Demonstran di Bangladesh Menuntut Diakhirinya Penindasan Negara

Demonstran di Bangladesh Menuntut Diakhirinya Penindasan Negara

Demonstran di Bangladesh
Foto tersebut merupakan bagian dari Gerakan Antiquota Mahasiswa (The students’ antiquota movement) yang terjadi Chittagong New Market, Bangladeshh pada 3 Agustus 2024. Sumber foto diperoleh melalui akun Instagram @save_bd_students,
Catatan Redaksi Diakronik: kami mengalihbahasakan secara bebas artikel wawancara oleh Promise Li yang terbit di laman Jacobin pada 3 Agustus 2024, dengan judul resmi Protesters in Bangladesh Want an End to State Repression. Publikasi ini dimuat untuk kepentingan pengetahuan sekaligus perluasan akses terhadap situasi sengit yang sedang dan telah berlangsung di Bangladesh dalam beberapa waktu terakhir.

Wawancara oleh Promise Li (untuk Jacobin) dengan Lydia Silva, salah seorang anggota Federasi Krishok Bangladesh.*

Dalam beberapa minggu terakhir, Bangladesh telah memperlihatkan perkembangan gerakan protes besar-besaran terhadap pemerintahan Liga Awami Sheikh Hasina. Protes tersebut dimulai untuk menentang sistem kuota yang membatasi akses ke pekerjaan pegawai negeri sipil. Pihak berwenang membalas dengan tindakan represif hingga menewaskan lebih dari dua ratus orang, sementara ribuan lainnya masih mendekam dalam tahanan.

Untuk Jacobin, Promise Li berbincang dengan Lydia Silva, seorang aktivis Bangladesh dari Federasi Krishok Bangladesh dan Chhatra Shava Bangladesh, tentang asal mula gerakan protes, kemungkinan dampaknya terhadap politik di Bangladesh, dan kondisi kekuatan sayap kiri di negara tersebut.

PROMISE LI: Dapatkah Anda menjelaskan mengapa protes massa meletus melawan pemerintahan Sheikh Hasina? Apa tanggapan pemerintah?

LYDIA SILVA: Protes tersebut dimulai ketika Mahkamah Agung Bangladesh kembali menghidupkan sistem kuota 30 persen untuk lowongan kerja pegawai negeri sipil bagi keturunan pejuang kemerdekaan, yang pernah ikut serta dalam perang kemerdekaan Bangladesh. Pengadilan membatalkan reformasi sistem kuota yang dahulu pernah dimenangkan oleh rakyat pada 2018.

Sistem kuota ini dimulai pada 1972, ketika Sheikh Mujibur Rahman, pemimpin utama gerakan kemerdekaan, memperkenalkannya kepada negara yang dilanda perang untuk memberi penghargaan bagi mereka yang berjuang dalam kemerdekaan. Namun, sejak awal telah ada ketidakpuasan terhadap sistem ini, dan sejak saat itu terdapat gerakan yang menentang sistem kuota tersebut seperti protes massa pada 2008 dan 2013, tapi protes tersebut belum berhasil mencabut sistem kuota tersebut.

Pada 2018, kuota tetap sebesar 56 persen: 30 persen untuk keturunan pejuang kemerdekaan, 10 persen untuk perempuan, 5 persen untuk etnis minoritas, 10 persen untuk distrik tertentu, dan 1 persen untuk penyandang disabilitas, sehingga tersisa 44 persen untuk kandidat berdasarkan sistem merit (merit-based candidate). Ini berarti bahwa mahasiswa dari kelas pekerja dengan nilai tinggi, bisa kehilangan pekerjaan dan kesempatan oleh mereka yang diistimewakan oleh kuota.

Mahasiswa memimpin gerakan antikuota besar-besaran tahun itu dan memperoleh dukungan publik yang luas. Mereka berhasil memaksa pemerintah mengurangi kuota untuk lowongan kerja pegawai negeri. Namun, masih ada masalah mengenai penerapan sistem kuota yang adil.

