Homo homini lupus, begitukah logika pemerintahan hari ini dalam memandang rakyatnya?
Apa yang terbesit di dalam benak ketika mendengar kata demokrasi? Otomatis, terlintas jawaban rakyat yang memiliki kesetaraan hak. Nantinya, hak digunakan sebagai kuasa rakyat dalam pengambilan keputusan secara bersama.
Namun untuk mencapai itu semua, sistem demokrasi memiliki tugas penting. Salah satu yang perlu dilakukan adalah memberikan dulu kebebasan kepada rakyatnya. Dalam konteks Indonesia, kebebasan rakyat yang diwadahi oleh negara tertuang pada UUD 1945 Pasal 28 a hingga j.
Kebebasan rakyat jika melihat dari rentetan Pasal 28 a hingga j mengatur tentang berbagai hal, dimulai dari kebebasan berserikat, merdeka dalam berpikir, memperoleh informasi, dan lain sebagainya. Sayangnya, berbagai kebebasan tersebut hanya menjadi tinta di atas kertas tanpa adanya implementasi nyata dalam kehidupan bernegara.
Sebut saja dalam fenomena teranyar yang baru-baru ini hangat menjadi perbincangan di jagat masyarakat. Di sini, menjadi masyarakat demokratis seolah hanya bualan belaka. Adalah dengan wacana ditambahkannya Komando Daerah Militer (Kodam) dan direvisinya UU Penyiaran yang semakin mengekang kebebasan sipil hari ini.
Melansir dari Kompas (21/3/24), Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak menyatakan bakal membentuk sebanyak 22 komando daerah militer (kodam) baru di setiap provinsi. Saat ini, sudah berdiri 15 kodam dan akan diwacanakan bertambah menjadi 37 kodam yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Motif ditambahkannya kodam ini bertujuan untuk pemerataan keamanan di berbagai daerah, mengakselerasi pembangunan, hingga mencegah konflik sosial.
Sementara itu, isu RUU Penyiaran juga menjadi salah satu bola liar dalam beberapa bulan terakhir yang memancing reaksi negatif dari berbagai golongan masyarakat. Melansir dari Tempo, (28/5/24), dijelaskan bahwa RUU Penyiaran ini merupakan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yang diusul DPR RI Komisi 1.
Salah satu yang menjadi masalah dan agaknya klasik bersumber dari Pasal 50B ayat 2 huruf (k). Isi dari “pasal karet” ini adalah soal pelarangan membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Selain itu yang perlu menjadi sorotan adalah motif dilakukannya revisi ini.
Mengutip dari laman resmi KPI, RUU Penyiaran bisa digunakan sebagai kontrol KPI untuk mengatur seluruh jenis penyiaran, baik media digital maupun konvensional, supaya terhindar dari terorisme, radikalisme, kekerasan, konten narkoba, kriminalitas, ideologi Barat, pergaulan bebas dan lain-lain.
Nampaknya, dua wacana yang akan ditata ke dalam ekosistem negara kita hari ini memiliki kemiripan dengan era Orde Baru. Pada era tersebut, rezim Orde Baru memainkan cara-cara deideologisasi, deparpolisasi, dan mengusung ide-ide pragmatik demi melanggengkan pembangunan. Secara praktis, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengupayakan perbaharuan strategi Kodam.
Menurut jurnal bertajuk Peran Politik Militer (ABRI) Orde Baru Terhadap Depolitisasi Politik Islam di Indonesia yang ditulis oleh Edhy Hariyanto (2006), Kodam di masa Orde Baru menjadi salah satu pilar strategis untuk menciptakan kondisi stabilitas politik. Kala itu, Kodam difungsikan untuk pemenangan Golkar pada saat Pemilu, mengawasi atau memutuskan Komando Teritorial (Koter) guna mencegah mengalami gejolak sosial-politik, hingga melanggengkan status budaya negara militeristik. Tak ayal, terdapat cara-cara represif yang menciptakan trauma dalam masyarakat, bersembunyi di dalam jargon stabilitas dan keamanan nasional.
