalam sejarah peradaban manusia, berhimpun memang menjadi jalan terbaik untuk melakukan perlawanan.
Di Indonesia, cara tersebut juga sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari, bahkan oleh kelompok yang dianggap kecil atau remeh-temeh, yakni kaum buruh penjahit Tionghoa di Surabaya pada 1926.
Ya, tukang jahit, yang mungkin dipandang amat remeh karena menjadi minoritas, Tionghoa pula, pun ketika berhimpun mampu melakukan perlawanan.
Di Surabaya, 55 buruh tukang jahit Tionghoa yang bernaung dalam Tjay Hong Kong Hwee, melakukan mogok kerja pada 1-3 Juli 1926, sebagaimana diwartakan surat kabar lokal yang kembali dimutat Si Tetap, edisi Juni-Juli di tahun yang sama.
Mereka mogok untuk memperjuangkan tiga tuntutan, yaitu: menaikan gaji, mengurangi jam kerja, dan memberikan makan tambahan.
Tiga tuntutan tersebut dilayangkan untuk lima perusahaan tempat para buruh bekerja: Long Soen & Co., Wing Fong & Co., Kho Wah & Co., Hei Lon & Co., dan Hong Kong Tailors.
Hasilnya? Tuntutan dikabulkan!
Bagi orang-orang yang dianggap kecil, kemerdekaan bukan sesuatu yang identik dengan kemewahan. Ia (merdeka) bisa berwujud pada apa yang ada di atas piringnya dan istirahat cukup.
Pada periode 1919, dua hal tersebut pun sudah menjadi sorotan atas penghidupan kuli kontrak asal Jawa yang bekerja di Deli.
Dalam Sama Rata, Toemenggoeng Soerogoeno mengkritisi penghidupan para kuli kontrak yang semestinya hidup makmur, tapi justru nelangsa.
Ia berkeyakinan demikian karena para kuli kontrak yang bekerja, tapi justru para pengusaha perkebunan yang hidupnya sejahtera.
“Tetapi djoestroe doenia beloem sedar, Dimana dia jang mengerjakan, dialah jang terhina. Djaoeh di kata: boedi di balas dengan boedi,” demikian Soerogoeno menggoreskan penanya.
Soerogoeno menegaskan, sudah bertahun-tahun banyak orang Jawa datang ke Deli menjadi kuli kontrak, tapi di antara mereka tidak ada satu pun yang hidupnya senang.
Adapun kesenangan yang dimaksud adalah penghidupan yang sederhana. Apa itu sederhana? Bisa tidur dengan nyaman dan makan cukup!
“Lain tida oentoengnja dari contrakan djadi manoesia roesak, roesak penghidoepannja, roesak adatnja, roesak anggoutanja, roesak … lontjong roesak. Siapakah jang djadi perlindoengan mereka?
Gouvernement Belanda jang adil!
Toean-toean boediman! Manoesia jang tida tahoe membalas boedi, manoesia majam apakah itoe?” keras Soerogoeno berkata.
Kemerdekaan di Kolong Mimbar
Hingga kini, kesenangan yang sederhana itu pun masih diganggu gugat oleh elite politik dan ekonomi.
Gangguan tersebut tampak jelas dari realita orang-orang Indonesia yang masih berjibaku untuk meneruskan hidup. Bilamana ada hiburan, maka lebih banyak bersemayam di warung-warung pinggir jalan.
Pada kota-kota besar yang sudah sesak dengan gedung, hiburan juga terletak pada ruang yang beratap beton.
Di bawah fly over, tak jarang dijumpai percakapan kecil tentang khayalan libur panjang, makan di restoran enak, besok kerja apa biar dapat duit, juga terselip nyanyian seseorang dari pengeras suara, sebagaimana yang kerap saya dengar di bawah fly over Kebayoran Lama, Jakarta.
Ini bukan perkara suara penyanyi fals atau tidak, tapi begitulah potret hiburan dari orang-orang biasa, orang-orang yang dianggap kecil dan tak punya daya dalam kacamata penguasa.
Biar begitu, hemat saya, hiburan yang ala kadar tersebut juga bentuk perlawanan dari si penyanyi untuk mempertahankan kemerdekaannya yang sederhana: tetap bernyanyi tanpa peduli orang-orang yang mendengarnya menganggap sumbang atau tidak!
Percakapan kecil yang menertawakan realita hidup dengan miris hingga karoke di pusat kemaramaian di bawah fly over Kebayoran Lama selepas magrib, juga himpunan perlawanan yang bisa menambah energi untuk tetap bertahan.
Situasi yang jauh dari kondisi ideal ini tidak boleh dibiarkan. Sebab, sudah sepatutnya orang-orang yang mengendalikan jalannya sistem negara hadir, dan bukan cuman omon-omon kosong dengan panji-panji patriotismenya.
Namun, selama elite politik dan ekonomi masih bertingkah kurang ajar, ruang-ruang yang mengakomodir perlawanan-perlawanan kecil wajib dijaga kehidupannya!
Pasalnya, justru di situlah bersemayam kemerdekaan yang masih diperjuangkan oleh kebanyakan orang-orang di Indonesia.
Kemerdekaan tentang bisa bekerja, sekolah, istirahat cukup, tidak dicekik pajak, juga merdeka dari kekhawatiran besok masih bisa makan atau tidak.
Akan tetapi, kemerdekaan yang seperti itu masih di bawah mimbar, karena hingga kini konsisten diinjak-injak para elite yang berada di atas podium.
Syahdan, hal tersebut menegaskan mereka berjuang bukan untuk menyelesaikan masalah, tapi justru menyembunyikan kemerdekaan yang sesungguhnya diperjuangkan banyak orang dengan berbagai cara.
Mulai dari asal tidak menyalahi aturan hingga yang penting tampak apik di depan kamera supaya mendapatkan simpati dan dukungan di dunia maya.
Maka itu, apa yang dilakukan Rakyat di Pati, juga buruh jahit di Surabaya, hingga orang-orang selepas magrib di kolong fly over Kebayoran Lama, adalah contoh konkret yang harus dilakukan orang-orang (kecil) untuk merebut kemerdekaannya: berhimpun!