Pada bulan Juni tahun ini [2024], Mahkamah Agung membatalkan reformasi tahun 2018, sehingga memicu gerakan antikuota dari kalangan mahasiswa. Awalnya, gerakan ini terbatas di universitas-universitas negeri. Pemerintahan Sheikh Hasina lalu meresponsnya dengan kekerasan dan menolak berdialog dengan para pemimpin mahasiswa, yang seharusnya bisa menghindarkan negara ini dari kekejaman yang kita saksikan dalam beberapa minggu terakhir. Sebaliknya, pemerintah hanya diam menunggu keputusan pengadilan dan mengabaikan gerakan di kampus.

Hasina semakin membuat marah para mahasiswa yang berdemo dengan bertanya di televisi nasional, “Jika cucu-cucu pejuang kemerdekaan tidak mendapatkan manfaat kuota, haruskah cucu-cucu Razakar yang mendapatkannya?” “Razakar” adalah istilah penghinaan untuk mereka yang membantu tentara Pakistan membantai para pejuang kemerdekaan Bangladesh selama perang tahun 1971.

Para mahasiswa menganggap Hasina melecehkan gerakan mereka sebagai pengkhianatan, dan menanggapinya dengan slogan: “Ami ke? Tumi ke? Razakar! Razakar! Ke bolechhe? Ke bolechhe? Shwoirachar! Shwoirachar!” (“Siapakah aku? Siapakah kamu? Razakar! Razakar! Siapa yang berkata begitu? Siapa yang berkata begitu? Siapa yang berkata begitu? Diktator! Diktator!”). Padahal, menurut pendapat saya, gerakan ini dapat menggunakan slogan-slogan yang lebih strategis yang membedakan kami dengan para pengkhianat pada tahun 1971 dan memberikan lebih sedikit ruang kritik; kekuatan pro-pemerintah menggunakan ini sebagai senjata untuk semakin melemahkan tuntutan gerakan.

Chhatra League, sayap mahasiswa dari partai Awami League yang berkuasa, di bawah pimpinan Hasina, memiliki sejarah panjang dalam menyerang para kritikus dan gerakan. Anggotanya diberi lampu hijau oleh seorang menteri Liga Awami di televisi nasional untuk “membungkam para pemrotes.” Kami melihat banyak mahasiswa ditembak mati dalam video yang beredar di media sosial, meskipun menteri yang sama menyangkal pembunuhan semacam itu terjadi.

Apakah pembunuhan itu dilakukan oleh Liga Chhatra, atau oleh kelompok lain di pihak oposisi yang memanfaatkan provokasi-provokasi ini di tengah keputusasaan, masih belum dapat dipastikan. Yang kami tahu saat ini bahwa telah banyak orang yang tewas dan terluka, setelah protes bereskalasi dengan cepat dan menyebar ke seluruh negeri, mulai dari mahasiswa universitas swasta hingga warga sipil lainnya.

Pemerintah pertama kali berupaya memberangus protes dengan menutup semua lembaga pendidikan sambil menyiksa dan menganiaya para demonstran. Militer dan penjaga perbatasan dikerahkan, mereka memberlakukan jam malam nasional dengan tindakan tembak di tempat, memutus komunikasi internet, dan telepon di seluruh negeri. Pemerintah kini mencatat lebih dari dua ratus demonstran tewas dan ribuan lainnya terluka.

PROMISE LI: Apa yang unik dari protes tahun ini terhadap sistem kuota? Bisakah Anda ceritakan lebih lanjut tentang hubungan para pemimpin mahasiswa dengan kelompok oposisi lainnya? Bagaimana Anda menggambarkan komposisi politik dari oposisi yang luas terhadap Hasina?

LYDIA SILVA: Protes reformasi kuota kali ini adalah ekspresi rasa frustrasi berkepanjangan yang dirasakan kaum muda dan kelas pekerja lainnya terhadap pemerintah. Pemilu nasional kita semakin tidak adil dan pemerintah menjadi semakin autokrasi [diktator] daripada sebelumnya.

