Puluhan massa aksi solidaritas #BebaskanSeptia menduduki pelataran gedung Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (18/12/24). Mereka melakukan penyampaian pendapat sebagai bentuk dukungan terhadap kasus kriminalisasi yang menimpa Septia Dwi Pertiwi, mantan buruh PT Hive Five milik Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF.
Aksi solidaritas tersebut rencananya digelar selama Septia menjalani sidang pembacaan pledoi yang berlangsung hari ini. Pasalnya, Septia dilaporkan Jhon LBF usai melakukan protes di media sosial X pada 21 Januari 2024 tentang pelanggaran hak ketenagakerjaan yang ia alami.
Dalam orasinya, Septia mengucapkan terima kasih kepada massa aksi yang bersolidaritas atas kasus kriminalisasi yang menimpanya. Ia menyadari bahwa dirinya tidak sendiri dalam berjuang.
“Sejak dikriminalisasi, saya sadar, saya berhak bersuara. Yang saya alami adalah penindasan terhadap buruh,” ujar Septia.
Ia pun berharap, setelah agenda pembacaan pleidoi ini, tidak ada lagi buruh yang dikriminalisasi. “Semoga buruh perempuan berani bangkit atas penidnasan yang dialaminya,” jelasnya.
Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai (ASTAGA) menyampaikan lewat rilisnya bahwa Septia mengalami berbagai pelanggaran hak ketenagakerjaan.
“Pemotongan gaji tanpa alasan yang jelas, tidak mendapat BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, bekerja dalam waktu yang melebihi ketentuan, dan seterusnya,” ungkap TIM ASTAGA.
Syarif Arifin, perwakilan dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) mengatakan kasus kriminalisasi Septia bukan hanya soal penggunaan aturan negara sebagai alat kekuasaan, yang biasanya dilakukan negara maupun pemodal. Menurutnya, hal ini merupakan bentuk serangan terhadap rakyat kecil yang suatu saat dapat menyasar pada siapa pun.
“Ini bukan hanya persoalan bagaimana undang-undang dijadikan alat kekuasaan. Ini adalah serangan terhadap kita. Serangan terhadap kebebasan berpendapat, serangan terhadap demokrasi, dan serangan terhadap kita,” ujar Arifin.
Sementara itu, Tyas, perwakilan Aliansi Perempuan Indonesia (API) menyampaikan kasus kriminalisasi yang dialami Septia merupakan juga bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pasalnya, sejak dari tempat bekerja, sering kali protes maupun pendapat yang disampaikan oleh perempuan tidak dianggap.
“Kasus kriminalisasi Septia adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sebab kekerasan ini berlangsung secara sistemik, dari tempat kerja hingga di pengadilan yang tidak setara,” kata Tyas.