Pramoedya Ananta Toer: Meniadakan Utopia dan Perkara Angkatan Muda

Pramoedya Ananta Toer: Meniadakan Utopia dan Perkara Angkatan Muda

Karya-karya Pramoedya Ananta Toer
Beberapa karya Pramoedya Ananta Toer. Sumber foto: Diakronik.com

Menutup sesi diskusi Satu Abad Kelahiran Pramoedya Ananta Toer, Indonesianis asal Australia, Max Lane, mengutip percakapan dalam Rumah Kaca karya Pram:

“Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang, karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka kemajuan sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”

Max tidak asal memilih paragraf tersebut. Ini tak ubahnya simpulan dari diskusi yang sedari awal membahas Pram dari segala sisi, yang sepenangkapan saya, pada pokoknya tentang bagaimana suatu generasi menciptakan perubahan, menciptakan kenyataan baru tentang kemajuan.

Tidak mengherankan jika pembahasan mengarah kepada hal itu, karena acara yang berlangsung pada Sabtu (08/02/2025) di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ini, diselenggarakan sembilan organisasi gerakan Rakyat.

Penyelenggara yang dimaksud adalah Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Konfederasi Serikat Nasional (KSN) Serikat Pekerja Kampus (SPK), Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO), Solidaritas.net, dan Koreksi.org.

Selain Max, sesi diskusi juga menghadirkan Reza Muharam, Anwar Sastro, dan Roy Murtadho.


Pramoedya Ananta Toer Meniadakan Utopia

Menyoal perubahan, dalam satu momen Max dan Roy membahas bagaimana pemikiran Pramoednya Ananta Toer yang ingin meniadakan utopia atau suatu keadaan ideal yang dipandang sukar terwujud.

Dalam konteks itu, apa yang disebut utopia ini berkelindan erat dengan visi, gagasan, sebagaimana Pram yang pernah mengusulkan nama Indonesia diganti dengan Nusantara atau Dipantara.

Visi atau gagasan harus diwujudkan. Hal paling mendasar untuk mewujudkannya adalah menulis, lalu dipublikasikan agar apa yang ingin diwujudkan diketahui oleh orang banyak.

Sementara Roy mendedah kembali pemikiran Pram yang menekankan pentingnya alat politik (organisasi) untuk mewujudkan visi atau gagasan. Tanpa alat politik, keduanya tidak akan terwujud, sebab tidak ada yang bisa melakukan perubahan seorang diri.

Kekinian, visi tentang Indonesia inilah yang absen—jika tidak berlebihan. Banyak orang seakan-akan pasrah dengan apa yang terjadi.

Kalaupun ada, tidak jarang visinya mendapat batu sandungan yang terejawantahkan dalam ejekan: jangan ngimpi, dari orang-orang di sekitar. Dampak cemoohan tersebut yang lantas membuat apa yang disebut utopia menjadi kenyataan.

Padahal, sebagaimana yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer di Rumah Kaca, kita perlu membikin kenyataan-kenyataan baru untuk mewujudkan kondisi ideal, sebuah visi tentang kemajuan.

Pemikiran itulah yang menurut saya mewakili pandangan Pram, bahwa utopia dapat ditiadakan dengan berjuang yang diawali dari menulis dan digerakan melalui alat politik.

Sikap optimisme Pram yang hendak menghapus utopia dari kamus kehidupan turut ia sampaikan dalam Kongres Nasional ke-1 Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) di Solo, Jawa Tengah, pada awal 1959.

Dalam pidatonya yang dimuat Harian Rakjat (HR) edisi 21 Februari 1959, Pram menekankan pentingnya alat politik untuk mambangun masyarakat Indonesia. Alat politik yang dimaksud adalah lembaga-lembaga yang bekerja untuk Rakyat.

Menurut Pram, suatu lembaga harus bekerja atas dasar-dasar ilmu pengetahuan. Namun dalam hubungannya dengan seni untuk Rakyat, keilmuan ditegaskan bukan intelektualitas tanpa hubungan dengan kenyataan yang dihadapi Rakyat.