Ada puluhan ribu lulusan yang berkeliaran di jalanan tanpa pekerjaan setiap tahunnya, dan banyak yang berharap bisa mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri. Ada juga masalah korupsi yang merajalela di setiap sektor pemerintahan. Selain itu, Bangladesh juga menghadapi masalah ekonomi lainnya seperti inflasi yang meningkat dan biaya hidup yang tinggi, di samping penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah.

Semua hal ini menjadi pemicu yang berkontribusi pada protes reformasi kuota. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir mungkin ada proyek-proyek pembangunan baru seperti Jembatan Padma, Terowongan Karnaphuli, dan Kereta Metro Dhaka, tetapi masih banyak yang perlu dilakukan untuk menebus eksploitasi sehari-hari yang dihadapi oleh kelas bawah yang berjuang untuk memenuhi standar hidup minimum. Apa yang sebelumnya merupakan gerakan untuk memperjuangkan kesempatan yang adil bagi pekerja untuk memperoleh pekerjaan di pemerintahan tanpa diskriminasi pada tahun 2018, telah menjadi mobilisasi yang lebih besar yang menyuarakan masalah sistemik yang meluas.

Sejak kemerdekaan Bangladesh, gerakan pemuda dan mahasiswa telah menjadi tulang punggung perjuangan massa melawan pemerintah yang berkuasa. Koalisi besar partai oposisi dan organisasi masyarakat sipil, termasuk kelompok sayap kiri dan progresif, mendukung para mahasiswa saat ini. Para pemimpin mahasiswa telah menegaskan sejak awal, bahwa mahasiswa harus menjadi prioritas untuk terlibat dalam gerakan ini, tidak peduli dari sayap politik mana mereka berasal. Para peserta didorong untuk mengesampingkan perbedaan politik mereka dalam gerakan yang luas ini.

Akan tetapi, partai-partai oposisi utama dan sayap mahasiswanya — Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) yang berhaluan kanan dan Jamaat-e-Islami yang berhaluan Islam (juga dikenal sebagai “Jamaat-Shibir” bersamaan juga dengan sayap mahasiswanya, yakni Islami Chhatra Shibir) — memanfaatkan gerakan mahasiswa secara luas ini, dengan mengambil keuntungan dari ketidakstabilan politik untuk memobilisasi agenda mereka sendiri melawan Liga Awami.

Kebijakan BNP tidak menguntungkan kelas pekerja, sama seperti sayap pemuda mereka yang tidak memperhatikan kebutuhan kaum muda mengenai pengangguran dan reformasi pendidikan. Mereka hanya berfokus pada dukungan terhadap proyek infrastruktur besar, tetapi kurang memperhatikan pembangunan ekonomi rakyat. Pemerintahan mereka, di masa lalu, juga yang menyebabkan ketidakstabilan dan kosupsi yang meluas.

Sementara itu, Jamaat-Shibir telah mencoba mendorong kebijakan Islam fundamentalis, dengan para menterinya yang membandingkan perempuan dengan barang-barang konsumsi dan mengancam hak perempuan untuk bekerja karena tidak mengenakan burka. Pendiri mereka adalah para Razakar yang menentang perjuangan kemerdekaan Bangladesh dan melakukan banyak kejahatan selama perang.

Di masa lalu, BNP bersekutu dengan Jamaat-Shibir, bahkan mengangkat beberapa penjahat perang ini sebagai menteri. Jamaat-Shibir menyusup ke dalam gerakan ini untuk secara tidak bertanggung jawab melakukan serangan bersenjata terhadap aset dan personel negara guna menciptakan lebih banyak kesalahpahaman antara pemerintah dan mahasiswa yang melakukan protes. Saya ikut serta dalam protes massa pada tahun 2013, sebagai siswa sekolah menengah yang menuntut keadilan terhadap Abdul Quader Mollah dan penjahat perang Jamaat-Shibir lainnya yang tidak diadili, dan menyaksikan kekerasan serta kekacauan yang disebabkan oleh para pendukung Jamaat-Shibir dalam mobilisasi tandingan mereka.

