Cheran dan Dentang Lonceng Perlawanan Perempuan

Cheran dan Dentang Lonceng Perlawanan Perempuan

Cheran
Seorang perempuan memegang megafon menyerukan pemogokan (Diakronik/Langit)

Lonceng Gereja El Calvario, Kota Cheran, Meksiko, berdentang tak biasa 13 tahun silam. Suaranya melengking memecah pagi yang masih buta, membikin masyarakat adat Purépecha di kota tersebut menjadi siaga.

Gemuruh yang seketika mengisi keheningan kota itu, tak memberikan simbol sebagaimana lazimnya. Melainkan sebagai pertanda dimulainya perlawanan karena amarah rakyat sudah tiba di titik nadirnya.

Adalah para perempuan di Kota Cheran yang menginisiasinya. Mereka geram karena ruang hidupnya sudah sangat terancam, lantas mengejawantahkan kekesalan itu ke dalam gerakan yang terorganisir.

Keberangan rakyat bermula dari tiga tahun sebelum peristiwa bersejarah itu terjadi. Dalam kurun waktu tersebut masyarakat yang hidup di dataran rendah negara bagian Michoacán ini, mengalami praktik kejahatan terorganisir yang mengakar.

Jauh sebelum gejolak terjadi, Cheran merupakan kota yang mencakup sekitar 27 ribu hektare hutan. Penduduk asli Purépecha mendominasi kota berpenduduk sekitar 20 ribu jiwa itu.

Adapun Purépecha merupakan komunitas yang erat dengan kepedulian terhadap kesuburan tanah dan pemeliharaan sumber daya alam. Di sisi lain, hampir setengah dari penduduk Kota Cheran hidup dari komoditas kayu.

Namun, Kota Cheran bersalin rupa karena seiring waktu didominasi penebang liar yang terkait kartel narkoba, polisi korup, dan politisi lokal, sebagaimana dilansir dari The Guardian (03/04/2018). Praktik pembunuhan, penculikan, dan pemerasan terhadap pemilik usaha kecil lantas menjadi tontonan sehari-hari masyarakat lokal.

Para pembalak liar tersebut yang kemudian membikin rakyat resah, sebab mulai mendekati salah satu mata air di kota itu. Merespons tindak tanduk penebang liar, penduduk Kota Cheran memutuskan untuk melawan.

Dilansir dari BBC (13/10/2016), Elvira Romero, salah satu propagandis perlawanan rakyat Kota Cheran, mengaku khawatir dengan kelangsungan hidup dan keluarganya, apabila mata air tersebut diambil alih.

“Kami khawatir. Jika Anda terus memotong pohon, air akan menjadi sedikit. Suami kami memiliki ternak, lalu di mana mereka akan minum jika musim semi sudah tidak ada?” ujarnya.

Sebagaimana tindakan warga negara pada umumnya, penduduk Cheran berulang kali menghubungi pihak berwenang untuk meminta bantuan atas kondisi yang menimpa mereka. Namun, semuanya sia-sia. 

Hingga akhirnya, para perempuan yang sudah muak pun pergi ke hutan untuk berunding dengan para penebang. Lagi-lagi, usaha yang dilakukan tidak berhasil. Tak ingin kecele, mereka lantas mengambil tindakan yang lebih radikal.

Pada Jumat, 15 April 2011 dini hari, levantamiento atau pemberontakan Cheran dimulai. Sekelompok perempuan memblokade jalan dan menghadang truk pertama penebang yang sedang membawa kayu. 

Mereka melawan tanpa senjata-senjata konvensional, tapi hanya bermodalkan benda-benda yang dapat ditemui di jalan, seperti batu dan tongkat. Di antara senjata seadanya itu, tergenggam keberanian dan nyali besar karena yang mereka hadapi adalah laki-laki bersenjata lengkap nan membawa berton-ton kayu. 

Para penebang tampak meremehkan. Mereka justru memaki-maki, bahkan mencoba untuk membunuh para perempuan yang melawan.

Namun, bagi rakyat Cheran, mempertahankan ruang hidup adalah harga mati. Mereka lalu menempuh cara yang lebih nekat untuk kembali melawan, yaitu membajak truk penebang tersebut.

Setelah memastikan semua tersandera, beberapa perempuan lain menuju gereja setempat untuk membunyikan lonceng berkali-kali sebagai tanda siaga untuk warga lain. Sementara para pria berbagi tugas: menyalakan kembang api untuk mengingatkan seluruh kota dan bersiap di beberapa titik penting memantau ancaman.

Penduduk yang lain turut keluar dari rumah masing-masing dengan membawa berbagai macam senjata yang bisa digunakan: golok, parang, tongkat, senapan, bahkan batu. Suasana menjadi tegang. Penduduk yang marah harus dibujuk oleh para perempuan untuk tidak mengikat sandera dari pohon kuno di luar gereja.

“Semua orang di jalanan berlarian membawa parang,” kata Melissa Fabian, yang saat itu berusia 13 tahun, dikutip dari BBC (13/10/2016). “Wanita-wanita berlarian. Mereka semua menutupi wajah mereka. Anda bisa mendengar orang-orang berteriak, dan lonceng gereja berbunyi sepanjang waktu.”