“Karena memadjukan Rakjat tanpa punja pengetahuan jg. kongkrit tentang Rakjat itu sendiri hanjalah suatu idealisme dan bila dilaksanakan djuga akan merupakan pekerdjaan tambal sulam, tidak revolusioner, dan akan terdjatuh kembali pada keadaan,” ucap Pram sebagaimana diwartakan HR.

Mewujudkan visi kemajuan bangsa dengan pendekatan persoalan Rakyat adalah perspektif Pram yang perlu didudukkan kembali untuk gerakan massa kekinian. Tidak tepat bila Rakyat harus melihat satu persoalan dari sudut pandang para intelektual.

Bahkan, dalam satu era revolusi kebudayaan Indonesia, Pram menilai perguruan tinggi bukan lagi mahaguru masyarakat! Menurutnya, dalam revolusi nasional demokratik Indonesia, perguruan tinggi hanya menduduki tempat sebagai alat revolusi, bukan sumber.

“Karena itu djuga Revolusi Kebudajaan kita jang tidak lain dari bagian integral dari Revolusi Nasional kita takkan mungkin dapat didikte dari mimbar2 professorat dan djuga tidak mungkin dibendung dan dipimpin dari situ,” ucap Pram dalam “Penilaian Atas Situasi & Kondisi: Revolusi Kebudajaan Kita Dewasa ini”, Bintang Timur edisi 14 Juni 1964.

Persoalan yang dihadapi saat ini, seperti upah murah, diskriminasi, penggusuran, pengangguran, dan banyak lainnya, pun tidak boleh dilihat dan dipimpin dari kampus. Justru para penghuninya yang perlu melihat dari perspektif korban.

Cara kerja seperti itu pula yang sedianya dapat dilakukan untuk menciptakan kenyataan-kenyataan baru tentang gagasan kemajuan dalam rangka keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.


Angkatan Muda: Disepak atau Mengukir Sejarah?

Dari sononya, perubahan diciptakan oleh Kaum Muda. Bahkan, visi yang mula-mula oleh para Londo ditertawakan, dianggap utopia: Indonesia Merdeka, pun akhirnya diwujudkan oleh Angkatan Muda.

Kini, joget-joget di TikTok atau mengumbar drama picisan di media sosial lainnya pun dilakukan oleh Angkatan Muda.

Suka tidak suka, tiap masa memang membawa angkatannya masing-masing. Sebagaimana yang pernah ditulis Pramoedya Ananta Toer, suatu angkatan tergantung pada banyak-sedikitnya, kuat atau lembeknya dialektika yang ada dalam masyarakat itu sendiri.

Menyoal ini, Pram mengingatkan setiap angkatan memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Namun nahasnya, kata Pram dalam esai “Tentang Angkatan” di Indonesia edisi Desember 1952:

“Kelemahan suatu angkatan pada masanja biasanja tidak diinsafi sendiri olehnja. Sorak-sorai terlalu riuh sehingga orang tak sempat mengoreksi diri, dan kematian segera datang sebelum sempat orang melakukannja. Kematian ini selamanja dimulai dengan datangnja angkatan baru. Dia jang mengoreksi.”

Dan apakah terbuai dengan joget-joget di TikTok adalah kelemahan yang tidak disadari oleh Angkatan Muda saat ini? Juga mengikuti drama norak di media sosial, termasuk gosip, mengulik video porno para pesohor, hingga tips menang judi online adalah kegoblokan Angkatan Muda yang tak disadari?

Sudah sepatutnya hal-hal semacam itu masuk kategori kesalahan! Bila tiada perubahan, maka berlaku apa yang pernah disampaikan Pramoedya Ananta Toer, bahwa kematian suatu angkatan bersarang dalam kelemahannya sendiri.

Situasi tersebut adalah alarm yang membikin visi kemajuan menjadi utopia, suatu bukti kemunduran generasi. Apalagi, bila Angkatan Muda justru memilih terbuai dengan kesalahan-kesalahannya itu, bukan berjuang.

Fenomena ini, bagi Pram, adalah tindakan yang tak ubahnya bunuh diri!