PROMISE LI: Bagaimana kondisi kaum kiri di Bangladesh, dan apa peran organisasi sayap kiri dan sosialis dalam oposisi dan gerakan yang dipimpin mahasiswa ini?

LYDIA SILVA: Sayangnya, kaum kiri Bangladesh telah kehilangan signifikansinya dalam beberapa tahun terakhir karena perpecahan ideologis atau aliansi kelompok-kelompok tertentu dengan partai yang berkuasa. Dua partai kiri terbesar — Partai Pekerja dan Jatiya Samajtantrik Dal (JASAD) — telah berafiliasi dengan Liga Awami, yang telah membantu memecah belah kaum Kiri.

Partai Pekerja merupakan formasi Marxis-Leninis yang terbentuk dari koalisi besar kelompok kiri pada tahun 1980-an dan masih terhubung dengan sejumlah perjuangan buruh, petani, dan kelompok terpinggirkan. JASAD adalah partai sosial demokrat yang mengadvokasi reformasi dalam sistem borjuis, dengan menekankan pada kemajuan kebijakan kesejahteraan dan keadilan sosial lainnya.

Meskipun Liga Awami selalu beraliran ideologi tengah dan nasionalis, mereka berupaya untuk bersekutu secara strategis dengan sejumlah kelompok kiri untuk menangani masalah-masalah seperti fundamentalisme sayap kanan, terutama yang berhubungan dengan perkembangan aktivitas teroris yang terkait dengan al-Qaeda. Karena prospek untuk membangun gerakan populer alternatif kiri sangat kecil, akhirnya Partai Pekerja dan JASAD membangun aliansi bersama dengan Liga Awami untuk melawan BNP dan kelompok fundamentalis.

Di luar parlemen kiri, organisasi-organisasi kiri lainnya juga menyuarakan sikap kritis sebagai oposisi dengan berfokus pada isu-isu ketidaksetaraan ekonomi serta hak-hak petani dan buruh. Aliansi Demokratik Kiri adalah koalisi dari beberapa kelompok sayap kiri yang lebih kecil. Meskipun masing-masing aktif dalam gerakan sosial, seperti Partai Sosialis Bangladesh, tidak jelas seberapa efektif koalisi tersebut dalam konteks gambaran yang lebih besar. Partai sayap kiri tertua yang berdiri di Bangladesh, Partai Komunis Bangladesh (CPB), masih aktif menentang pemerintah yang berkuasa, tetapi memiliki kepemimpinan yang lemah dan juga perpecahan internal.

Kaum Kiri di Bangladesh telah melemahkan dirinya sendiri dari waktu ke waktu karena partai-partai tersebut terus menghasilkan perpecahan dan bukannya persatuan. Hal ini sangat disayangkan, karena kelompok Kiri Bangladesh telah menunjukkan, bahwa ketika bersatu, kita dapat menjadi suara yang penting. Kelompok-kelompok Kiri telah bergabung dengan gerakan buruh, petani, dan minoritas untuk mendapatkan kenaikan upah dan kondisi kerja yang lebih baik. Banyak dari kita telah bekerja sama untuk memberikan tekanan terhadap pemerintah yang menyewakan sumber daya alam kita, seperti minyak dan gas, ke negara-negara asing.

Bangladesh sangat bergantung pada industri garmen secara finansial, dan partai-partai kiri telah menjadi bagian penting di antara pekerja garmen dan serikat pekerja. Bersama dengan para pemimpin dan organisasi buruh, kelompok-kelompok sayap kiri menuntut pemerintah untuk menaikkan upah pekerja garmen. Tahun lalu, pekerja garmen memenangkan kenaikan upah minimum dari 8.000 menjadi 12.500 BDT (meskipun ini jauh lebih rendah dari tuntutan awal mereka).