Tak berhenti di situ, mereka lalu mengusir partai-partai politik dengan alasan para politisi lokal tidak hanya menutup mata terhadap perdagangan narkoba dan pemerasan, tetapi juga mendanai kampanye mereka dengan pembalakan liar.

Selain itu, para penduduk menuding intrik politik praktis yang terus-menerus terjadi telah memecah belah solidaritas kolektif yang sudah mereka bangun selama bertahun-tahun.

Penduduk Cheran juga mengusir Wali Kota karena dianggap terlibat dalam pembalakan liar yang meluas. Warga turut meyakini Wali Kota disokong kartel narkoba. Sebagai gantinya, pemerintahan otonom dibentuk untuk memimpin 20 ribu penduduk.

Sementara itu, masing-masing distrik dikelola majelis yang anggotanya dipilih secara diplomatis. Tiga anggota dari setiap majelis bertugas di Dewan Kota yang beranggotakan 12 orang dari masing-masing distrik, dan harus mencakup setidaknya satu perempuan.

“Sebelumnya pemerintah tidak memperhitungkan kami (perempuan), hingga kamilah yang memulai pemerintahan baru ini tujuh tahun lalu,” kata Patricia Hernández, seorang penjual taco dan ibu dari empat anak, sebagaimana diberitakan NBC News (05/09/2018). “Kami mengucapkan ‘Ya Basta!’, (Cukup!) untuk mengakhiri kekerasan ini.”

Terkait sistem keamanan, penduduk kota telah mengambil alih pos-pos penjagaan yang sebelumnya diisi polisi dan menggantinya dengan Ronda Comunitaria atau milisi otonom yang beranggotakan para laki-laki dan perempuan bersenjata.

Mereka melakukan penjagaan di setiap pintu masuk kota dan hutan-hutan. Tak ada para pendatang yang bisa masuk ke Kota Cheran tanpa melewati proses screening anggota milisi.

Setelah dilanda kejahatan terorganisir yang mengakar, kini Cheran menjadi tempat yang relatif aman di salah satu negara bagian paling kejam di Meksiko.

“Di Cheran, saya merasa aman karena saya bisa berjalan-jalan di malam hari, dan saya tidak takut terjadi sesuatu,” kata Melissa kepada BBC (13/10/2016), seorang mahasiswa biomedis di sebuah perguruan tinggi di luar Cheran.

Uraian di atas hanya sedikit dari bentangan sejarah yang diinisiasi perempuan, tapi tak dicatat negara. Kondisi objektif memaksa mereka mengambil langkah konkret menuju perubahan yang emansipatoris.

Namun ironisnya, sudah sejak lama posisi perempuan justru terpinggirkan dan suaranya disepelekan, jika tidak mau disebut tak didengar. Tak hanya itu, gerak perempuan dibatasi dengan kerja-kerja domestik yang terspesifikasi, bahkan mereka kerap menjadi sasaran kekerasan yang mengakar di masyarakat.

Kendati demikian, perempuan sebetulnya memiliki posisi tawar yang wajib diperhitungkan penguasa. Terlebih ketika kekuatan kolektif mereka telah terorganisir karena ruang hidup yang dimiliki sudah terancam, seperti para perempuan di Kota Cheran, yang mengangkat senjata seadanya dan merebut kemerdekaan nan selama ini diinjak-injak negara.

Cheran hanyalah salah satu dari banyaknya contoh utopia hidup. Di sebuah negara tatkala kekerasan yang dipicu kartel narkoba dan korupsi politik mencapai puncaknya, kota tersebut justru menempati tempat yang hampir seperti mitos dalam imajinasi populer sebagai kisah sukses yang langka. Sebuah utopia yang ternyata bisa hidup di tengah situasi yang sedemikian represif.

Cheran menjadi bukti, dalam siklus kekerasan yang mengakar di Meksiko, unsur utamanya adalah negara. Lebih dari itu, membaca kisah perjuangan perempuan Cheran dapat membangun kembali imajinasi kita akan penciptaan ruang aman yang dijalankan secara otonom. Imajinasi yang telah dikubur dalam-dalam oleh rezim hari ini.

Terlebih bagi perempuan, yang mana tembok kokoh patriarki dan kapitalisme telah memagari imajinasi untuk membentuk sebuah gerakan kolektif menuju kemerdekaan perempuan. Namun, tidak bagi Cheran. Dengan keberanian dan tekad kuat, mereka menyerukan Ya Basta! terhadap segala praktik yang merusak kehidupan kolektif mereka.

Bukan suatu hal yang berlebihan jika perjuangan perempuan di belahan Amerika Latin sana dapat menjadi rujukan bagi gerakan perempuan di seluruh dunia. Kenyataan bahwa perempuan menjadi sasaran kekerasan dapat kita temukan di mana-mana, di bawah kabut hitam besar bernama kapitalisme.

Editor: Akbar Ridwan

ARTIKEL LAINNYA

Gerakan PRD di Nganjuk Setelah Peristiwa Kudatuli 1996
Pawai Terakhir Mayday, Gagalnya Istana Buruh, dan Lintang Kemukus 1965
Pergerakan Sekerdja
Kaoem Modal Menangis Lantaran Crisis, Kaoem Boeroeh Ta’ Maoe Mengemis dan Teroes Berbaris!

Temukan Artikel Anda!