Salah satu fenomena yang juga memiliki kesamaan antara RUU Penyiaran dengan kebijakan era Orde Baru adalah diterbitkannya Surat Izin Usaha Perusahaan Pers (SIUPP). Dalam tataran praktiknya, SIUPP –yang diakomodir melalui Permenpen Nomor 1 Tahun 1984 dan Permenpen Nomor 1 Tahun 1998– menimbulkan kriminalisasi pada beberapa perusahaan pers karena menyoroti kekuasaan di masa Orde Baru. Kasus kriminalisasi pers karena SIUPP salah satunya adalah pembredelan media Tempo yang meliput dugaan kasus korupsi impor 39 kapal perang bekas Jerman Timur. Dengan kata lain, pers tidak boleh kritis.
Pengalaman pahit Tempo kala itu pun membuat pers hari diliputi rasa gamang akan pembredelan. Sebab, bisa saja ketika nantinya DPR benar-benar mengesahkan RUU Penyiaran menjadi undang-undang, tidak akan ada lagi tayangan investigasi.
Negara Leviathan
Thomas Hobbes (1588–1679), seorang filsuf Inggris yang mengkaji wilayah hukum, moral, dan etika, mencetuskan gagasannya yang paling terkenal mengenai konsepsi negara Leviathan. Merujuk pada pada Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, Leviathan merupakan monster besar yang hidup di laut yang memiliki kekuatan untuk memusnahkan segala jenis ciptaan Allah.
Sama seperti namanya, cara kerja negara Leviathan sangat mengagungkan penggunaan kekuatan kekuasaan yang sangat berlebihan atau absolutisme. Cara kerja semacam ini, menurut Hobbes, dapat menciptakan stabilitas politik. Sehingga, konflik yang ditimbulkan dari arah dalam maupun luar negara bisa dihindari.
Dalam konteks tersebut, pemerintah atau penguasa dalam satu negara bisa mengambil keputusan secara otoriter terkait pengaturan perekonomian, perumusan kebijakan nasional, hukum, dan apapun itu yang sekiranya bisa menjaga stabilitas politik. Hingga di dalam tataran moral dan etika keseharian masyarakat, pemerintah dapat memberikan arahan dengan detail agar tidak ada yang melenceng sama sekali.
Bagi Hobbes, dengan gaya pemerintahan suatu negara yang begini, masyarakat akan merasa aman dan hidup sejahtera. Kemudian, negara Leviathan pun dapat maju secara pembangunan ekonomi dan stabilitas politiknya.
Latar belakang Hobbes membenarkan gaya pemerintahan yang otoriter dan absolut itu karena baginya, manusia secara hakikat merupakan homo homini lupus atau “manusia adalah serigala bagi sesama manusianya.” Masyarakat –di luar dari pemerintahan atau penguasa negara– memiliki sifat yang begitu bebas, yakni ingin mendominasi satu sama lain. Ketidakberaturan ini, bagi Hobbes, harus dituntaskan dengan mewujudkan negara Leviathan.
Sekiranya, uraian mengenai teori Thomas Hobbes adalah logika pemerintahan hari ini kepada kita sebagai rakyat. Pemerintah tidak memandang rakyat sebagai manusia yang memiliki keluhuran berpikir dan bijak bertindak, tetapi hanya sebatas serigala yang perlu dijinakkan. Kebebasan berkehendak tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang penting.
Demi melenyapkan bentuk fenomena otoriter, fatalis, dan absolutisme seperti ini, dibutuhkan suatu gerakan yang memang tidak lagi mempercayai pemerintahan negara kita sama sekali. Maka dari itu, dibutuhkan satu refleksi yang begitu mendalam untuk menyusun stratak gerakan.
Terlepas dari masing individu atau kelompok diilhami oleh segala jenis ideologi, selagi memang merasa tertindas, maka rakyat harus menyatukan kekuatan dan lebih memperbanyak eskalasi kemarahan. Seperti kata Takashi Shiraishi dalam buku paling populernya, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, gerakan merupakan proses penerjemahan dan pencomotan yang kompleks dan dinamis. Dengan kata lain, penulis percaya bahwa keragaman ideologi individu atau gerakan dalam membangun pemisahan eksistensi dan sentimen kepada birokrasi negara, dapat disatukan.