PROMISE LI: Organisasi Anda, Federasi Krishok Bangladesh, telah menjadi kekuatan utama dalam mengorganisasi petani tak bertanah dan kelompok terpinggirkan lainnya selama beberapa dekade. Bisakah Anda ceritakan lebih lanjut tentang pekerjaan kelompok Anda, dan bagaimana kaitannya dengan pengorganisasian pemuda dan pelajar?

LYDIA SILVA: Federasi Krishok Bangladesh (BKF) memiliki 1,6 juta anggota di empat puluh sembilan distrik di Bangladesh. Program jangka menengah kami adalah memobilisasi petani dan masyarakat tak bertanah untuk memperjuangkan reforma agraria yang sejati dan menyeluruh di negara ini, sehingga mereka dapat memiliki akses ke tanah yang dapat ditanami dan kedaulatan pangan serta dapat hidup bermartabat.

Kami juga mendukung petani kecil dalam upaya mereka untuk memperoleh harga yang lebih adil untuk produk pertanian mereka, menyelenggarakan bank benih berkualitas untuk dipertukarkan di antara para petani, dan menghubungkan petani miskin dengan layanan publik. BKF juga menyediakan layanan hukum dan medis bagi para anggota kami, khususnya mereka yang diserang oleh perampas tanah borjuis kecil, dan mereka yang berhadapan dengan dakwaan akibat keterlibatan dalam gerakan pendudukan tanah khas (tanah terbengkalai, milik pemerintah). Melalui agitasi, kami berhasil memenangkan redistribusi tanah di seluruh negeri kepada para petani tak bertanah.

BKF berafiliasi dengan organisasi massa lain, seperti Bangladesh Kishani Sabha (untuk petani perempuan), Bangladesh Adivasi Samity (untuk etnis minoritas), dan Bangladesh Chhatra Shava (untuk mahasiswa). Saya berada di komite pusat BKF dan Bangladesh Chhatra Shava. Bangladesh Chhatra Shava berasal dari forum persatuan mahasiswa besar yang muncul dari BKF, yang sekarang diorganisir secara independen dari kami.

Pada tahun 2022, Chhatra Shava dibentuk dan kini memiliki hampir tiga ribu anggota di seluruh negeri, sebagian besar aktif di distrik Dhaka, Barishal, dan Dinajpur. Organisasi ini telah berkampanye mengenai isu-isu seperti kesetaraan gender dan reformasi pendidikan: misalnya, meminta pertanggungjawaban pemerintah karena tidak memenuhi janjinya untuk menggratiskan biaya satu sekolah negeri di setiap distrik, dan mengadvokasi penyediaan buku pelajaran yang terjangkau bagi siswa kurang mampu di daerah pedesaan. Organisasi ini juga berupaya untuk mempromosikan pendidikan politik melalui kuliah dan klub buku, termasuk membaca teks-teks Marxis.

Saya juga tergabung dalam Partai Komunis Bangladesh (Marxis-Leninis), bersama kader partai lainnya yang merupakan anggota aktif BKF. Kelompok kami mendukung keyakinan Leon Trotsky tentang revolusi permanen — gagasan bahwa revolusi sosialis harus bersifat internasional, dengan kepemimpinan kelas pekerja dalam proses yang berkelanjutan. Hal ini berbeda dengan kelompok kiri lainnya di Bangladesh yang berasal dari pendekatan Stalinis atau Marxis-Leninis yang lebih tradisional, seperti Partai Pekerja.

Kami juga menganut prinsip Antonio Gramsci, bahwa kaum Marxis harus membangun kontra-hegemoni dari para pekerja, petani, dan massa pekerja lainnya di seluruh masyarakat, dari bidang ekonomi hingga budaya, melawan hegemoni borjuis. Menciptakan kontra-hegemoni ini merupakan prasyarat bagi revolusi, yang dapat kita capai dengan memperkuat perjuangan kelas-kelas bawah di seluruh negeri, sambil mengembangkan intelektual organik di antara masyarakat adat pedesaan.