“Apabila Angkatan Muda kini tidak sibuk dengan perjuangannya lagi, di samping memperkuat watak-watak pendeknya seluruh kepribadiannya, ia akan mati muda sebagai gerombolan reaksioner di segala masa,” ucap Pram dalam esai “Angkatan dan Dunianya”, Pumuda edisi Januari 1953, dikutip dari Menggelinding I.

Memang, tidak sedikit yang berasalan scroll media sosial sampai judi online adalah bagian dari hiburan. Ya, memang semua manusia butuh hiburan. Namun, pertanyaannya apakah yang diklaim hiburan itu memang bisa menghibur? Toh, akhirnya tiada yang bisa didapat selain rungkat sendiri.

Maka, kesalahan-kesalahan yang seakan-akan tak diinsafi ini, lebih tepat disebut sebagai pelarian atas keadaan sulit yang dialami. Padahal, menurut Pramoedya Ananta Toer, kesukaran-kesukaran hidup justru sebagai penanda harus berjuang.

“Ini adalah masalah Angkatan Muda sendiri! Tidak lain daripada dia sendiri! Bukan seharusnya orang ditentukan keadaannya oleh kesukaran-kesukaran yang dihadapinya, tetapi kesukaran-kesukaran itu hanyalah (atau wajib dipandang) bahwa hidup ini ada, bahwa perjuangan kembali dibutuhkan. Bila semua itu tidak disadari, maka titik akhir telah tersedia,” tulis Pram.

Namun, situasi yang menjadi tren di Angkatan Muda kini, masih bisa terselamatkan dengan membangun visi kemajuan, kondisi ideal tentang hidup makmur dan terwujudnya sila kelima dalam Pancasila.

Perihal itu, dalam diskusi Satu Abad Kelahiran Pramoedya Ananta Toer, Max pun mengingatkan kembali bagaimana orang-orang Indonesia bangga dengan visinya, tujuannya.

Menurut Max, di era 1950-an atau setidak-tidaknya sampai 1965, orang-orang Indonesia saat itu ketika ditanya dari mana, jawabannya bukan asal daerah seperti yang lazim terjadi saat ini. Akan tetapi, mereka menjawab dengan pandangan ideologinya masing-masing.

“Orang-orang dulu kalau ditanya dari mana, jawabnya saya NU (Nahdlatul Ulama), saya Masjumi, saya PKI (Partai Komunis Indonesia), saya PNI (Partai Nasional Indonesia). Mereka menunjukkan visinya ke depan mau seperti apa,” kata Max.

Artinya, pertanyaan dari mana dijawab dengan masa depan, bukan masa lalu (asal daerah). Lagi pula, jawaban tersebut memang lebih tepat karena tidak ada yang peduli juga seseorang berasal dari di daerah mana.

Bila ditarik ke Angkatan Muda kini, menjadi penting untuk merumuskan visi ke depan ingin seperti apa, lalu ditulis dan diperjuangkan bersama-sama dengan alat politik.

Meskipun angkatan baru yang tetap menang, sekalipun kesalahan-kesalahan yang dilakukan Angkatan Muda saat ini hampir mengakar, tetapi mereka tetap punya kesempatan untuk abadi, selayaknya Angkatan Muda yang memerdekakan Indonesia, membuat hal yang dianggap utopia oleh Londo menjadi kenyataan.  

Berkelindan dengan hal tersebut, dalam esai “Tentang Angkatan”, Pramoedya Ananta Toer menulis:

“Tetapi suatu angkatan tidak akan mati selama ia telah menjumbangkan hasilnja kepada sedjarah.”

Editor: Redaksi Diakronik

ARTIKEL LAINNYA

Kriminalisasi Septia: Tidak Sekadar Melawan Jhon LBF, Septia Menggugat Pengabaian Hak-Hak Buruh di Tempat Kerja
Brutalitas Negara dan Sejumlah Alasan Mengapa Polisi Dibenci
Menuju Negara Leviathan dalam Selubung Demokrasi: Wacana Penambahan Kodam dan RUU Penyiaran
Klub Sepak Bola Alternatif: Sebuah Harapan dan Autokritik

Temukan Artikel Anda!