Sebagian masyarakat kota-kota besar di Indonesia tampaknya telah menempatkan Air sebagai musuh. Nahasnya, permusuhan ini semakin merambat ke wilayah pinggiran kota, termasuk pedesaan.
Permusuhan tersebut dapat dilihat dari banyaknya limbah pabrik dan rumah tangga yang dibuang begitu saja ke aliran sungai, baik di perkotaan maupun di pedesaan, yang dekat dengan kawasan industri. Selain itu, secara kasatmata, permusuhan nampak dari banyaknya bangunan, baik rumah maupun gedung, yang “mantatin” atau membelakangi sungai.
Dalam budaya sopan santun Indonesia, perilaku “mantatin” dapat dikategorikan sebagai perilaku paling rendah dan buruk secara tata krama. Persis seperti manusia yang buang air besar di toilet, maka apa yang “dipantatin” sudah selalu disodorkan hal-hal yang berbau jelek. Karena “mantatin” inilah, maka banyak rumah dan pabrik yang justru membuang hal-hal berbau jelek ke sungai, termasuk bantal dan guling bekas yang sudah tak jelas bentuknya.
Selain urusan buang-membuang dan “mantatin”, hari-hari ini Air di Indonesia dilihat hanya sebagai benda properti an sich yang dikuasai dan dibisniskan. “Air dikuasai oleh Negara” merupakan penggalan dari kalimat sakti yang tercantum dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan bagian konsideran Undang-undang No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang sayangnya lewat kata-kata itulah, Air didudukkan sebagai benda komoditi semata yang ditaklukan oleh manusia dan organisasi besar modern bernama: negara.
“Penguasaan” dalam terminologi kesejarahan politik sudah selalu diawali dengan proses “penaklukan”. Pemenang dalam suatu pertempuran pasti menaklukan lawannya, lantas pihak yang kalah dan tidak berdaya tersebut dikuasai. Namun, persis setelah dikuasai, sebenarnya tak ada harmoni yang tersisa, melainkan rasa-rasa permusuhan yang sifatnya laten.
Lewat penguasaan dan penaklukan itu juga, Air akhirnya menjadi entitas yang tidak berdaulat dan seolah menjadi “budak”. Ia diperdagangkan begitu saja dengan sejumlah nominal harga di toko atau restoran tertentu. Bahkan, ia terbuang sia-sia karena ulah para konsumen yang doyan boros dan menyia-nyiakan makanan atau minumannya.
Lebih nahas lagi, di kawasan Depok, Jawa Barat, misalnya, sampai dengan 2021, terdapat sekitar 17 situ yang hilang. Sebagian disulap jadi kawasan perumahan oleh para mafia tanah. Dan kini, hanya tersisa sekitar 23 situ.
Air Menurut Tradisi Leluhur Nusantara
Entah sejak kapan permusuhan antara Manusia dengan Air tersebut bermula. Agak aneh memang, sebab dalam ajaran-ajaran leluhur Nusantara terdahulu, Air dianggap sebagai salah satu “saudara kandung”-nya manusia. Dasar ajaran tersebut adalah tubuh manusia terdiri dari empat elemen yang fundamental: air, tanah, udara, dan api. Terminologi Kejawen mengistilahkannya sebagai “sedulur papat”.
Ada banyak tafsir dan makna kebatinan atas “sedulur papat” ini. Ada yang menafsirkannya harfiah (dalam artian apa adanya secara kasatmata), dan ada pula yang melampaui harfiah itu sendiri. Ada yang menafsirkannya sebagai unsur biologis dan fisika pada diri manusia, tapi ada juga yang menafsirkannya sebagai unsur karakter atau sifat-sifat manusia.
Keempat elemen tersebut hadir berdampingan dan eksis dalam diri manusia. Apalagi Air, ia eksis sekitar 60% sampai 70% dari keseluruhan berat tubuh manusia. Artinya, empat elemen itu bukanlah entitas asing bagi manusia, melainkan saudaranya. Dan kini, kebanyakan manusia memilih untuk memusuhi saudaranya sendiri.
Tradisi leluhur Nusantara juga menempatkan Air sebagai entitas yang sangat dihormati. Di Jawa Barat misalnya, banyak nama-nama daerah yang dinamai dengan awal “Ci”, yang artinya adalah “cahaya”.
Umumnya di daerah yang menyandang nama “Ci”, terdapat aliran air (sungai) atau sumber air yang memantulkan cahaya. Maka “Ci” yang melekat pada nama daerah tersebut menunjukkan, bahwa aliran air di sekitarnya jernih dan bersih, sehingga dapat memantulkan cahaya. Oleh karena itu, daerah tersebut diberi nama yang terhormat berupa “cahaya”.
Di Jawa Barat ada pula ajaran mengenai Air yang kemudian diberi nama sebagai “Patanjala”. Ajaran ini berangkat dari konsepsi “aliran” di semua aspek: ruang, waktu, tubuh, hingga air itu sendiri, yang mana di situ ada “aliran”, maka pada saat itu tidak ada siapa pun yang dapat menolak “aliran” tersebut.
Maka konsep ajaran “Patanjala” memberikan petunjuk agar terhadap apa-apa yang mengalir, termasuk air, maka sudah semestinya diberikan jalan untuk alirannya. Bila melawan aliran, akan berdampak pada kerusakan: baik itu rusaknya buana alit ataupun buana ageung.
Contoh lain di Bali. Selain memiliki fungsi praktis kehidupan sehari-hari, di Pulau Seribu Pura, Air ditempatkan sebagai entitas sakral yang dihormati dan berperan penting dalam pelaksanaan upacara keagamaan.
Dalam upacara-upacara keagamaan, Air yang disucikan kemudian dinamakan sebagai “Tirta”. Air tersebut kurang lebih digunakan untuk penyucian bagi yang mengikuti atau terlibat dalam upacara.
Selebihnya dalam tradisi Sunda, Jawa, maupun Bali, beberapa titik sumber mata air disakralkan oleh masyarakat setempat ataupun penganut ajaran leluhur. Warga umum tidak dapat sembarangan untuk memasuki area mata air tersebut.
Bahkan, di waktu-waktu tertentu dipersembahkan suatu upacara khusus pada lokasi mata airnya. Tradisi semacam ini, meletakkan Air sebagai entitas yang sangat terhormat dan suci, sama layaknya menghormati leluhur dan Tuhan.
Sebenarnya bukan satu hal yang mengherankan jika Air disucikan. Mengingat asal-usul kehidupan awal di muka Bumi bermula dari Air. Kehidupanlah yang membawa berbagai kemungkinan, dan Air adalah inti awal mula kehidupan itu sendiri.
Para astronom dan fisikawan yang senang mengkaji kemungkinan kehidupan di luar Bumi pun menjadikan Air sebagai tolok ukur potensialitas eksisnya bentuk kehidupan di planet-planet selain Bumi. Sehingga, tentu dapat dibayangkan, tindakan memusuhi Air merupakan tindakan ingkar terhadap jati diri kehidupan. Untuk itu, mari berdamai dengan Air.