Sebagian besar pemuda di Chhatra Shava dan CPB (ML) adalah anak-anak petani dan pekerja sektor informal, yang juga mengorganisir dengan tuntutan seperti hak-hak petani, reformasi lahan, akses ke tanah terlantar, keadilan iklim, pertanian agroekologi, dan sebagainya. Kami telah mendengar dan memberikan dukungan kepada anak-anak anggota petani kami yang terluka saat terlibat dalam gerakan di distrik mereka.

PROMISE LI: Apa yang Anda lihat sebagai tahap berikutnya dari perjuangan ini?

LYDIA SILVA: Perjuangan belum berakhir. Pemerintah telah mereformasi sistem kuota lagi, tetapi masih ada lebih dari enam ribu pengunjuk rasa yang ditahan akibat tindak kekerasan skala nasional. Para pemimpin mahasiswa masih ditangkap dan dibawa pergi dari rumah sakit dan rumah mereka. Beberapa di antaranya dianiaya karena afiliasi mereka dengan partai oposisi, sementara banyak yang merupakan warga sipil tak berdosa yang mungkin akan tetap dipenjara tanpa batas waktu.

Polisi melakukan pencarian acak pada ponsel orang-orang di jalanan untuk mencari afiliasi dengan gerakan tersebut. Saya tahu seorang remaja berusia tujuh belas tahun yang dijatuhi hukuman tujuh hari, lalu dibatalkan setelah ada tekanan massa. Meskipun demikian, anak tersebut tetap dikirim ke lembaga pemasyarakatan anak untuk menjalani penyelidikan lebih lanjut.

Di antara daftar tuntutan mahasiswa, hanya tuntutan tentang reformasi kuota yang berhasil dipenuhi. Pemerintah masih belum bertanggung jawab atas pembunuhan dan penyiksaan, membawa mereka yang bersalah ke pengadilan, dan meminta maaf secara terbuka kepada keluarga korban yang anaknya dibantai, hanya karena berusaha mencari pekerjaan layak untuk mengakhiri kemiskinan yang telah berlangsung turun-temurun, atau balita yang ditembak kepalanya di balkon rumahnya sendiri.

Ada juga seseorang yang ditembak mati hanya karena mengantarkan makanan dan air kepada para pengunjuk rasa sebagai bentuk solidaritas, dan rekaman video tersebut telah menjadi viral. Meskipun para mahasiswa yang ditangkap telah menghentikan protes melalui pernyataan publik, beberapa pemimpin mahasiswa lainnya yang belum ditangkap masih berusaha untuk melanjutkan protes. Kita harus terus membangun momentum dan menyerukan solidaritas internasional. Kami berharap keadilan ditegakkan bagi para mahasiswa saat mereka mendorong reformasi lebih lanjut.


LYDIA SILVA merupakan seorang aktivis Bangladesh yang mengorganisir pekerja garmen dan mengajar di daerah kumuh. Ia menjadi anggota komite pusat Federasi Krishok Bangladesh dan Chhatra Shava Bangladesh serta merupakan anggota Partai Komunis Bangladesh (Marxis-Leninis).

PROMISE LI merupakan aktivis sosialis dari Hong Kong dan Los Angeles serta anggota Tempest and Solidarity (AS). Ia aktif dalam solidaritas internasional dengan gerakan-gerakan dari Hongkong dan Tiongkok, pengorganisasian penyewa dan anti-gentrifikasi di Pecinan, dan pengorganisasian buruh pekerja lulusan-tingkat-bawah

Editor: Redaksi Diakronik

ARTIKEL LAINNYA

Hari HAM Sedunia, Buruh Desak Pemerintah Ratifikasi Konvensi ILO 190
Diskusi BPJS PBI Buruh-Ojol Banten: Minimnya Informasi dan Akibat Status Kemitraan
Survei Komite Hidup Layak: 76% Rumah Tangga Buruh Terjerat Utang karena Politik Upah Murah
Aliansi Dobbrak Buruh-Ojol Advokasi BPJS PBI Serahkan Berkas Permohonan ke Dishub Banten 

Temukan Artikel Anda!